Bahkan Seorang Komandan Distrik Militer pun Mau Mengajar Anak-Anak di Kampung

Yenni Triani 15 Februari 2015

Dandim Fakfak, Letkol Armed Wahyu Sulastianto telah turun tangan mengajar anak-anak SD dan PAUD di Kampung Offie, Fakfak, Papua Barat. Dia beserta jajarannya berangkat dari kota kabupaten, menembus pagi hujan, menuju sebuah sekolah terpencil, di tengah hutan. Sebuah sekolah yang menjadi satu-satunya sentrum harapan bagi masyarakat sebuah kampung Papua, kampungku, yang jauh dari kecanggihan teknologi, zero sinyal seluler, dan susah listrik ini.

Pagi itu, dalam sebuah program bertajuk “Tentara Mengajar”, beliau dan timnya, berangkat dengan membawa misi; mengajarkan makna cinta tanah air, melatih tata cara upacara bendera yang baik dan benar. Bahkan hingga memotivasi anak-anakku, anak-anak Kampung Offie dan Tetar untuk terus bersemangat sekolah, dan bersemangat menggapai cita-cita mereka.

Di pagi yang ajaib itu, anak-anakku yang bermimpi menjadi tentara, beruntung sekali karena mendapatkan jurus jitu tentang “Kiat-Kiat Menjadi Tentara”, yang langsung disampaikan oleh seorang Dandim, pejabat TNI AD tertinggi  di kabupaten ini. Subhanallah...

Hari ini, langkah beliau untuk bersedia mengajar di kampung ini, membuktikan bahwa pesan “Mendididik adalah tanggung jawab moral tiap orang terdidik”, sudah mulai tersampaikan di sini. Dan semoga pesan itu akan tersebar lebih luas di tanah Papua ini.

Bapak Dandim yang “humble” dan ramah ini, hadir di tengah anak-anakku dengan sangat cair. Terlihat sekali beliau sudah terbiasa berinteraksi dengan anak-anak. Tak mengherankan memang, sebab dalam kesehariannya, beliau juga adalah seorang ayah. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana caranya  agar bisa menjadi tentara seperti dirinya. Bapak Dandim satu ini mampu menterjemahkan jawabannya ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anakku.

“Untuk bisa menjadi tentara, pertama adik-adik harus rajin sekolah. Rajin belajar, tidak boleh bolos. Walaupun adik-adik di sini ada yang rumahnya jauh, seperti anak-anak dari Kampung Tetar. Tetapi adik-adik harus tetap rajin ke sekolah. Jangan malas ke sekolah. Kalau malas ke sekolah, adik-adik tidak bisa menjadi pintar. Kalau tidak pintar, tidak bisa menjadi tentara, tidak bisa menjadi dokter, tidak bisa menjadi guru. Jadi adik-adik harus rajin ke sekolah. Mengerti?” Beliau memulai wejangannya.

“Mengerti!” Jawab anak-anakku serentak.

“Kedua, untuk bisa menjadi tentara, adik-adik harus disiplin ya. Masuk sekolah jangan sampai terlambat. Pulang sekolah jangan sampai mendahului, atau pulang duluan. Itu tidak boleh! Ikuti peraturan sekolah. Jangan membantah ibu guru. Adik-adik harus patuh kepada ibu guru. Itu namanya disiplin.”

“Ketiga, adik-adik harus taat beribadah. Seperti saya dulu waktu kecil. Saya bangun sebelum azan subuh. Terus langsung ambil air wudhu, lalu sholat Subuh. Habis sholat harus rajin membantu orangtua. Bantu cuci piring, cuci baju sendiri, mengepel, menyapu, membantu orangtua. Dengan begitu, adik-adik bisa mencapai cita-cita. Jelas?”

“Jelas!” kembali anak-anakku serentak menjawab. Aku perhatikan ada yang berbeda dari cara mereka menjawab. Terdengar nada jawaban yang terkesan tegas, bersemangat, namun tetap santun. Aku mulai melihat bahwa anak-anakku telah menduplikasi sikap “well mannered” tentara di hadapan mereka. Now, they learn to copy such attitude”. I’m so happy, then.

Selain memberikan nasihat, Bapak Dandim juga piawai dalam menebar optimisme. Beliau mendoakan agar kelak ada anak-anakku yang berhasil menjadi Dandim, seperti dirinya. Bahkan beliau juga mengabarkan kepada anak-anakku bahwa ada salah satu putera daerah Fakfak, seorang Kolonel Infanteri, bernama Bapak Ali Bogra yang sebentar lagi akan diangkat menjadi Jenderal. Jadi, beliau berpesan bahwa anak-anakku harus percaya diri, harus berani bermimpi tinggi, karena siapa tahu, di masa depan, mereka pun bisa menjadi seorang Jenderal.

Orasi Bapak Dandim ini, kemudian disambut dengan teriakan “Amiiin” dan tepuk tangan penuh semangat dari anak-anakku. I guessed it means that they’ve got the message!

Usai menyampaikan wejangannya. Bapak Dandim menyempatkan diri untuk bercengkrama dengan anak-anakku. Bahkan, Aldy, anak PAUD-ku yang berusia 4 tahun pun mendapatkan kesempatan untuk berfoto bersama beliau. Aldy memang bercita-cita menjadi tentara, makanya dia bersemangat sekali bertemu tentara idolanya.

Aldy mendapatkan  foto eksklusif dengan digendong langsung oleh seorang Dandim. Saat mau difoto, Aldy bahkan sempat berkata kepada beliau, “Bapa tentara, katong mau jadi tentara.” Tentunya Aldy mengatakan itu masih dengan nada malu-malu, sambil sesekali menggigit jemari tangannya sendiri. Sebuah kebiasaan yang memang sering didemonstrasikan Aldy manakala dia bertemu orang baru. Dan, Dandim meresponnya dengan tersenyum, sambil kemudian mengusap kepala Aldy, dan berkata: “Iya, bagus. Nanti kamu jadi tentara ya...”

Oh, God, I’m impressed...and totally speechless.

Pemandangan seperti ini membuat aku kembali tersadar bahwa ternyata benar masih banyak orang baik di Republik ini. Masih banyak pemimpin yang mau turun tangan berinteraksi dengan masyarakat akar rumput (grassroot) dengan begitu santun dan simpatik. Seperti yang telah dicontohkan oleh Dandim satu ini.

Dan, ketika kusampaikan rasa banggaku atas apa yang beliau lakukan hari itu. Beliau hanya berkata “Itu sudah menjadi tugas kami”.

Kemudian, selain diberikan semangat dan motivasi untuk mencapai cita-cita. Seperti yang telah aku dan pihak KODIM sepakati sebelumnya. Anak-anakku juga diagendakan untuk mendapatkan materi tentang “Makna Cinta Tanah Air” dan “Tata Upacara Bendera” yang baik dan benar. Kedua materi ini disampaikan dengan sangat “excellent” dan “fun” oleh para personel tentara pilihan Bapak Dandim. Bagiku kedua materi ini mutlak urgent hukumnya untuk diajarkan dengan sesempurna mungkin kepada anak-anak Papuaku. Agar mereka kenal betul tentang negaranya. Agar mereka tahu dan paham betul tentang apa itu Indonesia, dan apa arti mereka bagi Indonesia. Dan, pada akhirnya ini akan berujung pada; “Agar mereka tetap setia menjadi Indonesia meski di tengah keterbatasan dan ketertinggalan.”

Ketika aku katakan; “Agar mereka tetap setia menjadi Indonesia meski di tengah keterbatasan dan ketertinggalan.” Tuhan, aku serius. Aku sering berbicara kepada petinggi kampung tentang misalnya sumber dana pembangunan di kampung.  Aku dengar dana bantuan yang dikucurkan dalam nominal besar. Dan, Bapak Kampung bilang itu adalah dana dari luar negeri, bantuan dari Australia. Namun setelah kukonfirmasi dengan otoritas berwenang, ternyata dana yang dimaksud bukanlah dana dari luar negeri. Melainkan dana pribadi bangsa sendiri. Tetapi seringkali, gaungnya di masyarakat bahwa bantuan-bantuan yang sampai di kampung itu adalah bantuan dari luar negeri. Dari kecenderungan ini, terkesan bahwa masyarakat menganggap jika negara lain lebih peduli kepada mereka, ketimbang pemerintah pusat. And yes, this is definitely a dangerous threat to their nationalism.    

Itulah mengapa aku concern sekali bahwa anak-anakku harus mengenal negaranya, bahkan mulai belajar mencintai negaranya. Dan saat ini, yang bisa aku lakukan adalah meyakinkan bahwa mereka mendapatkan asupan materi tentang Semangat Cinta Tanah Air itu semaksimal mungkin. Bahkan mereka harus belajar dari mereka yang ahli; yaitu para tentara, para ksatria garda terdepan dalam bela negara.

*****************

-Yenni Triani, Pengajar Muda Fakfak-

(Bersyukur sekali, akhirnya Program “Tentara Mengajar” benar-benar terwujud.I still can’t believe it myself. This means that another dream of mine just came true this February. Thank you for my kids who keep generating such courage for me to fight for them. I could never be able to do this, if not because of them...)


Cerita Lainnya

Lihat Semua