info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

# 3 Pak Bakri Guru Sepanjang Masa

Wiwik Yulihaningsih 16 April 2014

Hari ini, 12 Oktober 2013. Aku belajar dari sosok luar biasa pak Bakrie, yah begitu orang akrab memanggil lelaki berusia lanjut itu. Senyumnya mengembang pelan saat beberapa kali orang menyapanya. Pertemuan yang tak direncanakan, begitu kataku. Setelah lelah menunggu kedatangan pejabat teras yang mau silaturahmi dengan guru—guru se distrik akhirnya berbuah makna yang luar biasa. Bukan hanya aku yang merasakan sepertinya, tetapi juga peserta lainnya. Tentu bukan karena isi arahan dari pejabat nomor wahid di kabupaten ini, atau karena janjinya yang akan membangunkan rumah dinas untuk guru—guru serta tenaga medis. Lebih karena kehadiran pak Bakri di ruangan itu, yah tidak ada yang sia—sia batinku. Lalu pak Bahar, kepala SMP N 1 Kokas mulai menceritakan perjuangan pak Bakri. Tuhan... Aku tak bisa menahan luhku mengalir saat sosok bersahaja itu mengusap luhnya.

“Pak Bakri mengabdi di sini su 30 tahun, dorang tara pernah mengeluh malah dorang tara mau katong suruh istirahat. Dorang bilang, sa tara mau makan gaji buta. Baru kitorang yang muda—muda malah malas—malas pi ngajar.”

Deg, aku merasa tertampar dengan kata—kata pak Bahar barusan. Semoga tamparan itu juga dirasakan guru—guru yang duduk mematung di sampingku. Dia benar dan sangat benar, sesekali pak Bakrie lelaki yang rambutnya telah berganti warna itu menyeka matanya dengan shall yang mengantung dilehernya.

 Kemudian pertemuan itu berlalu. Setelah ditutup aku tak sabar berkenalan dengan pak bakri, demi menyembunyikan rasa haru aku menyeka mata berkali—kali dan menarik nafas panjang. Itu tak mudah dilakukan, apa lagi untuk orang sensitif seperti aku.

“Assalamu’alaikum Bapak,” aku menjabat erat tangannya mulai berkeriput.

Beliau membalas salamku lirih sembari menjabat tanganku erat, lalu obrolan ringan mengalir deras, sederas kekagumanku pada sosoknya.

“Dulu waktu bapak sampai disini, Kokas belum ramai dan maju seperti ini. Masih sepi.” Pak Bakri mulai bercerita.

Hah? Masih sepi? Bukankah sekarangpun masih sepi. Telisikku. Lalu pak bakri menceritakan perjuangan mengajarnya yang luar biasa.

“Dari tahun 1980an sa su mengajar Matematika disini, baru tahun 2004 kemarin ada yang membantu sa mengajar. “

Yah, beliau inilah guru matematika satu –satunya dari tahun ketahun. Dulu boleh saja, beliau mengajar beberapa kelas tapi hari ini tidak memungkinkan lagi. Terlebih kelas yang terletak di atas. Hanya tongkat kaki empat itulah yang kini membantu beliau agar bisa melangkah lebih cepat. Usianya sudah berkepala 7, tapi semangatnya masih seperti kepala 3.  Luar biasa...

“Baru, bapak pu rumah dimana ka?,”

“Selebes.” jawabnya singkat.

Selebes? Bukankah itu kampung dibelakang bukit ini, yang jalannya belum dibangun sampai hari ini? Kampung yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki kalau hujan turun, dan bisa ditempuh dengan sepeda motor tertentu saja.

“Jauh to bapak, baru bapak kalau pi sekolah deng apa?,”

“Sa jalan saja, ibu.”  Ah tidak, aku tidak bisa membayangkan pak Bakri berjalan dengan tongkatnya menyusuri bukit terjal berbatu itu. Aku terdiam, tergugu lama membayangkan perjuangan pak Bakri menuju sekolah setiap harinya. Mataku mulai basah. Tatapanku jatuh saat pak Bakri menyeka luhnya juga. Aku muda, ditugaskan mengajar di Sd yang mudah dijangkau dengan segala kendaraan, tidak harus mendaki bukit yang terjal tapi kadang aku masih sering mengeluh. Tidak pantas sekali bukan?

“Terimakasih ibu, su mau datang mengajar di sini.”

Tidak pak, jangan mengatakan itu batinku dalam hati.

 “Iya pak, doakan saya bisa menjadi seperti bapak.”

“Saya yakin ibu pasti bisa lebih baik dan hebat dari saya, ibu masih muda dan punya semangat tinggi jadi bisa melakukan yang lebih dari saya yang su tua ini”

Kata-kataku tertahan di kerongkongan. Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk menata nafas agar tangisku tidak tumpah. Saat itu aku tak bisa menyembunyikan luhku. Aku tak bisa melanjutkan obrolan itu dalam kondisi haru begitu pikirku. Pun aku tak mau guru—guru lain bertanya kenapa aku menangis.

“Bapak, terimakasih banyak sudah mau berbagi cerita. Saya pamit dulu. Semoga ada kesempatan untuk silaturahmi lagi.”

“InsyaAllah ibu, ada.”

Aku kembali menjabat tangan beliau dan berlalu pergi. Beliau beranjak dari kursi biru demi melihatku enyah dari halaman SMP N 1 Kokas. Aku kembali melempar pandangan pada lelaki berkopiah hitam putih, berbaju pramuka dan bercelana coklat muda itu. Tatapannya bersahabat dan senyumnya bersahaja. Ia melambaikan tangannya padaku dan aku balas pelan sambil setengah berlari.

Sepanjang jalan aku sibuk menyeka airmata, dan menata hati untuk menerima makna luar biasa yang diberikan pak bakri hari ini. Guru sepanjang masa, begitulah orang menyebutnya.

Tuhanku Yang Maha baik, akan memberikan balasan bagi siapapun yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh tanggungjawab dan penuh ketulusan. Seperti pak Bakri yang mengabdikan dirinya tanpa pamrih.

Bersama hari ini, kututup bersama senyum senja yang indah merekah, berduyun burung—burung hitam itu terbang mencari sangkarnya. Merekapun membawa cerita tentang hari ini untuk dikisahkan pada induknya. Indah...

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua