Di Balik Sepatu Andi

Parafitra Fidiasari 20 April 2014

Masih bergulat dengan kelengkapan seragam murid - muridku, aku kembali menegur salah seorang anak. Ini lain, Andi siswa kelas IX yang menjadi panutan bagi siswa lainnya, yang biasanya memakai sepatu ternyata hari ini dia tidak memakai sepatu sekolah. Perannya sebagai role model membuatnya sangat mencolok saat tidak memakai sepatu sekolah. Tanpa basa - basi aku langsung menyegatnya di depan pintu kantor.

"Mana sepatunya? Mengapa Andi tidak memakai sepatu ke sekolah?" seperti biasa aku menggunakan Bahasa Indonesia yang formal untuk berkomunikasi di sekolah.

"Ada, Bu. Maaf bu sudah hancur," jawab Andi dengan sopan dan tenang.

Keesokan harinya Andi ke sekolah sudah memakai sepatu yang tidak bisa dibilang hancur, bahkan terlihat bagus dan baru.

"Nah Ndi itu sepatunya tidak hancur, kenapa kemarin bilang sama Ibu hancur?"

"Iya, Bu. Maaf ya, aku akan pakai sepatu terus Bu ke sekolah," tetap dengan tenang dan sopan Andi menjawab pertanyaanku yang kulontarkan dengan nada curiga. Dia sama sekali tak melakukan pembelaan atau terkesan kesal dengan teguranku. Mungkin karena dia memang sudah dapat berpikir dewasa atau mungkin dia malas mendengarkan omelanku.

Rasa penasaranku tak berhenti begitu saja, aku mencoba mencari tahu tentang sepatu Andi. Pasalnya aku akan sangat marah jika Andi bohong atas hancurnya sepatu miliknya. Aku menghormati pembuktian ucapan Andi sehingga aku tidak banyak bertanya tentang sepatunya. Aku mencoba mencari informasi melaui temannya.

"Pa, katanya sepatu Andi hancur tapi kenapa hari ini dia langsung pakai sepatu?" tanyaku pada Apipa teman sekelas dan sepupu Andi.

"Itu Bu, itu sepatu Wa Dhino abang Andi. Dia pinjam sepatunya dulu, mungkin besok kalau Wa Dhino berangkat kuliah ke Pontianak dia tidak pakai sepatu lagi," jawab Apipa polos.

"Ooohh...tapi benar sepatu lamanya sudah hancur?"

"Iya, Bu. Nanti kalau sudah panen madu dia akan beli sepatu Bu, kemarin dia bilang gitu."

Beberapa hari berikutnya Andi masih menggunakan sepatu  abangnya ke sekolah, padahal abangnya sudah kembali ke Pontianak untuk kuliah. Aku mulai bisa menangkap arti sikap sopan dan tenang Andi, dia sangat menghormatiku sebagai guru dan dia tidak ingin banyak bicara karena dia sedang berusaha dibalik sikapnya itu. Andi berjuang untuk memakai sepatu ke sekolah karena pernah aku melihat Andi memakai sepatu butut yang kekecilan dan robek sana sini, mungkin sepatu pinjamannya sedang basah atau dipakan abangnya yang lain.  Bagaimanapun keadaan sepatunya dia tetap menggunakan sepatu ke sekolah, selain karena dia menghormati teguranku, dia juga sadar bahwa dia menjadi panutan bagi siswa lainnya.

Saat musim panen madu pun tiba, Andi yang rajin datang les malam meminta izin untuk tidak masuk les karena akanberpuar (panen madu). Berangkat sehabis Isya dan pulang sekitar pukul dua dini hari, Andi berhasil mengumpulkan berpuluh kilo madu dan menghasilkan uang bernilai jutaan. Selain sepatu baru, baru saja aku tahu hasil jerih payahnya itu untuk apa. Aku tidak pernah berusaha mencari tahu mengapa dia begitu rajin mengurus sarang lebah di hutan dan bersusah payah begadang untuk memanennya. Namun baru saja aku melihat tayangan di salah satu stasiun TV swasta bertema pengabdian tentang desaku, aku tak tahu jika reporter juga mewawancarai Andi. Mungkin reporter menanyakan untuk apa uang madu tersebut dan Andi pun menjawab,

"Buat beli sepatu, celana sekolah, kelengkapan sekolah, bantu - bantu Apak Umak, iya itu iyaa beli beras juga, sama dikirim ke abang yang kuliah di Pontianak."

Betapa angkuhnya aku, betapa tak pedulinya aku terhadap kisah di setiap sepatu baru anak - anakku. Semakin aku tertampar dengan kisah - kisah dibalik sepatu baru anak - anakku, semakin pula aku mencintai anak - anakku di sini, semakin pula aku belajar apa yang dinamakan perjuangan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua