sekolah kehidupan untuk Lusi
Yunita Ekasari 6 Juni 2011
Sore menjelang maghrib...
Celana sudah aus, menipis hingga akhirnya sobek (heheheh,kayak besi saja dan teringat teman-teman kuliah dulu yang sengaja membuat celananya sobek karena ingin membangun citra anti kemapanan, berjiwa militan dan anti kapitalisme,atau apakah namanya). Karena masih sayang dengan celana abu-abu dan untuk beli celana juga harus ke tanjung karang jadi lebih baik dijahit saja di tetangga sekalian mendekatkan diri dengan tetangga.
Hasilnya lumayanlah, walaupun tambalannya sangat jelas dan mempesona. Never mind, yang penting bisa dipakai.
Urusan jahit menjahit selesai, setelah pamitan dengan mbak penjahit, memakai sendal,kemudia melihat ada segerombolan anak-anak yang sedang berjalan kaki melewati rumah mbak penjahit.
Sepertinya saya sangat familiar dengan mereka. Ternyata mereka alfin, lusi, halid dan kawan-kawan lainnya yang akan menuju rumah saya.
Saya berjalan di belakang mereka, melihat langkah-langkah kecil mereka yang terlihat sangat ringan. Saya kemudian menoleh ke belakang ke arah rumah mbak penjahit. Lumayan jauh ternyata rumah mbak penjahit, rumah itu terlihat semakin kecil dan rumah anak-anak ini lebih jauh dari rumah mbak penjahit. Satu-satunya hal yang membuat mereka terus bergerak, mengayunkan kaki, menikmati perjalanan adalah semangat mereka tentunya. What the other? I think nothing. I hope it's right think.
Saya kemudian merenung, semangat mereka adalah kebahagiaan saya sebenarnya. Saya merasa beruntung diberi kesempatan untuk berbagi ilmu dengan mereka. Bayangkan jika semangat itu sudah tidak ada lagi ataukah jangankan hilang, pudar saja mungkin akan membuat saya hilang kesempatan untuk berbagi dengan sesama.
Saya kemudian menggenggam erat tangan danda, bocah berumur 5 tahun yang kini ditinggal ibunya merantau ke malaysia. Dalam hati saya berkata terimakasih atas semangatmu yang selalu membuat langkah-langkah kalian menjadi ringan untuk menuju rumahku yang jaraknya tidak dekat, semangat yang membuka ruang bagi saya untuk tetap berbagi.
Kami sampai di rumah....
Sore itu saya memutuskan kami belajar hal-hal sederhana namun terkait dengan kehidupan nyata.
Misalnya tentang makhluk hidup di darat. Biasanya mereka menuntut agar aku memberi soal di buku pelajaran. But, I think life is more than what is in the book. Dan itu yang terpenting menurutku.
Saya memulai pertanyaan-pertanyaan sederhana,
Hewan dan olahraga di darat dan laut.
I didn't predict before, I thought it was simple. Ternyata, mereka pun masih bingung. How could?
Untuk itulah saya berpikir kemudian untuk memulai mengajarkan ke mereka tentang kehidupan. Semoga dari hal-hal kecil yang selama ini saya ajarkan di rumah ini, bisa membuat mereka merasakan rumah ini sebagai sekolah kehidupan. Mereka belajar tentang kehidupan nyata, dan yang paling penting bagaimana mewujudkan kehidupan impian mereka menjadi kehidupan yang nyata.
Memulai semuanya cukuplah dari hal-hal yang kecil saja. Tidaklah muluk-muluk.
Selanjutnya kutanyakan lagi ke mereka "negara apa yang kalian ingin kunjungi di masa depan?"
Anak-anak laki-laki pada umumnya menjawab ingin ke eropa atau ke jepang. Mereka ingin ketemu pemain bola idola mereka.
Tapi jawaban yang paling bikin saya "speechless" adalah jawaban dari seorang anak perempuan yang bernama lusi. Ketika saya tanyakan "lusi mau kemana?" Dia menjawab saya mau ke malaysia bu bertemu ayah dan ibu saya.
Lusi adalah anak perempuan pertama di keluarganya. Dia memiliki dua adik, kabarnya adik bungsunya mengidap kelainan jantung. Lusi dan adik-adiknya dirawat oleh mbahnya. Ayah dan ibunya entah kemana. Tapi yang ia pahami ayah ibunya sedang berada di malaysia mencarikan mereka nafkah untuk membiayai si bungsu yang sedang sakiit.
Tapi saya yakin, Lusi dan adik-adiknya adalah anak-anak yang kuat. Mereka tumbuh dengan tempaan hidup yang luar biasa.
Mereka juga tidak mengenal kata menyerah. At least mereka tidak menyerah menunggu kedatangan ayah dan ibu di pintu rumah. Walaupun kedatangan itu adalah ketidakpastian yang pasti. Ketidakpastian yang nyata.
Itulah kehidupan,yang saya yakini sekolah kehidupan disediakan Tuhan dimana pun. Bukan hanya di sekolah yang jika kita ingin belajar di sana harus memakai seragam.
Dan di sini, di rumah ini, di hati ini semoga bisa menjadi ruang untuk sekolah kehidupan untuk lusi, adik-adiknya dan teman-temannya.
Dedicated to Lusi, si anak perempuan tangguh.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda