info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Buah Ketulusan, Sebuah Bingkisan dari Tuhan

Parafitra Fidiasari 20 April 2014

"Bukan tugu sembarang tugu

Tugu kami dari beras

Bukan guru sembarang guru

Guru kami Ibu Raras"

 

Hampir semua warga desa melantunkan pantun tersebut untukku, entah siapa yang pertama kali membuatnya tapi yang pasti pantun - pantun terus bermunculan semenjak Elita dan Rosa berangkat ke Jakarta. Ya bisa dibilang setelah terserang demam Bahasa Inggris, kini Desa Nanga Lauk terserang wabah pantun.

 

Sekitar sehabis maghrib di tengah kesibukan pengambilan gambar untuk sebuah program pengabdian di stasiun TV Swasta, hand phone yang menempel pada kabel antena berdering. Telepon dari Jeffry, teman sepenempatan yang sedang berada di Pontianak untuk menemani Ana yang sedang opname.

"Ras, udah tahu?" tanya Jeffry membuatku khawatir dengan keadaan Ana.

"Apa? Apa? Apasih Jef?" tanyaku dengan khawatir.

"Selamat yaaa, anakmu ada yang lolos KPCI dan akan berangkat ke Jakarta."

 

Aku tak bisa menyimpan emosi bahagiaku di hadapan orang - orang yang sedang menonton TV di depan kamarku. Aku memeluk Kak Kiki mengabarkan berita bahagia ini tapi aku masih merahasiakn nama anak yang akan berangkat ke Jakarta karena baru akan diumumkan secara resmi keesokan harinya. Ya, Elita Fitria dan Rosa. Dua anak kampung hulu yang sedang diberi hadiah oleh Allah atas usahanya selama ini. Berita ini sangat mengejutkan seisi kampung karena sebelumnya aku tidak pernah memberitahu bahwa karya mereka akan aku ikut sertakan dalam lomba. Sejak awal aku ingin melihat ketulusan mereka dalam menciptakan karya, aku ingin apa adanya, bukan bersungguh - sungguh hanya saat akan diikutkan lomba saja sehingga aku tidak memberitahu akan hal ini.

 

Sebelum melakukan pengumuman, aku memberitahu kepada guru - guru dulu sekaligus untuk membicarakan masalah izin orang tua dan keberangkatan yang sangat mendadak. Tangis haru, teriakan, dan keceriaan menghiasi pengumuman lolosnya Rosa dan Elita dalam kategori lomba menulis pantun Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI). Sebenarnya ada keyakinan yang kuat dalam diriku atas lolosnya anak - anak didikku ini dalam KPCI, hanya meleset saja kategori yang lolos. Awalnya aku mengira mereka lolos dalam kategori dongeng karena mereka sangat terlatih dalam mendongeng tapi sayang pihak panitia memberitahuku bahwa CD yang dikirimkan pecah dan boleh disusulkan lewat youtube. Mana mungkin? Koneksi untuk sms dan telepon saja susah, ke kota harus seharian, jadilah aku mengikhlaskan kategori dongeng tersebut.

 

Hari itu tanggal 16 Desember, sedangkan tanggal 20 mereka sudah harus sampai Jakarta, perjalanan ke kota saja memakan waktu hampir satu hari, kota ke Pontianak bisa sampai 20 jam jika naik bus, tiket pesawat hampir mustahil didapatkan jika mendadak dan untuk rombongan. Di bawah derasnya hujan aku lihat Elita dan Rosa berlarian menuju rumahnya dengan perasaan gembira untuk menyusul orang tuanya agar menemui dewan guru. Basah kuyup, sepatu dijinjing, dan dengan terlihat menggigil, Elita berhasil membawa Umaknya dan Rosa membawa Apaknya. Tidak sulit menjelaskan kepada orang tua mereka, sudah cukup terbuka nampaknya pemikiran mereka. Tidak seperti saat bernegoisasi dengan orang tua Apipa untuk membawa Apipa ke Jakarta dalam rangka pertukaran pelajar Anak Sabang Merauke dulu.

Setelah melalui koordinasi via telepon dengan Andri, Jeffry, pihak KPCI, dan Kepala Dinas Pendidikan Kapuas Hulu maka diputuskanlah mereka akan meninggalkan desa tanggal 18 Desember. Sayang sekali karena masih dalam proses peliputan maka aku tidak dapat mengantarkan mereka bahkan hanya ke kota sekalipun. Hanya sedikit latihan membuat pantun dan menjelaskan teorinya serta pesan untuk tidak lupa membawa mukena dan Al-Quran yang dapat aku bekalkan pada mereka.

 

Dilatarbelakangi keterbatasan dana karena panitia menetapkan sistem reimburce untuk transportasi dan aku tidak membawa cukup uang tunai ke desa maka aku mencari tahu keadaan ekonomi orang tua keduanya. Sedikit banyak aku dapat menyimpulkan bagaimana keadaan ekonomi mereka saat berkunjung ke rumahnya. Sederhana, terutama Elita yang juga memilik empat orang adik. Tidak banyak uang yang dapat aku pinjamkan, hanya cukup untuk transportasi PP desa-kota saja serta uang saku dari sekolah yang diantarkan oleh Ibu Siti saat mengantar mereka ke kota. Ternyata Elita baru pertama kali itu ke Putussibau (ibu kota kabupaten) bahkan naik motor pun dia belum pernah sehingga dia cukup kesulitan saat harus membonceng motor. Tak dapat lagi kubayangkan bagaimana perasaan mereka saat mendapat kabar harus ke Jakarta atas prestasinya. Ketakutan, itu pasti. Bahkan orang tua keduanya berkali - kali mendatangiku untuk menanyakan kabar anak - anaknya. Andri yang mendampingi mereka ke Jakarta sebenarnya mengabarkan bahwa Elita dan Rosa mabuk perjalanan, keduanya terlihat paling lemah di antara anak yang lain, sepanjang perjalanan Putussibau-Pontianak mereka muntah. Jujur aku khawatir, apalagi Andri hanya seorang diri mengurus enam orang anak, tapi melihat Umak Elita yang sampai tidak nafsu makan memikirkan anaknya maka aku berusaha tampak tenang dihadapan beliau.

 

Singkat cerita keadaan fisik Elita dan Rosa sangat lemah saat mereka terbang ke Jakarta. Bahkan saat aku menelpon mereka, dapat dibayangkan keadaan mereka dari suara yang sangat lemah dan sedikit merengek.

"Sudah sholat, sayang? Jangan lupa baca Al-Quran juga ya, Nak," pesan itu yang selalu kusampaikan jika menelpon mereka. Tak pernah kuberitahu bahwa di Jakarta mereka akan lomba, "Kalian akan liburan ke Jakarta sebagai hadiahnya, makanya dibawa senang ya. Pokoknya harus menikmati semua kegiatan yang kalian lakukan. Janji ya."

 

Diluar itu, Andri mengabarkan bahwa Elita dan Rosa dibawa ke kamar khusus untuk anak yang sakit bahkan saat menulis pantun untuk dilombakan. Mereka demam, tidak tahan AC, dan mabuk sepanjang perjalanan keliling Jakarta. Tapi alangkah mengejutkan ketika Rosa menelpon di siang hari sepulang aku mengajar.

"Ibu, Ibu ini rahasia, ya. Ibu jangan memberitahu siapapun."

"Iya, ada apa Rosa? Kalian sehat kan?"

"Iya bu, kami sehat. Bu, Ibu....Elita juara satu pantun, Bu," serasa tak sanggup menopang tubuhku sendiri, aku berusaha menahan tangis haruku dihadapan mereka.

"Benar, Rosa? Subhanallah, Allah memberi hadiah kepada kalian dengan luar biasa ya. Alhamdulillah. Baik - baik ya Nak di sana, ingat...nikmati saja semua prosesnya. Harus senang."

"Iya, Ibu. Ibu..Ibu..Elita nih mau bicara dengan Ibu."

 

Kemudian Elita mengabarkan berita itu kepadaku, dengan logat khasnya yang lugu namun ceplas ceplos aku dapat menangkap betapa senangnya dia. Badan demam, mabuk perjalanan, menggigil karena AC mungkin sudah terlupakan karena berita bahagia itu. Tepat tengah malam aku mendapatkan SMS dari Andri yang mengabarkan bahwa Rosa juga mendapatkan juara, juara Harapan III kategori pantun. Terbayar sudah semua perjuangan mereka, perjuangan dan pengorbanan yang gigih. Malam apresiasi dan seni pun tak sanggup mereka hadiri karena tubuh mereka kembali menggigil terkena AC ditambah mereka tidak doyan  makanan yang disediakan panitia karena mereka merindukan balur (ikan asin), kerupuk basah, dan tempoyak. Hari terakhir mereka di Jakarta dimanfaatkan untuk mengunjungi Monas, tempat yang selama ini hanya berada dalam mimpi mereka, tempat yang hanya mereka lihat di foto, TV, dan oleh - oleh dari Apipa.

 

Aku dan keluarga mereka berangkat ke kota untuk menjemputnya. Sore itu, suara mesin Damri yang membawa mereka dari Pontianak terdengar memasuki kompleks rumah dinas kami. Aku tak kuasa berlarian keluar rumah untuk menyambut mereka, dari balik jendela bus semua anak melambaikan tangan dan berteriak - teriak memanggilku. Elita dan Rosa lari menghampiri dan langsung memelukku, "Ibuuuu.............", tidak ketinggalan Desi dan Rika (murid Andri) juga melakukan hal yang sama. Tak hentinya mereka bercerita pengalaman mereka selama di Jakarta, bersenda gurau dan mengekspresikan kebahagiaan. Kesederhanaan, kepolosan, ketulusan adalah kunci keberhasilan dari Elita dan Rosa. Jalani semua hal dengan hati yang tulus, kelak Tuhan akan memberikan kado terindahnya untuk kita.

 ***

Terimakasih Bapak Najihin, Kepala SD N 08 dan SMP N 03 SATAP Nanga Lauk yang telah mengirimkan karya anak untuk dilombakan.

Terimakasih Ibu Siti sudah mengantarkan dan mengurus keberangkatan Elita dan Rosa dari Putussibau.

Terimakasih Andri telah menjaga Elita dan Rosa sampai kembali lagi dengan selamat.

Terimakasih kakak - kakak PM terdahulu yang ikut mengurus anak - anak didik kami selama di Jakarta.

Terimakasih Mahocca Swangga telah meminjamkan mobil dan mengantar anak - anak Kapuas Hulu ke Monas dan bandara.

Terimakasih atas apresiasinya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kapuas Hulu serta Bapak Bupati Kapuas Hulu.

Terimakasih Ibuku di Jawa yang telah menelpon Elita untuk memberikan semangat.

Tentunya terimakasih kepada seluruh warga desa Nanga Lauk yang sangat mendukung keberangkatan Elita dan Rosa

"Bukan tugu sembarang tugu

Tugu kami dari beras

Bukan guru sembarang guru

Guru kami Ibu Raras"

 

Hampir semua warga desa melantunkan pantun tersebut untukku, entah siapa yang pertama kali membuatnya tapi yang pasti pantun - pantun terus bermunculan semenjak Elita dan Rosa berangkat ke Jakarta. Ya bisa dibilang setelah terserang demam Bahasa Inggris, kini Desa Nanga Lauk terserang wabah pantun.

 

Sekitar sehabis maghrib di tengah kesibukan pengambilan gambar untuk sebuah program pengabdian di stasiun TV Swasta, hand phone yang menempel pada kabel antena berdering. Telepon dari Jeffry, teman sepenempatan yang sedang berada di Pontianak untuk menemani Ana yang sedang opname.

"Ras, udah tahu?" tanya Jeffry membuatku khawatir dengan keadaan Ana.

"Apa? Apa? Apasih Jef?" tanyaku dengan khawatir.

"Selamat yaaa, anakmu ada yang lolos KPCI dan akan berangkat ke Jakarta."

 

Aku tak bisa menyimpan emosi bahagiaku di hadapan orang - orang yang sedang menonton TV di depan kamarku. Aku memeluk Kak Kiki mengabarkan berita bahagia ini tapi aku masih merahasiakn nama anak yang akan berangkat ke Jakarta karena baru akan diumumkan secara resmi keesokan harinya. Ya, Elita Fitria dan Rosa. Dua anak kampung hulu yang sedang diberi hadiah oleh Allah atas usahanya selama ini. Berita ini sangat mengejutkan seisi kampung karena sebelumnya aku tidak pernah memberitahu bahwa karya mereka akan aku ikut sertakan dalam lomba. Sejak awal aku ingin melihat ketulusan mereka dalam menciptakan karya, aku ingin apa adanya, bukan bersungguh - sungguh hanya saat akan diikutkan lomba saja sehingga aku tidak memberitahu akan hal ini.

 

Sebelum melakukan pengumuman, aku memberitahu kepada guru - guru dulu sekaligus untuk membicarakan masalah izin orang tua dan keberangkatan yang sangat mendadak. Tangis haru, teriakan, dan keceriaan menghiasi pengumuman lolosnya Rosa dan Elita dalam kategori lomba menulis pantun Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI). Sebenarnya ada keyakinan yang kuat dalam diriku atas lolosnya anak - anak didikku ini dalam KPCI, hanya meleset saja kategori yang lolos. Awalnya aku mengira mereka lolos dalam kategori dongeng karena mereka sangat terlatih dalam mendongeng tapi sayang pihak panitia memberitahuku bahwa CD yang dikirimkan pecah dan boleh disusulkan lewat youtube. Mana mungkin? Koneksi untuk sms dan telepon saja susah, ke kota harus seharian, jadilah aku mengikhlaskan kategori dongeng tersebut.

 

Hari itu tanggal 16 Desember, sedangkan tanggal 20 mereka sudah harus sampai Jakarta, perjalanan ke kota saja memakan waktu hampir satu hari, kota ke Pontianak bisa sampai 20 jam jika naik bus, tiket pesawat hampir mustahil didapatkan jika mendadak dan untuk rombongan. Di bawah derasnya hujan aku lihat Elita dan Rosa berlarian menuju rumahnya dengan perasaan gembira untuk menyusul orang tuanya agar menemui dewan guru. Basah kuyup, sepatu dijinjing, dan dengan terlihat menggigil, Elita berhasil membawa Umaknya dan Rosa membawa Apaknya. Tidak sulit menjelaskan kepada orang tua mereka, sudah cukup terbuka nampaknya pemikiran mereka. Tidak seperti saat bernegoisasi dengan orang tua Apipa untuk membawa Apipa ke Jakarta dalam rangka pertukaran pelajar Anak Sabang Merauke dulu.

Setelah melalui koordinasi via telepon dengan Andri, Jeffry, pihak KPCI, dan Kepala Dinas Pendidikan Kapuas Hulu maka diputuskanlah mereka akan meninggalkan desa tanggal 18 Desember. Sayang sekali karena masih dalam proses peliputan maka aku tidak dapat mengantarkan mereka bahkan hanya ke kota sekalipun. Hanya sedikit latihan membuat pantun dan menjelaskan teorinya serta pesan untuk tidak lupa membawa mukena dan Al-Quran yang dapat aku bekalkan pada mereka.

 

Dilatarbelakangi keterbatasan dana karena panitia menetapkan sistem reimburce untuk transportasi dan aku tidak membawa cukup uang tunai ke desa maka aku mencari tahu keadaan ekonomi orang tua keduanya. Sedikit banyak aku dapat menyimpulkan bagaimana keadaan ekonomi mereka saat berkunjung ke rumahnya. Sederhana, terutama Elita yang juga memilik empat orang adik. Tidak banyak uang yang dapat aku pinjamkan, hanya cukup untuk transportasi PP desa-kota saja serta uang saku dari sekolah yang diantarkan oleh Ibu Siti saat mengantar mereka ke kota. Ternyata Elita baru pertama kali itu ke Putussibau (ibu kota kabupaten) bahkan naik motor pun dia belum pernah sehingga dia cukup kesulitan saat harus membonceng motor. Tak dapat lagi kubayangkan bagaimana perasaan mereka saat mendapat kabar harus ke Jakarta atas prestasinya. Ketakutan, itu pasti. Bahkan orang tua keduanya berkali - kali mendatangiku untuk menanyakan kabar anak - anaknya. Andri yang mendampingi mereka ke Jakarta sebenarnya mengabarkan bahwa Elita dan Rosa mabuk perjalanan, keduanya terlihat paling lemah di antara anak yang lain, sepanjang perjalanan Putussibau-Pontianak mereka muntah. Jujur aku khawatir, apalagi Andri hanya seorang diri mengurus enam orang anak, tapi melihat Umak Elita yang sampai tidak nafsu makan memikirkan anaknya maka aku berusaha tampak tenang dihadapan beliau.

 

Singkat cerita keadaan fisik Elita dan Rosa sangat lemah saat mereka terbang ke Jakarta. Bahkan saat aku menelpon mereka, dapat dibayangkan keadaan mereka dari suara yang sangat lemah dan sedikit merengek.

"Sudah sholat, sayang? Jangan lupa baca Al-Quran juga ya, Nak," pesan itu yang selalu kusampaikan jika menelpon mereka. Tak pernah kuberitahu bahwa di Jakarta mereka akan lomba, "Kalian akan liburan ke Jakarta sebagai hadiahnya, makanya dibawa senang ya. Pokoknya harus menikmati semua kegiatan yang kalian lakukan. Janji ya."

 

Diluar itu, Andri mengabarkan bahwa Elita dan Rosa dibawa ke kamar khusus untuk anak yang sakit bahkan saat menulis pantun untuk dilombakan. Mereka demam, tidak tahan AC, dan mabuk sepanjang perjalanan keliling Jakarta. Tapi alangkah mengejutkan ketika Rosa menelpon di siang hari sepulang aku mengajar.

"Ibu, Ibu ini rahasia, ya. Ibu jangan memberitahu siapapun."

"Iya, ada apa Rosa? Kalian sehat kan?"

"Iya bu, kami sehat. Bu, Ibu....Elita juara satu pantun, Bu," serasa tak sanggup menopang tubuhku sendiri, aku berusaha menahan tangis haruku dihadapan mereka.

"Benar, Rosa? Subhanallah, Allah memberi hadiah kepada kalian dengan luar biasa ya. Alhamdulillah. Baik - baik ya Nak di sana, ingat...nikmati saja semua prosesnya. Harus senang."

"Iya, Ibu. Ibu..Ibu..Elita nih mau bicara dengan Ibu."

 

Kemudian Elita mengabarkan berita itu kepadaku, dengan logat khasnya yang lugu namun ceplas ceplos aku dapat menangkap betapa senangnya dia. Badan demam, mabuk perjalanan, menggigil karena AC mungkin sudah terlupakan karena berita bahagia itu. Tepat tengah malam aku mendapatkan SMS dari Andri yang mengabarkan bahwa Rosa juga mendapatkan juara, juara Harapan III kategori pantun. Terbayar sudah semua perjuangan mereka, perjuangan dan pengorbanan yang gigih. Malam apresiasi dan seni pun tak sanggup mereka hadiri karena tubuh mereka kembali menggigil terkena AC ditambah mereka tidak doyan  makanan yang disediakan panitia karena mereka merindukan balur (ikan asin), kerupuk basah, dan tempoyak. Hari terakhir mereka di Jakarta dimanfaatkan untuk mengunjungi Monas, tempat yang selama ini hanya berada dalam mimpi mereka, tempat yang hanya mereka lihat di foto, TV, dan oleh - oleh dari Apipa.

 

Aku dan keluarga mereka berangkat ke kota untuk menjemputnya. Sore itu, suara mesin Damri yang membawa mereka dari Pontianak terdengar memasuki kompleks rumah dinas kami. Aku tak kuasa berlarian keluar rumah untuk menyambut mereka, dari balik jendela bus semua anak melambaikan tangan dan berteriak - teriak memanggilku. Elita dan Rosa lari menghampiri dan langsung memelukku, "Ibuuuu.............", tidak ketinggalan Desi dan Rika (murid Andri) juga melakukan hal yang sama. Tak hentinya mereka bercerita pengalaman mereka selama di Jakarta, bersenda gurau dan mengekspresikan kebahagiaan. Kesederhanaan, kepolosan, ketulusan adalah kunci keberhasilan dari Elita dan Rosa. Jalani semua hal dengan hati yang tulus, kelak Tuhan akan memberikan kado terindahnya untuk kita.

 ***

Terimakasih Bapak Najihin, Kepala SD N 08 dan SMP N 03 SATAP Nanga Lauk yang telah mengirimkan karya anak untuk dilombakan.

Terimakasih Ibu Siti sudah mengantarkan dan mengurus keberangkatan Elita dan Rosa dari Putussibau.

Terimakasih Andri telah menjaga Elita dan Rosa sampai kembali lagi dengan selamat.

Terimakasih kakak - kakak PM terdahulu yang ikut mengurus anak - anak didik kami selama di Jakarta.

Terimakasih Mahocca Swangga telah meminjamkan mobil dan mengantar anak - anak Kapuas Hulu ke Monas dan bandara.

Terimakasih atas apresiasinya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kapuas Hulu serta Bapak Bupati Kapuas Hulu.

Terimakasih Ibuku di Jawa yang telah menelpon Elita untuk memberikan semangat.

Tentunya terimakasih kepada seluruh warga desa Nanga Lauk yang sangat mendukung keberangkatan Elita dan Rosa


Cerita Lainnya

Lihat Semua