pengorbanan atau kehormatan?
Yunita Fransisca 24 April 2011
Tepat beberapa saat mem-post tulisan ini, saya ditelfon oleh seorang teman seperjuangan saya di kuliah dulu. Dalam hitungan jam, ia akan berada di sebuah tempat baru, bertemu dan tinggal sementara bersama orang-orang baru, dan akan mendapatkan pengalaman baru dalam hidupnya. Ia menelfon saya untuk bertanya mengenai persiapan barang2 yang perlu dibawa olehnya.
Mendengar nada suaranya yang terkesan cemas namun excited, serta ceritanya mengenai 'kehebohan' menyiapkan barang-barang, membawa ingatan saya menuju beberapa bulan silam. Saat dimana malam terakhir di rumah, saya membongkar koper untuk terakhir kalinya, memastikan tidak ada barang yang kurang (bahkan akhirnya cenderung berlebihan :D). Setelah kelelahan bolak balik membongkar koper seharian padahal telah disiapkan beberapa hari sebelumnya, tetap saja saya tidak bisa tidur. Berkali-kali saya mengubah posisi tidur, tapi tetap saja hasilnya nihil. Sedih karena akan berpisah dengan keluarga dan teman-teman, cemas karena akan pergi ke tempat baru bersama orang-orang baru, menuju suatu misi dari sebuah program yang saya sendiri masih buram akan gambarannya, tetapi sekaligus excited karena akan mencoba terjun ke dalam hal baru. Rasanya campur aduk, hingga timbul pertanyaan: "bener ga ya jalan yang gw ambil ini?"
Saya selalu yakin, bahwa apapun yang kita lakukan akan menuntun kita mendapatkan yang terbaik, walaupun terkadang kita 'tersesat'. Dengan tersesat, kita jadi tahu bahwa kita perlu menemui jalan yang tepat. Jadi, bagaimana bisa tahu kalau jalan yang kita ambil itu membuat kita tersesat atau memang jalan yang tepat bila kita tidak mencobanya? And that's what I'm doing. Giving a shot.
Bila seseorang bertanya pada saya: apakah ini jalan yang tepat untuk lo ambil?
Jika pertanyaan ini diajukan sekitar 7 bulan yang lalu, maka jawaban saya: "ya mudah-mudahan. Toh juga kalo ternyata bukan yang terbaik, ngorbanin diri setaun doang. Ga bakal lama. Anggap aja cari pengalaman sambil ngisi waktu. Daripada nganggur."
Jika pertanyaan tersebut diajukan saat ini, maka saya menjawab: "Insya Allah ini adalah salah satu keputusan terbaik yang gw ambil dalam hidup. Apa yang gw dapet selama 7 bulan terakhir, gw yakini bakal ngebawa gw nemuin jalan yang terbaik. Setahun bukan untuk mengorbankan waktu, fasilitas, serta kemudahan akses, tetapi mendapat kesempatan luar biasa untuk menjadi 'lebih kaya'. Kehormatan untuk bertemu, membangun keluarga baru bersama para senior dan pemuda yang penuh semangat dan luar biasa, serta belajar bersama dengan mereka, kehormatan untuk bisa melihat sisi lain dari keadaan yang ada di lapangan, serta kehormatan untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. "Saya bukan nasionalis, tapi saya cinta dengan bangsa saya", begitu kira-kira kalimat yang sering saya dengar dari seorang rekan.
Well, setelah berbulan-bulan saya hidup jauh dari kehidupan kota, bohong jika saya tidak mengeluh karena tidak bisa mendapatkan akses dan fasilitas kota di sini. Rasanya perlu 'pengorbanan' hanya untuk menikmati sepotong ayam goreng tepung. Tapi percayalah. Ketika waktu terus bergulir dan memendek, semangat dan penerimaan luar biasa paling tidak dari anak-anak didik, maka stempel 'pengorbanan' sedikit demi sedikit mulai terhapus. Yang tersisa tinggal rasa syukur karena berada di sini dan kehormatan karena mendapat kesempatan ini.
Semoga apa yang dicita-citakan bersama dapat terwujud: membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, bagaimana pun caranya.
Selamat berjuang rekan-rekan dimana pun kita berada. Saling menyalakan semangat ya! Seize the rest of the days, wherever you are now. The good fight will never stop anyway. No matter how we do it one day :)
Dan bagi kalian yang dalam hitungan jam akan segera meninggalkan 'kehidupan normal' kalian, bersiaplah membuat 'cerita' yang tidak akan terlupakan. Selamat datang dan semangat! :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda