info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

mengamati dan menjadi akar

Yunita Fransisca 30 Juli 2011
Ganasnya pergantian cuaca di Kalimantan akhirnya membuat saya tunduk juga. Panas luar biasa dalam beberapa hari, kemudian digantikan oleh awan mendung dan angin yang membuat udara dingin seharian selama sekian hari. Pergantian yang cukup ekstrem ditambah daya tahan tubuh yang kurang pun membuat saya terserang radang tenggorokan. Tidak hanya membuat saya kesulitan menelan, tetapi disertai demam, lemas, dan kepala terasa berat. Akibatnya: selama dua hari berturut-turut saya bedrest: Istirahat di tempat tidur secara harafiah. Selama sakit tersebut, praktis saya tidak membantu pekerjaan rumah. Makan, tidur, ke kamar mandi. Paling-paling saya hanya mencuci piring yang saya gunakan saja. Jujur, saya merasa sangat tidak enak tidak membantu. Namun, saya benar-benar lemas. Ada kejadian yang membuat saya belajar selama sakit. Tidak adanya partisipasi saya dalam pekerjaan rumah tampaknya ditanggapi dengan berat hati oleh ibu asuh saya. Ya, anggap saja ini perasaan saya saja. Namun beberapa ekspresi dan tanggapan dingin membuat saya merasa perasaan ini terbukti. Reaksi saya? sedih dan kesal pada awalnya. Saya itu sakit, bukan malas atau menghindari pekerjaan. Toh selama ini saya selalu membantu pekerjaan rumah tanpa diminta. Saya sampai ingin menangis saja rasanya dan teringat keluarga. Betapa jika saya sakit di rumah, saya sampai dimarahi untuk istirahat. Sedangkan ketika di sini, saya seakan-akan tidak bisa sakit. Kekesalan dan kesedihan ini terkikis sedikit demi sedikit ketika saya mulai bertanya pada diri sendiri “Jangan-jangan gw salah pake kacamata.” Yang saya maksudkan, mungkin sebenarnya saya perlu menempatkan diri saya di posisi budaya orang lain. Saya pun mengingat-ingat kembali bagaimana bila ibu asuh atau bibi sebelah rumah sedang sakit. Sepengamatan saya, wanita-wanita di sekitar saya di desa ini adalah manusia-manusia kuat. Manusia yang karena peran gendernya memiliki segudang aktivitas: membersihkan rumah, memasak, mengurus anak dan suami, mencari nafkah, pergi ke sawah/kebun sawit/ kebun karet, hingga membantu acara yang diadakan oleh tetangga atau kerabatnya. Aktivitas tersebut dilakukan hampir setiap hari! Bisa dibayangkan betapa lelahnya para wanita ini. Namun karena terbiasa, saya jarang mendengar keluhan bahwa mereka lelah. Pernah suatu kali ibu asuh saya yang juga seorang guru, tidak dapat hadir ke sekolah karena sakit. Ibu saya terbaring lemas di tempat tidur. Dan anehnya, ketika saya pulang dari sekolah, rumah tetap bersih seperti biasa (Ibu asuh saya sangat rajin bersih-bersih) dan makanan telah terhidang di meja. Waktu itu saya hanya bisa tercengang. Apalagi mengingat bibi sebelah rumah yang sedang sakit tetapi masih tetap bisa memasak dan mengurus kedua anaknya yang masih kecil. Nah, ingatan akan apa yang saya saksikan tersebut membuat saya tersentak. Bagi para wanita di sini, kondisi memaksa mereka untuk tetap bisa melakukan segala sesuatu walaupun sedang sakit. Tidak ada asisten rumah tangga, tidak ada baby sitter, tidak ada warung makan, apalagi restoran yang menyajikan layanan pesan antar. Mereka dituntut untuk menjadi kuat, mandiri, tidak cengeng. Berbeda dengan saya yang ketika sakit mengharapkan untuk dirawat,disiapkan dan dibereskan segala sesuatunya oleh orang lain. Saya malu. Rupanya 8 bulan hidup sendiri di desa belum juga menjadikan saya lebih mandiri dan tidak cengeng. Saya lupa bahwa di rumah mungkin saya memiliki apa yang tidak orang-orang desa saya miliki, dapat mengakses segala hal yang tidak dapat diakses orang desa saya, tetapi di sini? Saya tidak lebih dari mereka. Bahkan mungkin kurang. Di kota mungkin saya mendapat berbagai keistimewaan, tapi saya lupa bahwa ketika berada di tempat asing, saya bukan siapa-siapa. Lepas semua kebesaran dan keistimewaan jika merasa besar dan istimewa. Hidup layaknya mereka. Mencoba berpikir dari sudut pandang mereka di sini, dengan begitu ‘penyatuan’ saya dan masyarakat dapat membuat saya lebih memahami mereka: mencapai grass root understanding. Di sisa waktu ini, saya masih perlu belajar. Semoga bisa menjadi lebih baik lagi ;-)

Cerita Lainnya

Lihat Semua