Ketika Menanam Pohon di Tanah Papua

Yenni Triani 18 Desember 2014

Aku selalu berhasil menarik perhatian anak-anakku. Aku tahu apa yang anak-anakku mau, karena aku juga pernah jadi anak-anak. Anak-anak suka dengan hal-hal baru, hal-hal yang menantang dan menceriakan, so I give it to them.

Aku bawakan mereka balon yang aku pesan dari Jakarta, seluruh sekolah heboh. Kita main balon ke sana kemari. Mereka bermain balon di lapangan sekolah, di bawah pohon mangga, bahkan di jalanan kampung. Mereka berjalan, berlari, melompat, bahkan menciumi dan memeluk balon-balon mereka. Balon warna-warni itu begitu magnetis bagi anak-anakku, yang memang tidak pernah punya balon seperti itu sebelumnya. Hari di mana ada balon itu, adalah hari yang ajaib, kampung terasa bagaikan dunia fantasi yang penuh suara tawa anak-anakku.

Selain balon, aku juga suka memberikan kejutan kepada mereka. Aku memasak untuk mereka. “Pisang Coklat” dan Kue Dadar Coklat” adalah kue paling heboh bagi mereka. Iya, hanya kue itu saja. Setiap kali aku bawakan menu ini, mereka akan menghabiskannya dengan lahap, sambil menjilati coklat-coklat yang meleleh di tangan mereka. Aku bangga sekali melihat mereka begitu semangat menghabiskan masakanku. Tidak ada komplain ataupun kritik, semua yang aku masak selalu dibilang enak. That’s so encouraging.

Tapi, kali ini, aku punya sebuah proyek yang membuatku sedikit pesimis. Pesimis bahwa aku akan bisa menarik perhatian anak-anakku untuk menyukai proyek ini. Karena proyek ini bukanlah sesuatu hal yang baru bagi mereka. Aku ingin mengajak mereka menanam pohon di sekolah. Padahal sekolah kami adalah sekolah di tengah hutan, yang dari dulu sudah penuh pohon.

Namun bibit sudah ada. Dinas kehutanan telah mengamanatkanku untuk menanam sejumlah pohon. Jika tidak ditanam, mereka akan mati sia-sia. So, the show must go on whether my kids support me or not, pikirku.

Tapi, seperti biasa, asumsi negatifku selalu salah. Saat aku mengangkut pohon-pohon itu ke sekolah, anak-anakku heboh. Mereka penasaran dengan jenis bibit pohon apa saja yang aku bawa. Mereka berkerumun menghampiriku. Antusiasme mereka ini membuat aku semakin bersemangat menjelaskan nama-nama pohon yang aku bawa. Ada pohon rambutan, mangga, duku, durian, dan nangka. Mendengar semua nama-nama pohon buah itu, anak-anakku senang sekali. Mereka bahkan mengajakku berhayal tentang bagaimana nanti repotnya kami menghabiskan buah-buah itu ketika pohon-pohon sudah besar. Mereka lucu sekali, padahal pohon-pohonnya masih berukuran tak lebih tinggi dari betis mereka.

But, that’s okay, at least they’re excited.

“Ibu, ini hari, tanam itu pohon-pohon sudah. Katong pi turun, pulang angkat parang, pacul dan linggis di katong pu rumah”, Fasril mengawali.

“Iyo ibu”, dukung anak-anakku yang lain.

Lalu anak-anakku mulai pulang, mengambil peralatan menggali tanah. Para anak-anak laki-laki kelas V dan VI yang berpostur tubuh lebih besar baku tolong menggali tanah. Tanah kampung kami ini bertekstur keras dan berbatu, sehingga hanya anak-anak besar yang kuat menggalinya.

Kemudian, setelah selesai menggali tanah, anak-anak perempuanku membawakan bibit. Dan sebelum pohon ditanam, aku instruksikan mereka untuk berdoa dulu. Aku mengajak mereka mendoakan agar pohon-pohon yang kami tanam tumbuh sehat, subur, panjang umur dan berbuah manis. Mereka hikmat mematuhi perintahku. Meskipun saat aku mengucapakan “panjang umur” mereka tertawa. Mungkin kedengarannya seperti do’a untuk orang ulang tahun. Tapi, aku serius, aku harap pohon-pohon ini panjang umur, mengingat bunga-bunga yang aku tanam di Jakarta selalu berumur pendek. Jadi, kali ini aku serius ingin tanaman yang aku tanam bersama mereka tumbuh panjang umur.

Melihat aku begitu bersungguh-sungguh, anak-anakku berhenti tertawa. Mereka berempati, dan mencoba menghayati do’a-doaku itu. Anak-anakku ini adalah makhluk yang paling romantis. Mereka selalu berusaha untuk menjaga perasaanku. Bahkan yang paling membuatku tersentuh, tanpa aku suruh, sebelum kami berdo’a, anak-anakku berkumpul, duduk melingkari pohon, sambil semua tangan mereka memegangi pohon-pohon itu bersama-sama. Kompak sekali. 

Tuhan, entah kenapa aku merasa semua yang mereka lakukan itu indah. Anak-anak ini punya naluri persahabatan yang sangat tinggi. Hidup mereka penuh dengan kebersamaan. Hal yang tidak familiar di hidupku, yang dulu cenderung identik dengan “Silince and Solitary”. Tuhan, lagi-lagi mereka mengajari aku.

They teach me that it will be much more beautiful if we can share our life with others. It made me realized that all these years, I was just being stupid spending most of my time in silence and solitary. I should have just opened my heart, shared my life, and being happy with many people around me... I was just too scared. I became the prisoner of my own mind. Now, I know I may not do that anymore. I should be the new me, a friendly me who deserves love and not afraid to love.

I owe so many things to my kids, especially this current beautiful life that I share with them. Sometimes, I feel like God is speaking to me, right through them...and I think it’s true...


Cerita Lainnya

Lihat Semua