# 9 "Cita - cita itu apa bu?"

Wiwik Yulihaningsih 21 April 2014

Hari berganti, tak terasa sudah sebulan Tendi bersama aku dan anak—anak di Kelas 4. perkembangannya bisa diacungi jempol, dia sudah menyelesaikan buka Lancar Membaca tahap 1, minggu ini dia belajar membaca 5 huruf. Lebih cepat dari yang kubayangkan, dan di matematika dia sudah mulai belajar pembagian serta perkalian. Untuk menulis, sepertinya aku aku tak perlu khawatir. Justru tulisan dia paling rapi diantara anak yang lain.

Siang itu, kelas 4 membuat gambar diri sendiri dan menuliskan cita—cita mereka. Aku menghampiri Tendi yang sibuk mengcrayon gambarannya.

“Ibu, beta tara tau cita—cita itu apa.” ia mengungkap ketidakpahaman makna cita—cita.

“ Cita –cita itu macam keinginan tendi. Kalau kau su besar kau pengen jadi apa?,”

“Owh, sa tau. Sa mau jadi macam bapak tua ibu.”

Bapak tua itu bapak Piaraku, yang bekerja di Distrik. “Kenapa kau ingin jadi speerti bapak Tua.”

“biar sa dapat gaji, baru sa pi Wamena kasih tunjuk ke sa pu ibu.”

Aku tau, dia sedang memikirkan mamanya yang ada di Wamena. Aku terdiam sejenak.

“Ibu, kalau macam bapak tua itu, apa nama pu pekerjaannya?,”

“Pegawai negeri sipil atau PNS.” jawabku.

“ Tapi ibu, kalau sa jadi PNS sa tara bisa ikut perang lai to?,”

“Kau mau ikut perang dimana tend?,”

“Sa mau macam Bapak Rambo biar sa bisa kasih mati penjahat.”

Lalu dia bingung memilih mau jadi apa? aku minta dia untuk memilih dan mengajarinya menulis PNS dan Tentara. Setelah hari itu, dia mulai banyak bicara. Mulai membaur dengan teman-temannya dan tak malu untuk bertanya dalam kelas.

Malam itu, dia mengantarkanku ke SMA untuk mengirim email beasiswa BBM ke dinas. Yah di distrik ada layanan internet gratis yang bisa diakses tiap malam. Membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai disana tentunya dengan jalan kaki. Sepanjang jalan dia menceritakan kampungnya,

“Tend, kau rindu ka deng kau pu kampung?,” selidikku

“Tarada.” jawabnya singkat, menutupi perasaannya.

"tapi kalu sa mu pi ke Wamena sa harus punya uang to ibu?," tanyanya

“Tend, kalau kau su besar kau bisa bekerja baru kau bisa pi naik pesawat pi kau pu kampung.”

“ Iya ibu, sa mau jadi macam bapak Tua saja biar sa pu uang banyak. Baru sa pi tengok sa pu mama.”

Akhirnya, dia memilih menjadi PNS setelah beberapa hari kemarin dia bingung menentukan pilihan. Aku kembali membesarkan hati Tendi, dan meyakinkan dia bahwa dia bisa bertemu dengan mamanya nanti. Berkali aku katakan syarat untuk itu semua adalah rajin belajar.

Lalu malam itu berjalan dalam indah gemintang rembulan tanggal 12, hamparan bintang membentuk gugus—gugus yang sempurna indahnya. Seperti keindahan saat melihat senyum tendi tersungging di balik seragam merah putihnya. Kau luar biasa Tendison...

 

Kampung Baru, Oktober 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua