# 8 Tendi Tersenyumlah

Wiwik Yulihaningsih 20 April 2014

Dari semalam, ia sibuk menyiapkan baju barunya. Sepertinya ia sudah penasaran ingin sekolah. Panggil dia Tendi, dia adalah adik piara di keluarga Nenekku. Dia belum lama tinggal di keluarga kami, hanya berjarak 3 bulan sebelum kedatanganku ke Kampung ini. Wamena, yah dari sanalah Tendi lahir dan besar hingga ada keajaiban kecil yang mempertemukan Tendi dengan Om Kivil. Om Kivil adalah adik Bapak piaraku yang menjadi tentara, dulu pernah bertugas di Wamena tempat tinggal Tendi. Selidik punya selidik, Wamena tempat tinggal Tendi bukanlah kotanya tapi pegunungan. Pertemuan ajaib begitulah aku menyebutnya, tawaran om Kivil untuk membawa Tendi ke Kampung ini mungkin sedikit tidak rasional, bahkan diawal ini ditentang oleh keluarga besarku. Bagaimana mungkin Om Kivil mau mengangkat anak yang baru dikenalnya. Tendi memiliki masa kecil yang tidak biasa dari anak—anak pada umumnya, dia harus melihat pahitnya kematian Ayahnya yang dibunuh oleh Neneknya sendiri karena menentang. Pun aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Tendi ketika melihat Ayahnya dibunuh didepan matanya. Tapi Tendi memang luar biasa, trauma yang ia miliki menjadi cambuk baginya untuk terus melanjutkan kehidupan. Setelah kematian ayahnya yang begitu tragis, ia harus merelakan sekolah tempat ia belajar habis dibakar. Habis. Lebur semua cita—cita Tendi dan teman—temannya saat itu. Bangunan yang bernama sekolah itu lenyap menjadi abu. Guru yang pernah mengajarnya menyelematkan diri, pindah dari Kampungnya dan tak pernah kembali. Bertahun—tahun keadaan membiarkan dirinya tak bersekolah, kesehariannya ia habiskan dengan menjerat dan berburu.

Tendison begitulah anak berusia sekitar 13 tahun ini dipanggil, dia kini menjadi murid di kelas 4 . Aku meminta dia duduk di kelas 4 karena beberapa guru menyuruh dia masuk kelas 1, itu akan membuat dia minder ketika harus bermain dengan temannya yang usianya jauh berbeda dengannya. Selain itu, murid dikelasku Cuma 14 jadi aku bertekad memberikan pelajaran yang berbeda dengan temannya, disesuaikan dengan kemampuan Tendi pastinya. Yah, guru—guru mengijinkan tendi masuk kelas 4, setiap harinya aku menyiapkan bahan ajar khusus untuk Tendi. Aku juga mencoba menjelaskan pada tendi, kenapa dia harus mendapatkan pelajaran yang berbeda dengan temannya yang lain.

“Bukan karena Tendi tidak bisa mengerjakan ini, tapi Tendi mulai dari yang mudah dulu to. Sebentar kalau tendi su paham, ibu kasih soal yang sama deng kau pu teman. Bagaimana tendi?,” begitu jelasku. Dia masih jarang bicara, untuk mengatakan Iya biasanya dia hanya mengangguk dan tersenyum. Persis. Dia melakukan hal itu saat aku menjelaskan itu.

Aku tak mengira, Tendi yang mengaku sudah lama tak bersekolah itu ternyata bisa menulis rapi dan menghitung dengan cepat. Ia begitu cepat mengingat apa yang aku sampaikan di kelas, terlebih saat aku menyampaikan cerita. Dia memang belum bisa membaca, jadi pelajaran harus sering—sering disampaikan melalui cerita agar dia juga bisa mengikuti.

Hari ini yang aku siapkan adalah energi untuk menjawab setiap pertanyaan yang keluar darinya, yah pertanyaan tentang hausnya pengetahuan. Kini dia lebih berani dan aku lebih berani meyakinkan dia berhak atas masa depan yang cemerlang. Tendy tersenyumlah, dunia pasti bangga melihat semangatmu.

(Kampung Baru, 16 September 2013)


Cerita Lainnya

Lihat Semua