Di Dalam Do'a Ibu Pendeta, Ada Namaku Disebut

Yenni Triani 27 Desember 2014

Malam itu, tanggal 25 Desember. Tanggal terjanji bagiku. Karena aku sudah berjanji pada anak-anakku di Kampung Tetar untuk menemui mereka di malam natal. Aku memang tinggal dan bertugas di Kampung Offie, kampung Muslim. Namun muridku tidak semuanya anak-anak Offie. Tapi juga anak-anak Tetar, anak-anak yang beragama Kristen dari kampung sebelah.

Anak-anak Tetar-ku adalah anak-anak yang begitu gigih, setiap hari berjalan kaki atau mendayung perahu untuk belajar bersamaku di SD Inpres Offie. Setiap hari, anak-anak Tetar-ku ini harus berjalan kaki menembus hutan, berjalan di jalanan yang menurun dan mendaki di pagi buta. Hanya sebagian kecil dari mereka yang cukup beruntung dapat menikmati fasilitas perahu menuju sekolah, sehingga bisa menghemat waktu dan tenaga. Namun, mendayung perahu ke sekolah juga bukannya tanpa resiko. Anak-anakku harus waspada dengan terpaan ombak, ataupun muatan yang melebihi kapasitas. Oleh karenanya, sebelum berangkat mereka telah siap membungkus buku-buku dan sepatu mereka dalam kantong plastik, mereka sudah berjaga-jaga, kalau-kalau perahu karam.

Dan, perjuangan mereka akan semakin keras, manakala pulang sekolah, karena saat itu matahari sedang bersungguh-sungguh memanggang mereka, ketika perut mereka sedang lapar pula. Aku pernah beberapa kali mengikuti perjalananan mereka pulang ke Tetar di siang bolong. Jadi aku tahu betul bagaimana rasa siksa matahari ekuator di perjalanan yang terasa sangat jauh itu. Kaki lelah melangkah dan dahaga yang menyiksa. Tapi, anak-anakku tidak pernah mengeluh, mereka hanya bilang "Tara papa, Ibu. Katong su biasa..." (tidak apa-apa,Ibu. Saya sudah terbiasa).

Meskipun, sedari kecil anak-anak Tetar sudah tahu bahwa mereka memiliki agama yang berbeda dengan anak-anak Offie. Namun, anak-anak Tetar-ku sangat bersahabat dengan anak-anak Offie. Setiap Lebaran, anak-anak Tetar tidak pernah absen untuk datang dan mengucapkan "Selamat Idul Fitri" untuk teman-teman muslim mereka. Dan, pada lebaran kemarin pun, mereka datang dan merayakan hari besar itu bersamaku di Offie. Mereka juga membawa serta orangtua mereka yang secara bergantian menyalami tanganku dan mengucapakan "Selamat Idul Fitri". Mereka membawa pesan damai, bahwa perbedaan bukanlah masalah.

Kini, tibalah giliranku untuk membalas pesan damai mereka. Di malam 25 Desember ini, aku akan merayakan natal bersama anak-anakku di Tetar. Tuhan, ini akan menjadi natal pertamaku di gereja mereka.

Selesai sholat Maghrib, aku sudah siap dengan baju rapi dan bingkisan kecil hadiah natal untuk anak-anakku. Adik piaraku, bersedia mengantarku menuju Tetar. Dia memboncengku dengan motornya, kami menembus hutan dalam malam gelap pekat. Selama perjalanan dalam gelap itu, aku bahkan tidak bisa melihat jalanan di depan kami, pohon-pohon di sekelilingku mendadak hanya menjadi sekumpulan bayangan-bayangan besar yang menakutkan. Tapi, untungnya, setelah sampai di Tetar, aku disambut dengan anak-anakku dan Gereja mereka yang sudah terang benderang.

Dan kini, aku sudah di depan gereja "Petra Tetar", anak-anaku datang mengerumuniku. Mereka senang aku datang. Para orangtua mereka juga datang menyambutku. Mereka kaget ternyata aku benar-benar datang malam itu. Karena memang tak ada pemberitahuan kepada mereka sebelumnya kalau aku akan datang. Mereka menyalamiku satu-satu.

Batinku mengucap basmallah ketika pertama kali melangkah masuk ke gereja. Ini sungguh pertama kali aku masuk ke gereja. Duduk di barisan bangku terdepan, menghadap altar, aku dikelilingi oleh anak-anakku. Mereka tersenyum, duduk ramai-ramai menghimpitku. Malam itu, aku menjadi satu-satunya muslim di sana. Lalu, aku mendapatkan selebaran liturgi, yang akan memanduku dalam memahami prosesi peribadatan. Anak-anak di sebelahku, sesekali memegang tanganku, mengajakku bermain.

Tak lama, Ibu Pendeta masuk, prosesi pun dimulai. Semua hening. Lalu, anak-anakku menyanyikan lagu "Malam Kudus" di bawah penerangan cahaya lilin, hanya cahaya lilin. Aku merinding mendengar suara nyanyian anak-anakku yang begitu penuh penghayatan.

Di akhir prosesi, Ibu Pendeta membacakan "Do'a Syafaat" bersama semua jamaat kristus. Dan ini adalah saat-saat yang paling mengejutkan sekaligus mengharukan untukku. Karena tak kusangka, Ibu pendeta menyebut namaku dalam do'a yang dia verbalkan dengan lantang itu. Do'a itu kemudian di-amin-kan oleh semua jemaat Kristus malam itu.

"Ya Tuhan, kami berdo'a untuk kekasih kami, Ibu Yenni Triani, Ibu Indonesia Mengajar kami. Walaupun dia tidak seiman dengan kami, tapi malam ini, dia bersedia datang, duduk bersama kami. Tuhan, mohon berkatilah dia. Berilah perlindungan Engkau Tuhan, jagalah dia selalu..."

Do'a Ibu Pendeta itu, semakin panjang dan panjang. Aku hanya diam, tertegun menatap Ibu Pendeta yang tengah mendoakanku dengan memejamkan matanya. Makin kudengar, Ibu Pendeta kian memperpanjang do'a-do'a tulusnya untukku. Dengan mata yang masih terpejam, dia bahkan mendoakan kebaikan untuk keluarga dan sahabat-sahabatku. Tak terasa air mataku meleleh. Aku masih memandanginya ketika dia selesai berdo'a dan membuka mata. Dia memandangku sambil tersenyum, dan aku makin terharu.

Ya, Allah...aku tahu Engkau selalu penuh cinta....


Cerita Lainnya

Lihat Semua