Bahasa Cinta

Yenni Triani 15 Februari 2015

Semakin lama aku di sini, semakin aku tahu bahwa ada sebuah jurus jitu yang lebih ampuh untuk menjauhkan anak-anakku dari kebiasaan baku pukul mereka. Selain ceramah panjang lebar atau meneriakan “Nak jangan baku pukul!” yang sudah membosankan itu. Karena biasanya teriakan ini akan berujung dengan teriakanku yang lain seperti“Wa amon wa nonop O!” Sebuah teriakan dalam bahasa Iha  yang artinya “Kau dengarkah, tidak!” Awal-awalnya teriakan-teriakan semacam ini sangat ampuh untuk menghentikan baku pukul mereka. Ketika mereka tahu aku bisa berbahasa Iha seperti bapa dan mama mereka di rumah, awalnya mereka takjub. Sehingga mudah sekali untuk “grabbing their attention”. Tapi namanya juga anak-anak, mereka sangat cepat bosan. Sekarang strategi teriakan itu sudah usang, basi. Kadang aku merasa anak-anakku sedang menatapku dari jauh seolah mengatakan “Do you still have anything else to offer?”

Tapi aku tidak pernah menyerah. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa “I’ll never give up on them.”  Setidaknya anak-anakku sekarang sudah tidak memukul perempuan lagi. And that’s definitely a big thing to record in mind. Tidak ada yang sia-sia.

So, I bounced back. I came back to them with a newly found strategy. Aku ingat, ku temukan ini di bulan ke lima aku di sini. Strategi ini kusebut “Bahasa Cinta”. Sebenarnya dari awal aku bertemu mereka, aku memang suka mengelus kepala mereka, dan menggandeng tangan mereka kemana pun aku pergi. Aku tahu anak-anakku suka sekali dengan “personal touch” semacam ini, walaupun memang awalnya mereka masih malu-malu, karena kita belum lama kenal. Dan, karena itulah aku belum berani memeluk mereka. Paling cuma sesekali saja aku berani memeluk mereka, dan saat itu terjadi mereka akan menampakkan wajah malunya.

Tapi menginjak bulan kelima, mengingat masa tugasku di sini tinggal setengah tahun lebih sedikit lagi. Aku mulai tersadar bahwa waktuku bersama anak-anakku di sini sudah tidak banyak. Dan aku tidak mau menyesal. Aku bertekad untuk menghabiskan waktu bersama anak-anakku dengan lebih maksimal lagi. Aku ingin menghapal rasa genggaman setiap tangan mereka. Menatap setiap mata mereka. Mengikuti semua cerita mereka. Hadir menyaksikan pertumbuhan mereka setiap harinya. Mengetahui semua rahasia mereka. Dan, memeluk mereka semua satu per satu.  Hingga akhinya mereka semua tahu rasanya dicintai oleh ku.

So, since that day, I swallowed my pride. Ku buang gengsiku jauh-jauh. Aku beranikan diri untuk selalu memeluk mereka. Setiap hari. Bahkan terkadang, tanpa sadar aku sering menangis saat memeluk mereka. Seringkali aku gagal menahan air mataku sendiri, dadaku terasa terlalu sesak menahan haru yang tak terkatakan.I feel like I’m starting to be so scared of losing them. Lalu,melihat aku menangis, mereka juga ikut menangis. Melihat mereka menangis, aku makin terisak. Dan saat itu terjadi, aku lupa bahwa aku guru mereka, dan aku sudah terlalu tua untuk terisak. But, I didn’t really care.

Lalu, karena kebiasaan memeluk mereka inilah, frekuensiku berteriak mulai jauh berkurang. Now, we can really talk heart to heart. Maka, ketika ada anak-anakku yang terlibat baku pukul. Aku datangi keduanya, tanpa kutanyakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku langsung memeluk mereka satu per satu. Dan, kukatakan bahwa aku sayang mereka berdua. Aku tidak mau ada dari mereka yang terluka atau sakit akibat baku pukul, karena mereka semua adalah anak-anakku, anak-anak Ibu Yenni. Karena mereka semua anak-anak Ibu Yenni, maka mereka semua bersaudara. Jadi tidak ada yang boleh baku pukul atau saling menyakiti. Mendengar itu, anak-anakku yang baku pukul akan tertunduk dalam diam. Dan, di momen itu, pelan-pelan aku satukan tangan kanan mereka masing-masing, untuk kemudian saling bersalaman, dan saling memaafkan. And, for months, this strategy really works to bring them together, even to bring us together. The recipe is “Dont’ you ever give up on your kids, if you never give up on them, in return they will never give up on you, too.”

***********************

-Yenni Triani- Pengajar Muda Fakfak (When I Learn That To Teach My Kids Love, I Have To Love Them First. Always Give Them The Example!)

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua