desperate (episode lebbaaayyy)

Yunita Ekasari 5 Maret 2011
Kali ini aku benar-benar ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku tak tahu harus marah kepada siapa. Aku juga sangat ingin mendekap seseorang yang sekiranya mampu mengurangi sedikit kegundahanku. Pagi tadi aku ke sekolah memberikan sebuah informasi yang menurutku cukup penting. Aku sudah merencanakan hal ini, jauh-jauh hari sebelum deployment : memberikan informasi tentang paramadina fellowship, sengaja ku download dan kuperbanyak informasi dan formulirnya agar semua bisa mencoba hal ini. Sebelumnya aku juga telah membagikan informasi itu ke pemuda yang ada di desaku, namun hasilnya cukup nihil. Aku tidak menyerah sampai disitu. Aku merasa bahwa aku harus berusaha mengerti kenyataan. Kegundahanku lahir bukan karena sederet syarat yang menurut mereka -agak susah- untuk dipenuhi, tapi kegundahanku lahir karena keinginan mereka yang hampir -tidak ada- untuk melanjutkan pendidikan, sedikit kutipan dari salah seorang yang menusuk hati "ya, nderes aja bisa dapat duit, ngapain susah-susah kuliah, belum tentu juga setelah kuliah bisa dapat duit yang sama banyaknya dengan hasil deresan". Aku benar-benar terpukul mendengar kalimat-kalimat itu terlontar. Speechless, serendah itu kah arti ilmu pengetahuan bagi mereka. Sekali lagi aku menghadapi pihak yang menukarkan pendidikan dengan material, bahkan menilainya lebih rendah dari materi itu sendiri. Namun aku tidak serta merta menyerah dan kemudian memusuhi orang itu, aku tetap memberi selebaran itu kepadanya. Aku hanya ingin berteriak, Namun bingung dimana dan kepada siapa. Aku mencoba senyum walaupun nampak miris. Bukan hanya itu. Siangnya aku berbicara dengan salah satu pemuda di desa ini. Kami sedang membicarakan tentang karang taruna. Dia agak kurang bersemangat dengan topik pembicaraan ini. Entah mengapa, tidak seperti biasanya. Ok, aku mengalihkan pembicaraan. Aku berkata bahwa dalam waktu beberapa bulan ke depan aku akan mengambil cuti dan pulang ke kampung halamanku di seberang sana untuk beberapa hari. Dia sepertinya tertarik, belum selesai aku bercerita dia memotong pembicaraanku "Kapan yah saya seperti kamu, bisa punya waktu cuti??" Astaga, aku pikir dia tertarik dengan pembicaraanku tapi ternyata dia malah menyesali dirinya. Dia kemudian bercerita, bahwa dia menyesal mengapa ia dulu mau ber sekolah kalau akhirnya dia harus seperti yang sekarang, menurutku dia cukup hebat, dia menyelesaikan kuliah sesuai dengan passionnya. Aku saja baru nemu passion pas pelatihan kemarin, tidak merasa menyesal karena dulunya aku kuliah bukan berdasarkan passionku. Karena aku merasa ilmu pengetahuan itu penting apapun bentuknya. Apalagi ketika ilmu pengetahuan tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain, bukan hanya untuk diri kita sendiri. Ini aneh menurutku. Tapi aku tidak mau jadi orang yang egois, aku akan memahami sudut pandangnya. Mengutip tulisan Nh dini disalah satu karyanya "Terkadang manusia membutuhkan kenyamanan-kenyamanan lain di luar materi, misalnya ruang untuk berpikir dan berkreasi". Pemuda itu kini telah mengaplikasikan ilmunya, dulunya dia kuliah mengambil jurusan olahraga di salah satu perguruan tinggi lokal. Sekarang dia menjadi guru di salah satu SD di desa ini dan dia sedang menjalankan aktivitas yang cukup keren : mengoptimalkan potensi anak didiknya di bidang olahraga. Ketika pertemuan karang taruna, dia pun dipercaya untuk menjadi ketua karena dianggap memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih dibandingkan pemuda yang lainnya. Apa lagi?? Masih teringat mas rene beberapa bulan yang lalu "your job is not your carrier but your job is your passion". Dia sudah menjalankan prinsip itu tanpa harus bertemu rene jauh-jauh ke jakarta. Dia bahkan sudah menemukan kenyamanan yang tak dapat digantikan dengan berapapun nilai rupiah. Kenyamanan yang bahkan juga bermanfaat untuk banyak orang, masa depan banyak anak at least di sekolah tempat dia mengajar. Itu mungkin sudut pandang saya. Dan saya menghargai sudut pandangnya. Back to his point of view Dia menganggap bahwa pendidikan yang dia tempuh dulunya ternyata tidak mampu memberikan penghidupan yang "layak" secara materi kini. Lagi-lagi pendidikan dinilai seperti itu. Haruskah?? Pedih rasanya mendengar hal itu dalam satu hari ini. Saya tidak ingin menyalahkan siapapun atas ini. Saya merasa saya wajib untuk memperbaiki paradigma itu, setidaknya sedikit saja hingga 10 november nanti. Tapi bagaimana caranya? Saya sedang memikirkan hal ini. Keyakinan saya masih kuat akan hal itu. Paling tidak sekarang saya sedang menemani lilis yang sedang melengkapi berkas-berkas untuk mengikuti seleksi beasiswa paramadina. Aku berharap dia bisa lolos, kuliah dan kemudian kembali ke desa ini untuk menularkan virus-virus positif. Mungkin belum banyak hal positif yang tertular dengan kehadiran saya empat bulan ini, juga belum banyak memiliki pengaruh ke masyarakat indraloka. Belum berdampaklah. Tapi semoga langkah-langkah kecil ini akan memiliki dampak positif yang jangka panjang. Mungkin nanti....tidak untuk saat ini. Tidaklah itu menjadi masalah bagi saya cepat atau lambat tentang dampak itu. Yang saya pahami selama ini semua butuh proses yang tidak singkat. Ya, itulah kenyataan yang harus saya hadapi. Kenyataan yang membuat jiwa sedikit bergejolak namun harus tetap dihadapi dengan tenang. Kalau minjem istilahnya pak hikmat, hal itu adalah "beruang" yang membelenggu sayap untuk terbang. Tak akan ku biarkan "beruang" itu tumbuh membesar dan menghalangiku untuk terbang melambung. Ps : Nderes ยป bertani karet.

Cerita Lainnya

Lihat Semua