info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Belajar Kepercayaan dari Johan dan Jammi

Yunita Fransisca 30 Juli 2011
Johan. Sebuah nama yang melegenda di SD tempatku bertugas. Seorang anak suku asli Pasir yang pemalu di hadapan guru. Seorang pemain bola handal jagoan sekolah yang memiliki tendangan maut. Seorang siswa yang hanya tersenyum cengengesan tanpa mengeluarkan kata apa pun bila disuruh menjawab. Seorang siswa yang  dilihat dari usia seharusnya sudah duduk di bangku SMA. Seorang siswa yang membuatku tercengang karena dapat menghafal perkalian yang kuminta tanpa cela hanya dalam sehari.  Seorang siswa yang hingga lulus dari sekolah, belum bisa membaca. Johan sebenarnya hampir dikeluarkan oleh sekolah karena jarang masuk sekolah. Berkali-kali bolos, bahkan pada saat ujian semester. Maklum, Johan lebih sering pergi bekerja mengangkut sawit atau mengguris karet. Orang tuanya pernah dipanggil oleh Kepala Sekolah. Setelah itu, Johan sempat sering masuk, tapi kemudian mulai membolos kembali. Kini Johan telah lulus SD. Seharusnya ia masuk SMP, tetapi tidak bisa karena tidak lulus tes membaca. Ya, Johan memang lulus dalam keadaan tidak bisa membaca dan nilai ujian terendah di antara teman-temannya. Berita ini membuat saya sedih. Rupanya kehadiran saya belum menyentuh anak yang mungkin sebenarnya paling membutuhkan bantuan setelah selama ini berada di antara  banyak yang ‘menyerah’ dengan keadaannya. Saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri. Saya merasa bahwa saya pun menyerah dengan keadaan Johan. Andai saja saya berusaha lebih keras lagi untuk membujuk Johan belajar membaca dnegan saya. Andai saja saya benar-benar berjuang untuk Johan… Saya menyesal dan merasa bersalah pada Johan. Saya merasa seakan-akan telah membiarkan suramnya masa depan seorang anak karena tidak dapat mengakses pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masih ingat pertemuan saya dengan Johan beberapa hari lalu. Masih tersenyum dengan ramah cengengesan sambil melambaikan tangan pada saya, berjalan sendiri. Selang beberapa menit bertemu Johan, saya bertemu teman-teman sekelas Johan dulu di kelas 6, pulang dari sekolah mengenakan seragam putih biru. Sesak rasanya.

*

Jammi. Seorang anak suku asli Pasir yang ceria. Seorang anak yang bisa melakukan segala pekerjaan kasar tanpa canggung walaupun tubuhnya kecil. Seorang anak yang daripada pergi ke sekolah, memilih pergi membantu Julak (saudara laki-laki ayah/ibu yang lebih tua) di kebun sawit. Ketika teman-temannya mengenakan baju merah putih bersiap pergi ke sekolah, Jammi dengan rambut klimis, kemeja, dan celananya sudah siap menanti jemputan Julak untuk bekerja.  Jammi yang di usianya yang masih 10 tahun sudah merokok. Jammi yang dianggap ‘mengotori absensi kelas’ karena kehadirannya di sekolah bisa dihitung dengan jari. Sempat Ibu Jammi dipanggil oleh Kepala Sekolah. Jammi sempat masuk dua hari, tapi kemudian tidak masuk lagi hingga semester berakhir. Akhirnya, Jammi dinyatakan tinggal di kelas 3. Di hari pertama tahun ajaran baru, saya kembali melihat sosok kecil berkulit sawo matang itu ikut berbaris di lapangan untuk mengikuti upacara. Alhamdulillah. Senyum ramahnya menyambut saya pagi itu. Sambil malu-malu dia menyapa “Bu..” dan langsung berlari meninggalkan saya. Mungkin sekarang Jammi mau masuk sekolah karena beberapa teman barunya di kelas 3 adalah teman mainnya di rumah, termasuk adiknya. Ya, sekarang Jammi sekelas dengan adiknya, Rama. Apapun alasan Jammi sekarang mau sekolah, saya berharap Jammi tidak putus sekolah. Semoga teman-teman sekelas Jammi bisa menjadi penyemangat Jammi pergi sekolah.

*

Sebentar lagi masa penugasan saya berakhir. Satu target utama saya sebelum pergi: saya tidak ingin ada Johan-Johan lain di sekolah saya. Cukup satu Johan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena tidak dapat membaca. Oleh karenanya, saya mengadakan les membaca bagi siswa kelas 3-6 yang belum bisa atau belum lancar membaca. Salah satunya adalah Jammi. Di hari pertama les membaca, saya meminta Jammi membaca beberapa kalimat dari buku cerita. Rupanya, Jammi sudah bisa membaca, walaupun belum terlalu lancar dan masih mengeja. Setiap dua hingga tiga kalimat yang dibacanya, saya menanyakan Jammi tentang isi kalimat tersebut. Cukup mengejutkan karena ternyata Jammi cepat sekali menangkap maksud ceritanya dibandingkan teman-temannya yang duduk di kelas lebih tinggi. Kemudian ketika saya ajarkan ia penjumlahan puluhan, hanya dijelaskan sebanyak dua kali, Jammi bisa menjawab dengan benar 10 pertanyaan yang saya berikan. Wow. Dan ia senang sekali ketika mendapat nilai 100 tertera di bukunya.“Besok les lagi ya Bu!” kata Jammi sebelum pulang les.

*

Kepercayaan dan penghargaan. Itu yang saya pelajari dari Johan dan Jammi.  Saya semakin yakin bahwa seorang guru harus percaya akan kemampuan setiap anak. Kepercayaan ini pun perlu ditularkan kepada anak, agar anak tahu bahwa sebenarnya mereka mampu. Apalagi kepada mereka yang selama ini sudah dilabeli ‘bodoh, nakal, ndablek’ dan label buruk lainnya. Every human being has his/her own potentials. As a teacher and an educator, you need to dig up your pupils’ potentials. Penghargaan. Setiap manusia membutuhkan penghargaan. Penghargaan memberikan harapan bagi penerimanya. Penghargaan pula yang membuat sesuatu yang keras menjadi lunak perlahan. Mungkin saya gagal dalam memberikan kepercayaan dan penghargaan bagi Johan. Namun satu hal yang pasti, biarlah kegagalan tersebut menjadi pengingat dan pendorong bagi diri saya agar memberikan kepercayaan dan penghargaan bagi orang lain. Dan semoga kisah Jammi bisa menjadi catatan bagi semua orang bahwa setiap anak memiliki potensi yang dapat berkembang asalkan kita percaya dan menghargainya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua