Senyum Terlalu dari Guru Melayu

Wirda Aina 10 Agustus 2014

Aku baru datang ke desa ini tanggal 15 Juni lalu, aku menjalani masa transisi penugasan dari pengajar sebelumnya selama 2 minggu, nah hari ini hanya ada aku dan orang-orang yang belum pernah kulihat dan kukenal sebelumnya artinya sekarang aku sendiri. Awalnya kukira benar-benar akan sendirian.

Aku ingin ceritakan sedikit kesan pertama yang mereka tangkap dari guru baru mereka, ya.. itu aku yang biasa mereka panggil ibu guru Wirda. Panggilan merakyat yang akan kudengar selama 1 tahun kedepan baik itu dari kalangan anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak bahkan nenek dan kakek pun memanggilku dengan panggilan ibu guru dari Jakarta.

***

Matahari masih malu-malu mengintip dari balik bukit yang masih lelap diselimuti kabut. Aku bersiap-siap membuat sejarah baru dalam hidupku pagi ini, mengajar secara formal di sekolah dasar dan itu artinya aku resmi menjadi ibu guru. Jujur aku gugup mengayunkan langkah ke ruang kelas, suara deringan bel yang baru saja kudengar seolah memberi peringatan “siapkan mentalmu Wirda ini bukan stimulasi mengajar”. Awalnya rasa gugup ini tidak terlalu kuhiraukan, namun beberapa menit yang lalu seorang guru meninggalkan pesan “bu, jumlah anak-anak kita di sini lumayan dan kalau anak-anak di kelas nanti baradung(1) dijewer aja ya”.

Aku sudah berada di daun pintu kelas V, anak-anak yang awalnya masih bermain di luar kelas saling berteriak memanggil temannya “hoi,  kelas lima asup – asup.... guru anyer !!”(2) mereka berlari-lari masuk ke kelas sambil menyalamiku.

Usai baca doa suasana di ruang kelas hening, mereka menunggu kata demi kata keluar dari mulutku. sekarang saatnya aku bereaksi bisik batin, kulemparkan senyum ke setiap sudut yang ada disekeliling dengan suara pelan kusapa akrab mereka. Serasa ada yang membuat suasana perkenalan kami kurang nyaman, dalam kelas itu banyak anak-anak yang duduk di ubin dekat dengan pintu. Aku lemparkan senyum pada anak-anak yang duduk dilantai itu, dengan wajah tanpa dosa kutanyai anak-anak itu

Aku :” ini kelas berapa kok belum masuk ke kelas masing-masing?

Mereka: memasang wajah bingung dengan sedikit kerutan di kening sambil saling bertatapan

Aku:”ayo keluar dulu ya, kelas lima sedang belajar nih” sambil memasang senyum termanis sekaligus senyum terrrrrrrrrlalu yang akan  kami kenang sepanjang sejarah.

Mereka ragu-ragu antara keluar dan tetap berdiam diri, sebagian dari mereka sudah berdiri sambil mengajak kawan yang masih tetap kekeh duduk manis di lantai. “Oiiiw... ulah kaluar!!!” Teriak seorang murid laki-laki yang sekarang kutahu ia adalah ketua kelas “ibu, mereka kelas lima..!!!” jelasnya padaku. What..!!!!! sontak aku terpaku, ada rasa bersalah disana, rasa iba, kaget dan rasa-rasa lainnya yang beraduk-aduk bagai gado-gado.

Tahu apa yang dilakukan si ibu guru? Cepat-cepat membuka absensi (lebih tepatnya data rekapitulasi nilai siswa kelas 4 tahun 2013/2014 pengganti absensi yang belum keluar) sambil menyuruh duduk kembali mereka yang sudah bersiap-siap terusir. Si ibu guru melihat jumlah siswa ada 75 orang kemudian kembali melemparkan pandangan ke isi ruangan tersebut,  kuhitung jumlah meja ada 20 dan kursi tak lebih dari 50 sisanya ya mereka yang duduk di lantai, benar-benar sesak. Sepertinya mereka tahu saja isi hatiku dengan penuh harap mereka menghadiahkan senyuman untukku.

Aku berusaha mengstabilkan kembali suasana ruangan itu terutama suasana ruang hatiku, aku minta mereka memperkenalkan diri satu persatu, setelah semua selesai, kini giliranku. Aku tidak langsung memperkenalkan diri menyebut nama, asal dan blablabla lainnya. Kali ini aku mulai dengan bercerita tentang sosok perempuan yang juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama dengan mereka di belahan Indonesia bagian barat sana. Aku terus bercerita, awalnya terlihat mereka antusias mendengarkan, ada yang mulai melempar pertanyaan ketika aku katakan perempuan itu berasal dari Aceh, “haaah Aceh ...?!!” iya jawabku, “Aceh itu pulau yang paling ujung dari Indonesia.... pernah dengar lagu dari Sabang sampai Meuroke? Nah, Sabang itu terletak di Aceh” Jelasku lagi. Mereka mulai tersenyum, terdengar mereka menyebut buah Aceh dan aku kebingungan “buah Aceh! hahaha...” lagi-lagi mereka tertawa. Aku masih belum mengerti, aku tanyakan padasalah satu anak yang duduk di sampingku, dengan bahasa Sunda yang kental dia menjelaskan blablabla panjang lebar, aku semakin bengong. Salah satu dari mereka dengan berbaik hati menjelaskan “Aceh itu nama buahan bu”. Ooh... anggukku sekenanya saja. Ah, kuabaikan mengenai buah Aceh itu dan ceritannya kulanjutkan lagi.

Mereka tertawa lepas, untuk sekian kalinya mereka membuatku bertanya-tanya, kali ini apa lagi yang ditertawakan mereka. Anak-anak perempuan saling berbisik-bisik, aku tak bisa menangkap satu katapun karena mereka menggunakan bahasa Sunda. “Ayo, ada apa ini, kok kalian tertawa ndak bagi-bagi dengan ibu?” Mereka tertawa semakin lepas “ibu Wirda kayak Upin Ipin ya... kecik-kecik tak boleh males, betol...?” sela seorang anak yang sedari tadi menahan tawa. “betol, betol, betol... “ jawab teman lain serentak.

Oh emji hello...., aku sangat paham, mereka sedari tadi meniru dialek Melayuku. Kata mereka suara bu wirda suara Upin Ipin.

 

(1)  bandel/nakal

(2) hoi, kelas lima masuk-masuk... guru baru!


Cerita Lainnya

Lihat Semua