3 Bulan Mengajar 6 Huruf

Angga Oktra Pria Fambudi 28 Desember 2014

Teng teng teng teng teng teng, waktu menunjukkan jam 10.00 WIT,...Bel istirahat sekolah pun dipukul. Sekejap wajah anak – anak menjadi riang dan mereka segera berlarian keluar menghambur dilapangan. Kulihat banyak dari mereka mulai berjalan berbarengan meninggalkan gedung sekolah. Kemanakah mereka pergi dalam benakku. Setelah kutelusuri ternyata mereka pergi kerumah mereka masing – masing untuk sekedar makan, jajan ataupun minum teh dirumah. Hal itu selalu berulang setiap harinya karena memang penjual makanan tidak ada disekolah sehingga mereka harus pulang untuk sekedar mencari snack jika kebetulan tidak membawanya ke sekolah.

                Tiga puluh menit berlalu, waktu menunjukkan pukul 10.30 WIT dan bel istirahat pertanda masuk pun berbunyi. Anak – anak mulai memasuki kelas namun kulihat beberapa dari mereka masih belum datang. Yah mungkin mereka tidak dengar bunyi bel ataupun masih berjalan menuju sekolah. 15 menit kemudian baru beberapa dari mereka terlihat datang. Langsung kutanya kepada mereka;

                “Wah jagoan pak guru ini baru datang, darimana kah kalau boleh tahu sampai datang telat?”

                Mereka diam dan tak menjawab pertanyaanku. Beberapa dari mereka bersembunyi dibelakang temannya, ada yang diam saja dan ada juga yang berusaha mendorong temannya untuk menjawab. Namun hasilnya tetap saja mereka tidak menjawab pertanyaanku sehingga akupun langsung mempersilahkan mereka untuk duduk. Setelah itu kulihat kelas 5 dan 6 yang ku ajar di satu kelas secara bersamaan. Ada seorang siswa yang ternyata tidak kembali dan hanya tasnya saja yang ada. Aku bertanya kepada anak – anak;

                “ Anak – anak, ada yang lihat Untung? Tadi pagi Pak Guru lihat Untung masih ada dikelas, namun sekarang hanya tinggal tas nya”

                “Tidak tahu Pak guru!” beberapa anak kelas 5 dan 6 menjawab serempak.

Kutanya mereka sekali lagi untuk memastikan

                “ Yakin tidak ada yang tahu? Tidak mungkin toh kalau Untung lupa jalan kesekolah!”

Kemudian ada seorang anak yang tinggal didekat rumah Untung menjawab

                “ Untung takut datang kesekolah pak guru, tadi beta ajak tapi dia takut karena sudah terlambat”

                Akupun sejenak diam dan kemudian melanjutkan pelajaranku. Dalam hati aku berfikir kenapa sampai sebegitu takutnya mereka datang terlambat, padahal memukul saja aku tidak pernah. Hal tersebut sempat terngiang dikepalaku karena terkadang beberapa dari anak – anak memang suka tidak kembali kesekolah ketika sudah terlambat masuk, bukan Cuma Untung saja. Sepulang sekolah aku mencari siswaku yang tadi tidak kembali kesekolah setelah istirahat.  Ketika bertemu dengannya akupun bertanya;

                “ Untung kenapa kamu tadi tidak kembali kesekolah?”

                “Beta takut Pak Guru, tadi beta su telat makanya tidak berani masuk”

                “ Kenapa tidak berani? Pak Guru tidak pernah pukul kan meskipun ada yang telat?”

Untung diam saja sampai kemudian dia berkata

                “ Beta tidak berani ketemu anak – anak, nanti anak – anak tertawa dan bikin (menggoda) beta karena telat”

                “ Oh begitu, kalau begitu mulai besok kalau Untung telat harus tetap datang yah. Besok tidak ada lagi pulang terus tidak kembali”

                “ Siap Pak Guru, beta minta maaf tadi tidak kembali”

                Esok harinya aku mengajar disekolah lagi seperti biasa. Setelah pelajaran pertama dan kedua selesai aku mengijinkan anak – anakku untuk istirahat. Setelah itu aku tinggal menunggu bel yang kunanti, yakni bel masuk sekolah. Disitu mulai kulihat apakah ada anak yang belum datang. Ternyata masih ada saja yang telat. kutunggu sampai mereka semua anak yang telat datang dan kemudian kubariskan mereka didepan kelas. Beberapa dari mereka takut dan sempat wajahnya memucat. Aku hanya diam saja sambil tersenyum kemudian berkata pada mereka;

                “ hayoo darimana kok sampai telat masuk kesekolah?”

                Setelah aku bertanya seperti itu suasana kelas mendadak menjadi senyap. Anak – anak yang tadinya bergurau tiba – tiba diam seketika.

                “ ayo jawab nak!”

Mereka diam saja tanpa berkata apapun

                “ Yasudah kalau tidak ada yang mau menjawab, sekarang semua yang terlambat harus meminta maaf kepada teman –teman yang tidak datang telat. Ayo minta maaf satu persatu. Bilang nya seperti ini... Teman – teman saya minta maaf karena datang terlambat, saya tadi pulang makan. Kalau bukan karena makan terlambatnya, bisa pakai alasan yang lain”

                Mereka diam karena mereka memang belum terbiasa berbicara didepan kelas dan juga masih malu untuk mengakui kesalahan. Sesaat kemudian ada salah satu dari mereka menangis karena takut. Akupun tersenyum dan kemudian kudatangi anak yang menangis tersebut. Kutenangkan dia kemudian kutuntun untuk mengucapkan kalimat maaf tepat didepan teman – teman satu kelas. Perlahan tapi akhirnya dia bisa. Kemudian aku menyuruhnya duduk dan kulanjutkan dengan membimbing yang lainnya.

                   Sejak saat itu aku mewajibkan ucapan kalimat maaf untuk setiap anak – anak yang telat datang ketika sudah waktunya masuk, entah bel masuk sekolah ataupun bel istirahat. Pada awalnya mereka susah sekali mengucapkannya karena masih malu dan kurang begitu berani. Namun seiring berjalan nya hari, minggu dan bulan akhirnya mereka pun sudah bisa untuk berani untuk berbicara didepan kelas. Seiring dengan datangnya keberanian itu, akhirnya anak yang biasanya tidak kembali kesekolah karena takut terlambat pun mulai berani untuk kembali lagi kesekolah meskipun sudah telat.

                Agak sulit memang untuk membuat mereka berani. Hal ini masih wajar karena orang dewasa saja terkadang masih sulit melakukan nya. Namun disini aku ingin anak – anakku menjadi berani untuk berbicara dan tampil didepan umum. Aku melakukan ini karena aku melihat adanya potensi besar di diri mereka semua dan sangat sayang jika nanti ketika sudah waktunya mereka tidak punya keberanian untuk mewujudkannya. Aku ingin memupuk keberanian mereka sedari dini agar nantinya mereka mempunya keberanian sendiri ketika mereka berusaha mewujudkan keinginan ataupun mimpi mereka. Dan akhirnya akupun berhasil membantu mereka mendapatkan nya, mereka manjadi “Berani”, meskipun masih sekedar tidak malu untuk memulai berbicara didepan teman – temannya dan membuang jauh – jauh bayangan rasa malu yang selama ini membayangi diri mereka. Anak – anak kalian memang berani.

                                


Cerita Lainnya

Lihat Semua