“Nak, Ko Tara Boleh Pukul Perempuan!” (Nak, Kau Tidak Boleh Memukul Perempuan)

Yenni Triani 16 Desember 2014

Di bulan-bulan pertama bertugas di kampung Offie, aku mulai benar-benar merasakan kerasnya watak anak-anakku. Semua perdebatan di antara mereka selalu berakhir dengan aksi “baku pukul”. Mereka tidak terbiasa berdiplomasi. Parahnya, ketika baku pukul itu terjadi, mereka tidak terlalu memusingkan apakah lawan mereka sesama laki-laki atau perempuan, semua dianggap sama. Hasilnya, waktu itu, hampir setiap hari aku harus dihadapkan dengan tangisan anak-anak perempuan.

Jika mereka baku pukul sesama laki-laki, pertarungannya menjadi seimbang. Setiap anak akan mendapat kesempatan untuk saling membalas. Maka, selesai baku pukul, mereka akan kembali bermain bersama. Namun, jika yang menjadi korban pemukulan adalah anak perempuan, permainan akan bubar, karena anak perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas. Kekuatan fisik yang tidak seimbang, membuat mereka tidak dapat melakukan serangan balik. Akhirnya mereka hanya bisa menangis, dan grup perempuan akan melaporkan semuanya kepadaku.

Aku geram dengan kebiasaan ini. Akhirnya aku buat peraturan “Tidak Boleh Pukul Perempuan”. Aku kampanyekan peraturan ini ke semua anak laki-lakiku.

“Ko tara boleh pukul perempuan, Nak. Perempuan itu bukan ko pu lawan! Kalau ko pu masalah, baku bicara saja, jangan baku pukul. Ko ini macam bagaimana kah! Pokoknya, jangan pukul perempuan lagi! Kau dengarkah tarada?" Sabdaku berapi-api.

“Iyo, Ibu.... tidak lagi....” jawab mereka.

Namun janji tinggal janji. Besok-besoknya aksi pemukulan terhadap anak-anak perempuan masih terjadi. Kampanyeku gagal. Aku sadar bahwa ada yang salah dengan caraku menasehati anak-anakku, sehingga pesannya tidak tersampaikan. Tapi aku sudah bingung mau bicara apa lagi. Para mama sudah menyarankan ku untukmengambil tindakan keras.

“Pukul pakai rotan saja, Ibu. Dorang (mereka) itu tara bisa kalau tidak dipukul. Kalau sudah dipukul baru mengerti.” Usul mama-mama.

Aku dan rotan? Aku memukul anak-anakku? Mana aku tega. This is impossible. Aku tidak akan bisa mengajarkan mereka untuk tidak memukul sedangkan aku memukul mereka.

Dalam keadaan bingung mencari solusi, aku teringat dengan film “Di Timur Matahari”. Salah satu adegan di film ini juga mengangkat konflik yang sama dengan yang aku hadapi.

Akhirnya,untuk kedua kalinya, aku kumpulkan anak laki-lakiku. Setelah mereka tenang. Aku mulai meluncurkan ceramahku. Namun kali ini tidak pakai emosi. Bicara dengan nada memelas.

“Acan,Fasril, Asmin, dan semua anak laki-laki ibu di sini, dengar ibu baik-baik e...  Ko tara boleh pukul perempuan, Nak. Ibu Yenni juga perempuan. Kalo ko pukul perempuan berarti ko pukul Ibu Yenni juga toh. Ko mau pukul ibu?”

Mereka menggeleng.

Lalu aku mulai "meng-quote" salah satu dialog dalam film"Di Timur Matahari" itu.

“Ko pernah dengar, kalo perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki?” Mereka menggeleng. Bahkan beberapa anak kemudian bertanya apa itu tulang rusuk.

“Tulang rusuk itu, tulang yang melindungi ko pu jantung. Letaknya di sini, di depan ko pu jantung. Di dalam ko pu dada. Kalau ko tarada tulang rusuk, maka ketika ko baku pukul, akan kena ko pu jantung. Kalo kena jantung, bisa mati. Jadi tulang rusuk itu penting sekali.”

Mereka diam mendengarkan.

“Nah , perempuan itu diciptakan dari laki-laki pu tulang rusuk, diciptakan dari ko pu tulang rusuk. Jadi, kalau ko pukul perempuan berarti ko pukul diri sendiri juga toh. Ko mau pukul ko pu badan sendiri?

Mereka menggeleng.

“Jadi, ko harus janji sama ibu sekarang, kalau ko tara akan pukul perempuan lagi!”

"Iyo,Ibu...Katong janji...” jawab mereka.

Dan begitulah ceramah dramatis itu pun selesai. Kali ini aku berharap pesanku tersampaikan.

Dan, Alhamdulillah, ceramah ini bisa dinilai cukup berhasil.

Di bulan-bulan selanjutnya, aku cukup jarang melihat atau mendapatkan pengaduan kasus pemukulan yang dilakukan anak laki-laki terhadap perempuan. Aku senang.

Meskipun begitu, kebiasaan “tidak memukul perempuan” ini belum 100% diterapkan, terkadang mereka masih sering khilaf. Dan ketika khilaf, mereka akan segera meminta maaf kepadaku, bukan kepada anak yang dipukulnya. Aku rasa, ini adalah efek dari doktrin bahwa kalau mereka memukul perempuan berarti mereka memukulku. Huh, runyamnya... tapi untuk sementara kubiarkan saja.

At least, mereka sudah sadar bahwa memukul perempuan itu adalah perbuatan yang salah. Segitu dulu untuk saat ini. Namun, hal yang membuatku tersentuh adalah, sering kudengar anak-anak laki-laki ku saling mengingatkan satu sama lain untuk tidak memukul perempuan. Apakah ini tandanya mereka sudah mulai sadar? Aku harap begitu...

Tetapi kemudian, bukan berarti masalah selesai. Masalah baru pun datang.

“Ibu, Masitra pukul anak laki-laki”, Acan mengadu.

“Ibu, Mawada pukul anak laki-laki”, Ari berteriak.

Teriakan-teriakan semacam ini mulai sering aku dengar. Sekarang anak-anak perempuanku mulai suka memukul anak-anak laki-laki. Dan anak laki-laki tidak mau membalas, karena mereka sudah janji kepadaku.

Jujur, sebenarnya aku tahu, ini adalah masalah baru yang harus aku atasi. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku senang, karena anak laki-lakiku mulai belajar menjadi seorang “Gentlemen”. Pria sejati yang tidak mau memukul perempuan. And that’s really sweet.

Jadi, biasanya, ketika anak-anak laki-laki ku mengadu, aku cuma tertawa, dan mereka balik tertawa. Aku tahu mereka hanya mau menggodaku.

If I were a boy, I would treat girls in a gentle and respectful manners. Not because they are vulnerable or fragile, but because they deserve such treatments, for they are the source of all beautiful things that exist in your world today. They are your mothers, your sisters, your daughters, your wives, your friends, and half of you. But, since I’m not a boy, so then I want to teach my boys to be a proper future man who possess these proper manners. And, I hope they got the lesson soon...

(Yenni Triani, "When Teaching is A Lot More Like Parenting")


Cerita Lainnya

Lihat Semua