Wayang Guru

YesayaPutra Pamungkas 20 April 2016

“ Saya hanya ingin, mengakhiri masa pengabdianku yang sudah saya geluti 33 tahun dengan…… Akhir yang Baik “

(Pak. Mondong, 2016)

 

“ Usia saya 57 tahun  Memang Sudah Tak Muda, Namun Semangat Saya Terus Menyala ! Ketawa Bahagia Menjadi Tandanya, Dalam Setiap Hari-hari Saya “

(Cik. Trintje, 2016)

 

                Mengabdi sebagai seorang guru pada zaman lampau bukan pilihan yang mudah. Rendahnya jumlah peserta didik dan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan menjadi tantangan yang tak bisa dikesampingkan dari diri. Ditambah tekanan dari keluarga yang memiliki pandangan keraguan terhadap seorang guru. Hanya panggilan hatilah yang meluruskan langkah-langkah kaki menapaki pengabdian sebagai seorang guru. Tak jarang sesekali harus meneteskan air mata ketika ada peserta didik yang belum mampu mengikuti proses pembelajaran. Lantunan doa dipanjatkan dengan lutut sebagai tumpuan, berharap yang Maha Kuasa memberi petunjuk. Tiap mentari terbit langkah kaki ini menyusuri jalan setapak ditemani rimbun dedaunan dan melodi jangkrik. Getar jantungpun muncul seketika, dikala bahaya mengancam dari dalam semak-semak rimbun. Langkah-langkah kaki berganti dengan nafas tersegah-sengah, berkeringat dingin. Angan menguat dikala mengingat secerca senyum tulus dan polos siswa-siswi yang sudah menunggu digubuk sana. Perjalanan tulus belum berakhir, lintangan kayu panjang dan deras riak air menunggu didepan pasang mata untuk ditapaki. Pijak kaki harus teliti seraya lapuk kayu menopang ragaku. Tantangan tak lagi menjadi halangan bagi pengabdian seorang guru, pemicu hati melihat siswa-siswinya berprestasi. Bahkan menjadi sosok pemimpin masa depan bangsa esok hari. Jasaku tak perlu dikenang, ajarankulah yang harusnya dijadikan lakumu.

                Duduk dikursi sudut, punggung bersandar ditembok lapuk. Senyum manis ditebar dihalayak umum. Puluhan pasang mata riang menatap penuh harapan pada sang sosok guru. Mengawali jenaka pagi itu dengan tawa khas nenek tua. Memori-memori masa lalu dalam kalbu yang udah kusam dibuka. Lembar-lembar berdepu disingkap hingga sang mentari terbumbung tinggi. Kisah Pilu dimasa kalbu yang sempat membuat detak jantung terpacu. Bak dering radio mengudara dalam radius 90,4 FM. Jenaka-jenaka nenek tua mulai berharmoni. Mari ikuti dongeng nenek tua “Sang Guru”……..

Jenaka sang Guru berjudul : “Siswa Judi, Tanda Kulit (Tuturuga : Mudah robek)” Berbuah “Doreng Hijau, Baret Merah“

                Ricuh ramai teriak orang dibandara siang lalu pecah jadi satu. Barisan rapi mengantri diloket pesawat. Perjalanan  sang Guru akan dimulai, Sesosok tinggi dan muda mendekat cepat. Mata sang guru ketakutan, keriput dahi berkerut. Ucap kata “Siapa kamu?” meluncur menghujat sang pemuda. Gagah berani sang pemuda mengulurkan tangan pada sang guru, sembari berkata “ Cik, Ingat dengan tanda dibawah telingaku?”. Pikiran Guru Berotasi ke masa-masa lampau. Sang Guru berujar “ Oh ya, Ingat. Waktu itu saya menjadi guru dipulau. Ada anak didik saya yang main judi, sehingga saya menarik telinganya. Tak tau kalau kulit anak itu jenis Tuturuga sehingga robek. Namun waktu lalu saya sudah ketemu orang tuannya dan orang tuanya mendukung tindakan saya. Kata Sang Pemuda dengan Penuh Harapan “ Cik, Kalau bukan didikan cik terhadap keaktifan saya, mungkin saya tidak akan pernah sadar dan mengenakan seragam doreng ini. Tanda ini menjadi pengingat setiap langkah-langkah masa depan saya cik. Terimakasih ya cik “ Sembari mata layu terharu bangga. Tidak pikir lama tanganpun mengayun menggenggam erat sang Guru. Ditengah barisan antrian loket badara udara, sang mantan murid mengajak sang guru ditoko berAC. Dingin menusuk hingga sumsum tulang. Bau Harum tercium samar-samar diujung hidung. Langkah kaki berlabu di toko roti samping bandara. Berdiri kaku raga sang guru, belum siap menerima buah manis didalam kalbu dulu. Sunyi, senyap dan cepat tangan sang pemuda mengambil ranjang dan mengisi penuh dengan berbagai macam dan cita rasa roti. Lalu bergegas melunasi di mesin kasir. Bungkusan berat dan penuh dipersembahkan kepada sang sosok Guru masa lalu. Guru hanya berpesan “ Terimakasih dan sukses selalu ya, nak!”.

                Berjumpa karena waktu, berpisah untuk mengasah ilmu. Ungkapan yang pas untuk pertemuan sang guru dan mantan murid. Guru berpesan pada halayak pasang mata guru di ruang kantor guru “Jika kita sudah mengambil jalan Seorang Guru, Tebarlah sebanyak-banyaknya manfaat. Sebab esok kamu tak akan tau benih mana yang akan Tumbuh. Pasti buah manis akan kamu nikmati kelak. Murid yang menggugu tidak akan pernah lupa dengan sosok Sang Guru!”

                Mari Berhentik Sejenak ?

                Anda Seorang Guru ? atau Anda Seorang Murid ?  (Sembari Sujud, Renungkanlah Lakumu)

                Ayo, hidupkan kata hati nurani Anda!

“Pendidikan tidak hanya dinilai saat ini, Pendidikan itu sampai mati. Mati untuk Mendidik, Terdidik sampai Mati”

Yesaya Putra Pamungkas, 2016 (Pengajar Muda XI Kab. Banggai) 


Cerita Lainnya

Lihat Semua