Maafkan kami bu!!!!!!!!

Yunita Ekasari 7 April 2011
Bulan maret...dari awal hingga akhir adalah bulan paling banyak saya absen di sekolah sejak november lalu. Dalam seminggunya aku paling tidak  hanya tiga hari di sekolah, selebihnya aku izin karena hal-hal di luar sekolah namun masih dalam lingkup tugas sebagai pengajar muda.  Menjadi pengajar muda memang merupakan kesempatan luar biasa untuk mempelajari banyak hal. Sungguh!!!!!!!. Lha, apa hubungannya?. Tapi, ketidakhadiranku di sekolah itu membuatku  benar-benar merindukan mereka. Mereka yang senantiasa menyambutku dengan riangan-ringan yang indah di setiap paginya. Tiga minggu itu aku merasa asing bagi mereka. Hampir bosan aku mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka keesokan harinya jika hari sebelumnya aku absen menemui mereka. “Bu yuni kemana sih bu kemarin, kok gak ngajarin kami?”, pertanyaan mereka. Aku pun selalu menjwaba dengan jujur dan apa adanya.  Aku merasa sangat malu dan merasa harus tebal muka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku merasa kurang optimal. Merasa bersalah ketika harus absen dihadapan mereka untuk membagikan ilmu pengetahuan. Sempat saya bertanya saya ini guru buat mereka atau apa???arggghhhhhhhhhh, beberapa malam pikiran itu mengusikku  sebelum tidur. Aku pun merefleksi diri kemudian mengingat kegiatan-kegiatan yang membuatku harus absen dari hadapan mereka.
  1. Minggu pertama dan kedua maret merupakan persiapan dan perayaan MTQ ke 2 se-kabupaten Tulang Bawang Barat. Perayaan tersebut diadakan di kecamatan kami, kecamatan Way Kenanga. Bapak sekretaris camat mempercayai kami untuk menjadi bagian dari kegiatan ini. Aku dan pengajar muda lainnya yang bertugas di Way Kenanga pun tentunya tidak menolak karena prinsip kami, hal sekecil apapun akan kami kontribusikan selama hal itu untuk kemajuan bersama. Jarak ibukota kecamatan dan desaku cukup jauh dan mengharuskanku untuk meninggalkan desa dan stay di ibukota kecamatan beberapa hari. Stay di ibukota kecamatan berarti membuatku tidak ke sekolah untuk mengajar.
  2. Minggu ketiga maret Pengajar Muda TBB mendapatkan undangan dies natalis dari universitas yang ada di kabupaten. Pada acara tersebut dikabarkan bahwa akan hadir pula bapak Mentri Pendidikan. Aku dan teman-teman tentunya pula tidak menolak undangan tersebut, agar memberi makna pada pertemuan itu, tim kami sepakat untuk membawakan surat-surat dari anak murid kami khusus untuk pak mentri. Dan sebagai kenang-kenangan untuk sekolah kami, maka kami menyiapkan foto yang akan ditandatangani oleh Pak Mentri. Selain itu kami juga ingin mengurus persuratan sosialisasi paramadina fellowship ke SMA yang ada di TBB. Karena kami juga yakin banyak berlian terpendam disini. Kelak akan ada stephen hawkins lahir dari bumi TBB. Dan lagi-lagi beberapa hari aku tidak ke sekolah.
  3. Minggu keempat maret, saatnya sosialisasi ke SMA. Dalam sosialisasi ini tidak hanya sosialisasi Paramadina Fellowship saja tetapi juga pengenalan beberapa perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia dan berusaha untuk mengajak mereka untuk kuliah. Dan semoga saja ada yang terinspirasi dengan langkah kecil ini.
The next???howaahhhh ternyata bulan maretnya sudah habis dan selamat datang bulan april. Aku sadar di sisi lain, aku juga merasa punya tanggung jawab  yang lain walaupun bukan utama, tidak pula besar namun kami, tim Pengajar Muda TBB yakin bahwa hal tersebut akan memberi sedikit warna terhadap dunia pendidikan di Tulang Bawang Barat. Hari ini hari sabtu, dan biasanya hanya ada tiga orang guru. Paginya aku mengajar Bahasa Inggris di kelas empat dan agak siang harus mengajar penuh di kelas dua sembari melatih anak-anak kelas empat upacara bendera untuk hari senin. Latihan upacara bendera pun betul-betul dimulai dari nol, karena mereka belum pernah upacara bendera seumur hidup mereka. Dan yang paling besar di sekolah itu adalah kelas empat, maka kelas empat ku latih untuk mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai petugas upacara. Hari sabtu itu jadwalnya kubalik. Aku melatih upacara di pagi hari karena matahari sangat cantik dan teriknya membuatku khawatir apabila aku menunda agak siang untuk latihan, akan memberi dampak yang kurang baik dan sehat bagi mereka. Latihan upacara selesai, saatnya untuk belajar bahasa Inggris setidaknya sambil menunggu giliran kelas dua memakai ruang kelas untuk belajar. Paginya ruang kelas dua dipakai oleh adik-adiknya di kelas satu. Bahasa Inggris hari itu bertemakan tentang livelihood , aku memutarkan video wild Indonesia. Tujuannya untuk mengenalkan betapa uniknya kehidupan tanah air kita, selain itu melatih kemampuan auditory dan visual mereka. Aku meminta mereka untuk mencatat segala hal yang mereka lihat dalam video tersebut dalam bahasa Indonesia. Setelah itu mereka boleh mencari kosakatanya di kamus. Pada saat yang bersamaan itu pula mereka belajar bagaimana mencari arti kata di dalam kamus. Karena tidak semua anak memiliki kamus, maka kecerdasan interpersonal pun mereka pelajari disini, walaupun tanpa mereka sadari. Mereka belajar untuk mau berbagi dengan teman yang tidak memiliki kamus. Dan yang tidak memiliki kamus belajar untuk berterima kasih kepada temannya yang telah sudi meminjamkan kamusnya. Aku keasyikan belajar bahasa Inggris di kelas empat hingga lupa kalau aku harus mengajar di kelas dua. Tiba-tiba Bu Mur, guru kelas satu menghampiriku. Dia kemudian berkata kepadaku bahwa aku mengajar di kelas empat saja hari itu, dan dia yang akan mengajar murid-murid di kelas dua. Aku mengiyakan. Aku pun melanjutkanuntuk mengajar di kelas empat. Dibalik tembok aku mendengar riuh suara anak-anak kelas dua seolah-olah mereka tidak menerima jika aku mengajar anak kelas empat. Waktu istirahat tiba. Biasanya jam istirahat tidak diberlakukan bagi anak kelas dua mengingat waktu belajar mereka yang harus dipersingkat karena ruangan kelas yang terbatas. Kelas empat dan kelas tiga pun istirahat. Aku memilih untuk mempersiapkan sesuatu untuk kegiatan Pramuka sorenya. Tiba-tiba.... Buuuuu,,,hendi nangis bu...entah dari siapa suara itu keluar. Sontak, aku terkaget. Aku tahu betul nama itu, Hendi merupakan nama salah satu murid kelas dua. Aku bergegas menuju ke kelas dua yang ruangannya hanya dibatasi tembok dengan kelas empat. Ternyata bu wiwid telah ada di hadapan mereka. Yang aku dengar dari teman-teman Hendi adalah bahwa Hendi ditinju oleh Adi, murid kelas empat. Aku pun mengklarifikasi kepada Adi. “Adi, kamu kenapa memukul Hendi?”, tanyaku Hmmmmmm........ Adi hanya diamm... Namun, tak lama kemudian ia pun mau bercerita apa adanya. Adi bercerita bahwa Hendi berkata sesuatu yang tidak sopan tentangku. Karena Adi tidak rela mendengar perkataan itu, maka ia pun meninju pipi Hendi hingga Hendi menangis. Aku bertanya secara baik-baik kepada anak kelas dua. Mereka menjawab bahwa mereka jengkel karena aku kini jarang mengajar mereka. Dan hari itu mereka sangat mengharapkan kehadiranku di depan mereka namun aku malah memilih untuk mengajar murid-murid kelas empat. Plakk...hatiku tergetar seperti ditampar. Anak-anak ini berkata jujur. Mereka dengan polosnya menceritakan perasaan mereka. Sesaat aku merasa “guru macam apa aku ini?”. Mereka juga bercerita bahwa kemarin, mereka menjemputku di rumah dan harus terlambat ke sekolah. Dan karena terlambat, mereka  harus menerima hukuman dari guru lain. Tapi mereka bukan sedih karena harus dihukum. Mereka bersedih karena ketika menjemputku aku ternyata sedang tidak berada di rumah. Mereka bertanya : “Apa bu yuni sudah balik ke Sulawesi?”. Tapi kok tidak pamit kepada kita ya. Hm,,anak-anak yang luar biasa. Tidak sanggup aku menatap binar mata indah mereka yang berkaca-kaca menceritakan kejadian itu. Waktunya masuk. Saatnya aku harus masuk kelas. Aku meninggalkan mereka menuju ruang kelas empat tanpa sepatah kata pun untuk mereka. Aku kembali mengajar IPS di kelas empat dengan hati yang sungguh sangat gundah gulana. Hingga pulang aku masih saja gelisah karena kejadian tadi. Ketika jam pelajaran usai di kelas empat aku, menatap mereka dari balik jendela. Mereka mungkin tidak sadar aku sedang memperhatikan mereka begitu lekat. “Maafkan aku anak-anakku, tak bisa ibu pungkiri bahwa ibu juga sangat rindu dengan kalian. Ibu juga selalu menantikan pertemuan-pertemuan yang luar biasa dengan kalian”. Saat pulang, mereka ragu untuk mendekati dan menyalamiku seperti biasanya. Namun, sane berlari dan meminta maaf kepadaku sambil menyalami tanganku. “Maafkan saya ya bu”, kata Sane Tak lama kemudian satu per satu dari mereka mengikuti apa yang sane lakukan. Meminta maaf dan menyalamiku. Aku kagum. Mereka mau mengakui kesalahan mereka yang sebenarnya aku rasa adalah akibat dari kesalahanku juga. Ingin rasanya menangis saking terharunya dengan kejadian itu. Bahkan beberapa dari mereka mengirimkanku surat yang berisi tentang permintaan maaf mereka. You’re so awesome kids. Thanks to teach me anything (in this case you teach me about forgiving) I love you All......

Cerita Lainnya

Lihat Semua