# 6 Katong Su Rindu Pinang..

Wiwik Yulihaningsih 19 April 2014

Ini adalah hari jumat, berarti sudah 3 hari kami di Jakarta. Pagi ini kami telah bersiap untuk kunjungan ke Kemendikbud, wajah berseri 5 anakku mengalihkan perutku yang keroncongan karena tak sempat sarapan pagi itu. Aku lega akhirnya mereka bisa membaur dengan teman—temannya, meskipun mereka masih banyak diam. Semoga diam mereka adalah proses mencerna dan belajar. Panitia membagi mereka menjadi 5 kelompok dan membagi bisnya. Beruntung pagi itu tidak macet, pelataran Kemendik menyambut langkah kecil ke 175an peserta KPCI kali itu. Ruangan besar di lantai 3 telah tertata rapi, setelah acara ceremonial selesai tiba saatnya mendengar penganugrahan piala untuk penulis cilik. Berkali aku membesarkan hati anakku, “meskipun kalian tidak ada yang berdiri diatas sana sebagai juara, tapi bagi ibu kalian semua adalah juara buktinya kalian su sampai disini to?,” kataku pada Tresia dan Fikram yang termangu menatap teman—temannya di depan menerima hadiah. Bukan hanya anakku saja yang ingin menerima gelar sebagai juara, pun peserta lainnya. “Dong hebat ya ibu.” kata fikram

“kalau mau seperti mereka to, kamong harus rajin belajar menulis dan membaca buku.” timpalku. Membaca? Membaca keadaankah? Buku baca untuk anak—anak di tempat mereka masih sangat terbatas, toko bukupun belum ada. Perpustakaan daerah sangat sulit dijangkau karena jaraknya yang jauh. Terlebih untuk anak Pulau, untuk Fakfak dengan kondisi geografis yang unik itu membutuhkan perpustakaan apung sepertinya.

Acara telah usai, peserta putri makan siang sambil menunggu peserta putra solat jumat. Mereka mencari posisi ternyaman untuk makan, ada yang duduk di lantai, bersandar di tembok dan sebagaian di kursi yang tersedia. Aku menyapu lorong lantai 3 mencari dimana Tresia berada, aku menemukan dia duduk di dekat anak tangga. Wajahnya kuyu, seperti tidak bersemangat.

“sudah makan sayang?,” tanyaku sambil jongkok. Dia tak menjawab, hanya menggeleng ringan.

“kenapa? kau sakit kah?,” tanyaku lagi. Dia tak menjawab, aku buka kotak makannya. Utuh. Dia tak makan sepertinya. “kamu kenapa tara makan, kau pu perut sakit ka atau pusing?,” tanyaku ulang.

“ibu sa makan macam tara enak, sa pusing makan makanan begini.” jawabnya

“baru kamu tara makan apa– apa? nanti kau pu perut sakit bagaimana?,” balasku.

“Ibu, kapan katong pulang? Katong mau makan keladi.” tambahnya pelan.

Deg, serasa senyap disekitar. Aku tak membayangkan bagaimana rasa rindunya pada keladi.

Aku memeluknya, “kamu mau makan keladi? Tapi disini tarada keladi sayang. Makan nasi kosong sudah, sedikit saja. Sebentar kita cari jajan yang kau mau” balasku.

Ternyata pagi tadi dia tak makan juga, pantas sepanjang kegiatan ia tak semangat seperti hari sebelumnya. Aku membantunya membereskan makan yang tak dimakan. Aku minta dia masuk ke ruangan bergabung dengan teman—teman kelompoknya. Aku bertanya apakah panitia menyediakan keladi atau kasbi (Singkong) karena Tresia tidak mau makan dari pagi. Well, untung panitia begitu tanggap, tak lama ada yang pergi membelikan ubi dan singkong goreng.

Di satu sisi, keempat anak lelaki itu makan dengan lahab. Tapi banyak lauk yang tak dimakan, mereka bilang itu tidak cukup enak di perut mereka. Ketika panitia yang membeli singkong goreng itu datang aku memanggil Tresia, binar wajah Tresia berganti saat melihat singkong goreng di plastik. Ia makan banyak dan menyimpan sisanya di tas sandang milikinya. Lega, saat senyum Tresia mengembang lagi siang itu.

Kami kembali ke ruangan. Tak lama setelah makan siang, kami bersiap untuk melanjutkan kegiatan yang ditunggu—tunggu oleh hampir seluruh peserta yaitu ke ‘Kidzania’ . Sebagian peserta yang datang dari Jakarta dan sekitarnya sudah pada tahu tempat apa kidzania itu, tapi tidak untuk 5 anakku. Setelah turun dari bis, semua menghambur ke bangunan penuh lampu itu. Anak—anak menaiki eskalator. Kali itu aku tidak lagi khawatir karena mereka sudah aku training naik eskalator kemarin di bandara Makasar.

 Setelah masuk di kidzania, wajah semua peserta berubah. Yang tadi sedih menjadi riang, yang sakitpun sembuh instant. Anak -anak sumringah, tak bisa menggambarkan betapa senangnya mereka. Aku membiarkan mereka memilih menu permainan yang mereka suka, Sulthon yang bergabung dengan teman—teman kelompoknya belajar membuat coklat batangan, wafer dan menikmati menu belajar lainnya. Tresia dengan Novi anak Rote menikmati Modeling Schoolnya Gatsby dan belajar berjalan diatas cat walk. Maksi, Mai dan Fikram mencoba menjadi supir taksi, ikut balap mobil, membuat SIM dan mereka menikmatinnya.

 Ah, semoga keceriaan mereka bertahan sampai di Fakfak nanti. Mereka mengumpulkan uang yang mereka dapatkan, mereka membelanjakan uangnya di kedai—kedai yang tersedia. Mereka senang bukan main.

Jam tangan Q & Qku menunjukkan pukul 17.30 WIB waktunya kembali ke hotel. Kami menuruni eskalator menuju lobbi depan. Seperti biasa suguhan Jakarta dengan macet yang cukup tidak wajar, kami terpaksa harus menunggu bis cukup lama. Wajah ceria yang tadi mereka punya seketika berubah. Aku kembali mengalihkan bosan mereka dengan meminta mereka bercerita menu permainan apa yang sudah mereka coba barusan. Mentah. Mungkin mereka lelah. Kami menikmati 20 menit masa menunggu bis keluar dari parkiran. Berdiri disampingku Maksi dan Tresia, sedangkan yang lain mencari posisi nyamannya. “Ibu, baru katong besok pi mana?,” tanya maksi mengawali.

“Besok kamong jalan—jalan dulu to? Ke Monas, toko buku cari oleh—oleh apa?,” jawabku sambil menundukkan kepalaku demi melihat matanya yang lelah. Dia menaikkan dagu sambil tersenyum datar, senyum yang ia berikan saat lelah dan tidak suka. “baru kapan katong pulang?,” tambahnya.

“Nanti kalau su dapat tiket, sebentar ibu beli tiket dulu.” aku menepuk bahunya.

“Ibu, katong pulang sudah...,” balasnya membuat aku mengernyitkan dahi.

“Maksi, kenapa pengen pulang. Kita belum jalan—jalan lagi.” tambahku. Tresia hanya menjadi pendengar kali itu. “katong su rindu pinang, ibu.” jawabnya jujur. Tresia tertawa kecil, aku menggeleng sambil menghela nafas. Aku tatap mata Maksi dalam, aku mengusap kepalanya berkali.

“Kau, masih bisa tahan tara makan pinang sampai hari senin ka?,” tanyaku, dia tak menjawab ekspresinya sama mengangkat dagu sambil menyunggingkan senyum datarnya.

“disini tarada yang jual pinang lai, bagaimana kalau kau makan gula—gula saja.”tawarku mencari solusi. “Gula—gula tara enak ibu.”timpalnya. Sedangkan Tresia terkekeh saat mendengar pengakuan Maksi tentang Pinang. Aku tidak bisa melarangnya untuk tidak rindu dengan pinang, tapi kali ini aku kehabisan akal bagaimana mencari pinang di Jakarta? Aku merangkulnya.

“Sabar yah, kalau kau su sampai Fakfak kau bisa makan pinang banyak—banyak.” tambahku tak mengobati rindunya. Maafkan ibu nak, tidak menyiapkan apa yang biasa dekat dengan kalian. Batinku sepanjang jalan menuju ke hotel. Mungkin saja kalian rindu dengan mama dan bapak.

Karena ini adalah kali pertama untuk Tresia, Maksi, Sulthon dan Fikram pergi lama dan jauh dari keluarganya. Tapi ibu sudah berusaha menjadi orangtua kalian meskipun tidak sehebat mereka. Ah, aku menitikkan luh juga akhirnya. Aku tak bisa memaksakan anak—anak itu betah di Jakarta dengan kerinduannya pada keladi, pinang yang sesungguhnya itu hanya secuil dari kerinduan mereka pada keluarganya. Macet senja itu terbungkus dengan keharuan mendengar pengakuan rindu dari Tresia dan Maksi. Malam itu juga aku berjanji akan mencari tiket untuk pulang ke Fakfak, mencari penerbangan tercepat dengan budget yang kami punya. Sabar nak, kau hebat pasti bisa menahan rindu sedikit lebih lama dari teman—teman kalian lainnya. Senyum kelima anak hebat itu bermain di langit—langit bis yang aku tumpangi. Gemerlap lampu kota bisu menina bobokan seisi bis yang nampak lelah. Esok akan ada kisah baru bersama mereka... Percayalah :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua