info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

suprapti vs tiket tanpa tempat duduk

Yunita Ekasari 29 Juni 2011
Pada sebuah perjalanan Tanjung karang-kertapati Waktu menunjukkan pukul 00.30 dini hari waktu sumatera. Perjalanan ini dimulai karena tujuh lembar tiket kereta sudah terlanjur terbeli. Aku dan teman-teman harus pula berangkat malam itu. Sebenarnya tiket telah habis terjual saat itu. Pertanyaanku, mengapa masih menjual tiket??. Entah apa yang dicari. Setelah tiket normal habis, masih disediakan tiket tanpa tempat duduk. Ya, kita boleh duduk dimana saja asalkan tempat duduk itu tidak ada yang menempati. Jadi mulailah kami berdoa agar si empunya tempat duduk terlambat mandi, kena macet di jalan ataukah gak dapat2 angkot dan kemudian ketinggalan kereta. Kalo dipikir2 jahat ya=). Aku tak mau menyalahkan siapapun. Aku bersyukur karena mempelajari satu hal baru lagi. Dan aku menulis ini di atas kereta api BISNIS, setelah memperoleh kursi. Kursiku yang sekarang kuperoleh setelah PINDAH kesekian kalinya. Mungkin ada yang bertanya, emang bisa berpindah-pindah kursi di atas sebuah kereta api kelas bisnis, bukannya biasanya tiket kereta bisnis telah tertera dimana seharusnya kita duduk dari keberangkatan hingga tiba di tujuan. Aku tertidur beberapa saat, kini aku terjaga. Memperhatikan sekelilingku. Disebelahku duduk seorang ibu, didepanku duduk seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya. Karena perjalanan malam, tentunya tak bisa menikmati pemandangan luar. Kutersenyum sendiri kini,kereta ini pun melaju semakin jauh meninggalkan tanjung karang. Dalam terjaga, pikiranku melayang kepada salah satu cerita kehidupan salah satu muridku. Aku yakin tidak ada sesuatu yang kebetulan, begitu juga dengan perjalanan malam ini, pengalaman pertamaku berkereta malam ini bagaikan sebuah analogi kehidupan seorang anak didikku. Itu yang kusimpulkan sementara. Namanya suprapti, umurnya kini 10 tahun. Kira-kira kelas berapakah dia?? Kalau kita menjawab dengan melihat umurnya, kita akan menjawab kalau suprapti adalah seorang anak perempuan yang sedang duduk di kelas 4 atau 5 SD. Ya, itu memang umumnya. Tapi kali ini berbeda. Aku menemukan suprapti di umurnya yang menginjak sepuluh tahun masih duduk di ruang kelas dua. Aku menemukannya enam bulan yang lalu. Tubuhnya yang paling besar di kelas. Tapi tak pernah sedikitpun ia merasa minder ataupun sok jagoan. Teman-temannya pun cukup menghargai keadaan suprapti. Suprapti beberapa kali "harus" tinggal kelas. Lha?? Terus hubungannya dengan analogi peristiwa malam ini apa?? Begini ceritanya *soksokmisterius* Suprapti adalah salah seorang anak yang tinggal di desa labuhan Indah. Labuhan Indah sendiri adalah salah satu desa kabupaten seberang. Dahulunya, desa labuhan Indah itu adalah kawasan hutan lindung yang tidak diperuntukkan untuk permukiman. Namun, oleh pihak-pihak tertentu dijual dengan harga yang miring. Harga tanahnya lebih murah karena tanahnya tidak memiliki sertifikat. Lama kelamaan, barulah ketahuan kalau tanah tersebut ilegal. Jadilah penduduk harus kucing-kucingan kapanpun dengan para petugas yang mungkin bisa mengangkat rumah-rumah mereka. Sejak itu juga suprapti harus berpindah-pindah, mengikuti orang tua demi keamanan tanpa mengingat usianya yang terus bertambah. Tanpa mengingat kalau ia harus bersekolah. Dalam kondisi tidak aman Suprapti terkadang satu semester tiidak ke sekolah. Hingga terkadang guru-guru menyangkanya keluar dari sekolah. Kemudian ia datng lagi, mungkin jika dalam keadaan yang cukup aman. Begitulah, entah sampai kapan harus seperti itu *kayak lagu saja*. Tempat duduk yang tidak jelas di atas kereta saja rasanya tidak enak. Apalagi ketika tiba-tiba si empunya tempat duduk yg sebenarnya datang dan berkata "maaf, permisi ini tempat duduk saya mba, bu, kak". Membayar dengan harga sama namun dengan perlakuan yang cukup berbeda. Padahal itu hanyalah satu malam perjalanan yang pasti diketahui ujungnya. Tapi suprapti mengalaminya dalam kehidupan nyatanya. Di usianya yang masih terlalu muda. Di masanya yang membutuhkan keceriaan. Dia dan keluarganya harus siap-siap berpindah kapanpun berita penggusuran terdengar. Bukan hanya suprapti yang mengalami hal itu, sebagian besar anak-anakku tinggal di desa labuhan indah. Sebuah desa tanpa fasilitas umum. Sebuah desa yang terbentuk secara tidak sengaja dan tidak terencana. Sabtu itu Suprapti menerima raportnya. Tahun ini ia naik ke kelas tiga. Sabtu itu, aku juga bertemu dengan para orang tua murid yang berasal dari desa labuhan indah. Sabtu itu sabtu yang cukup indah, selain karena pertama kalinya ceremonial penerimaan raport di adakan di sekolah kami, orang tua muridpun bisa melihat anak-anak mereka maju menerima award mereka atas prestasi anak-anak mereka.

Cerita Lainnya

Lihat Semua