# 7 Mama Desa dan Nasi Enak

Wiwik Yulihaningsih 20 April 2014

Aku memanggilnya mama desa. Ya begitulah aku memanggil wanita paruh baya berdarah Buton—Papua ini. Kesederhanaan memancar hangat ketika menatapnya. Berhari-hari ini aku habiskan pagi dan soreku di dapur bersamanya. Kadang aku membantunya memasak atau sekedar menemaninya mengobrol sembari dia memasak. Mama desa selalu saja menghidangkan menu yang nikmat tiap jam makan tiba. Membuatkan kue untuk teman minum teh.

Sore itu aku mendapatkan banyak inside positif dari sosok hebat mama desa. Obrolan hangat yang menyenangkan. Ia mulai mengisahkan masa kecilnya yang menurutku kurang beruntung, ia lahir besar dikeluarga yang sangat pas-pasan bahkan bisa dikatakan kekurangan. Keluarga yang jarang menyajikan nasi sebagai makanan. Sangat jauh dari kemewahan atau sekedar pelengkap 4 sehat 5 sempurna. Hal itulah yang menyebabkan mama desa tidak mau makan nasi dari beras biasa hari ini. Ia hanya makan dari besar bulog atau sagu. Bayangkan beras bulog yang ada disini tidak lebih baik dari rasa nasi tiwul yang ada di kampungku sana. Baunya tidak lagi seperti nasi ketika di masak. Bisa jadi jika beras ini di Jawa sudah tidak ada yang mau makan lagi. Tapi lagi—lagi Jawa dan Papua itu berbeda. Beras biasa menjadi menu mahal dan hanya bisa dinikmati segelintir kalangan saat mama desa masih kecil, mungkin hari inipun tak jauh berbeda.

“Mama tara biasa makan nasi enak ibu.” begitu alasannya. Mulutku menganga sejenak, nasi enak? Bukankah rasa nasi itu sama saja? Bukankah nasi enak itu ketika dimakan dengan lauk yang enak. Atau nasi yang dijual direstaurant beken dengan merk ternama itu?

“kenapa begitu mama? Bukankah nasi itu sama rasanya?,”timpalku.

“Tidak ibu, dari kecil sa makan nasi dari beras bulog tara pernah makan nasi enak. Sa pu bapak tara bisa beli nasi enak” jawabnya tenang. Berkali –kali mama desa mengungkap nasi itu terlalu enak dan terlalu mahal untuk dia makan.

Bukankah sekarang mama adalah istri bapak Desa, bisa dibilang cukup berada dan mapan untuk urusan makan. Tapi kenapa mama tetap pada kebiasaannya waktu masih hidup kekurangan? Lalu aku membayangkan jika negeri ini dipenuhi oleh orang—orang seperti mama desa, yang tetap sederhana meskipun menjadi pejabat. Yang tidak latah dengan gaya hidup yang modern atau menginduk pada hedonisme. Pasti negeri ini akan jauh lebih baik. pun aku tak bisa menyalahkan naluri manusia hari ini, karena kadang aku juga tak bisa sebijak mama desa setiap waktu.

“jadi kalau ada sagu deng nasi enak, sa lebih baik makan sagu, ibu.” tambahnya memutus lamunanku tentang kesederhanaannya. Sagu? Bahkan sampai 4 bulan aku disini aku masih berjuang untuk bisa makan itu. Karena rasanya yang tak bersahabat dengan lidahku. Lalu aku mengutuki diriku sendiri yang sering kesal karena nasi yang kumakan terlalu keras atau kurang pulen. Atau malas makan karena tak ada lauk yang kusukai, dan seringkali membuang nasi yang ada dipiring makan karena selera makanku menurun. Aku begitu dzalim bukan? Yah tak seharusnya aku melakukan itu, kemarin aku bisa melakukan itu (membuang nasi semauku, memilih—milih nasi, atau marah karena nasi kurang masak) tapi hari ini? Tuhan begitu baik padaku hari ini, membiarkan aku belajar dari sosok bersahaja Mama desa tentang hal sederhana menghargai nasi dan mensyukuri apa yang kita makan sebagai rizki.

Cerita tentang nasi enak itu berakhir ketika suara tifa masjid mulai ditabuh, sebagai pertanda magrib telah datang. Lamat—lamat aku menguliti senyum mama desa dibalik senja kali itu, berharap ada kesempatan mendengarkan kisah hebatnya esok hari. Dia bukan hanya istri yang menyenangkan bagi Bapak desa tapi juga sosok ibu yang luar biasa..

 

Tarak, September 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua