# 5 Katong Pi Jakarta (KPCI)
Wiwik Yulihaningsih 18 April 2014Ini adalah hari ketiga petualangan mereka di Jakarta. Mengenalkan mereka pada ibu kota negara yang sering diagung—agungkan orang kampung. Baiklah aku akan menceritakan asal muasal kenapa aku dan 5 anak hebat ini sampai di Jakarta. Ajang menulis yang diadakan Kemendikbud dan Mizan telah membuka kesempatan bagi anak—anak Fakfak untuk mencicipi kompetisi sesungguhnya. Bahkan sebelumnya mereka tak pernah mengikuti lomba sejenisnya, tapi keberuntungan memihak mereka sehingga keluarlah nama—nama mereka di daftar peserta KPCI. Yah namanya Konferensi Penulis Cilik Indonesia. Tidak mudah untuk bisa sampai di Jakarta, setelah ribet dengan urusan birokrasi dan minimnya dana yang ada menjadikan tantangan apakah mereka berlima bisa hadir di acara tersebut. Aku yakin, Allah akan memberikan jalanNya.
Sempurna, ada jalan yang tak disangka. Padahal itu sudah di lobbi juga. Senin sore setelah fix mendapat tiket untuk terbang aku dan salah seorang temanku. Sebut saja Mike nama sesungguhnya, memutuskan untuk naik kampung. Tidak dengan kendaraan umum yang biasa kami pakai untuk ke kota pastinya, karena sudah tidak ada taksi yang jalan di tengah sore menjelang petang begini. Meminjam motor, begitulah jawabnya. Menghitung kilometer yang panjang, 2 jam bersama gelap hutan dan dingin yang menusuk. Sorot jupiter MX itulah yang menjadi penerang sepanjang jalan. Suara jangkrik dan binatang malam menambah sempurna suasana hutan malam itu.
Lelah beradu bersama kantuk, kalau tidak sedang dijalan mungkin aku sudah jalan—jalan bersama mimpiku. Ah, aku harus menahannya demi esok pagi. Diujung mata memandang binar lampu kampung Pikpik memancar, memberikan jawaban jika sebentar lagi aku bisa rebahan atau sekedar bersandar. Rumah kepala sekolah SD si Mike menjadi persinggahan pertama dan berlanjut ke rumah hostfam’nya. Setelah merampungkan urusan dengan orangtua murid yang akan ikut berangkat, akhirnya aku bisa benar—benar rebahan di kamar penuh ilmu pengetahuan. Hahhaha, aku suka geli jika menyebut kamar itu. Mike memberi nama kamarnya demikian karena dikamarnya ramai dengan buku—buku. Well, itu tak penting karena esok hari aku harus melanjutkan perjalananku ke kampungku yang kira—kira satu jam dari kampung ini.
19 November, aku telah berada di kampungku sekarang. Setelah menyampaikan beberapa hal pada orangtua Sulthon dan Fikram aku kembali lagi ke kota dengan jupiter MX itu lagi. Entah bagaimana ceritanya, Mike lupa ngisi bensin sehingga menyebabkan aku deg—degan setengah mati takut kehabisan bensin ditengah jalan. Ga siap aja dorong motor sampai di kota. Hahhaha, benar saja demi mengurangi resiko ngedorong motor maka setiap jalan turunan kami matikan mesin hahhaha ini demi ngirit. Finally, kami sampai di kota dengan selamat tanpa ngedorong motor. Bagaimana rasa tubuhku saat itu? Akupun tak bisa menceritakan. Kantuk, lelah dan begitu banyak pending matters yang harus diselesaikan ditambah kami langsung ada rapat dengan dinas siang itu. Jika boleh memilih, aku ingin tidur sesiangan. Tapi lagi—lagi demi esok pagi aku harus keluar dari pilihanku dan mengerjakan hal yang semestinya aku kerjakan demi esok pagi.
Malam tidak membiarkan aku tidur lebih cepat karena beberapa hal yang harus aku siapkan. Baik aku akan kenalkan siapa saja yang akan ikut serta dalam petualangan kali itu ada Sulthon yang luar biasa unik, Fikram. Mereka berdua ini dari Sdku. Ada Maksi yang sering dipanggil maksimal, juga Tresia yang paling cantik diantara mereka berlima. Mereka berdua dari SD Mike. Terakhir yang paling cool diantara yang lain adalah si Saharudin, nama beken dikampungnya Mai. Dia dari SD si Fajri. Dan aku sendiri adalah orang yang paling ayu dan ngangenin di antara 6 temanku, hahhaha jangan percaya yah kalu belum ketemu aku.
Nokiaku berbunyi berkali menunjukkan pukul 4, berarti tidurku harus disudahi. Aku membangunkan mereka berlima dan meminta mereka untuk bergegas mandi. Jam 5.30 kami menuju bandara, masih senyap. Ruas—ruas jalan masih kosong, udara pagi itu menusuk pelan.
“ah, aku masih belum percaya jika hari ini anak-anak ini akan berangkat ke Jakarta. Meskipun si Mai sudah pernah mengikuti ajang menulis di bulan kemarin.” batinku sambil menguliti senyum renyah anak –anak dalam taksi. Apron Torea itu sudah penuh dengan orang, karena Wings Air menuju Sorong sudah nangkring di atas lapangan landas. Kami harus melakukan perjalanan jauh lewat Sorong, pindah pesawat transit Makasar barulah sampai Jakarta. Ini semua karena tiket Fakfak—Jakarta habis, tak seperti biasanya bukan? Berkali aku sudah mengingatkan anak—anak untuk saling menjaga dan membantu dengan begitu mereka telah menolongku. Ini adalah kali pertama aku melakukan perjalanan jauh dengan 5 anak sekaligus.
Binar mata anak—anak mengatakan betapa mereka bahagia saat menaiki anak tangga Wings air menuju badan pesawat. Perjalanan satu jam menuju Sorong telah habis, doaku saat itu tak banyak mereka mendengar apa kataku dan tidak mabuk perjalanan. Matahari Domine pagi itu sedikit terik, asap rokok mengepul ringan di lorong kedatangan. Setelah mengambil barang—barang kami menyusuri aspalan menuju tempat pemberangkatan.
“Ibu, katong naik pesawat lai jam berapa?,” tanya Maksi
“Jam 11, jadi kita harus nunggu dulu yah.” jawabku sambil mengusap rambut keritingnya.
“ Oh mamae, katong harus menunggu lama begitu Ibu. Sekarang saja baru jam 7.30.” tukas Sulthon.
Benar, kami harus menunggu 3,5 jam ini bukan waktu yang sebentar. Semoga mereka tidak bosan, doa tambahanku. Setelah sarapan soto di kantin bandara, kami hanya duduk—duduk di depan bangku ticketing. Gesture mereka mengatakan ‘bosan’ ditambah terik yang menghardik pagi itu.
"Ibu, katong pi pulang sudah. tra usah pi Jakarta lai. su tara tahan deng panas begini" celetuk Sulton
“sabar ya nak, sedikit lai kita bisa check in baru kalian tara kepanasan lagi kalu su di dalam” kataku mencoba menyabarkan mereka. Padahal aku paling tidak sabar menunggu juga, tapi kali itu aku harus memakai topeng untuk menutupi ketidaksabaranku didepan anak—anak.
Aku tak bisa memaksakan mereka menerima keadaan itu dengan cepat, karena ini adalah kali pertama bagi mereka. Bersabarlah nak, maka ibu akan jauh lebih bersabar menunggu pesawat kita datang batinku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda