Semangat dalam Seberkas Cahaya

Tuti Alfiani 8 Oktober 2014

Suasana dusun gelap dan sepi. Jika sudah memasuki waktu maghrib atau menjelang Isya listrik di dusun memang sering mati karena tidak stabil dan mulai stabil kembali jika sudah lebih dari pukul setengah sembilan atau lebih. Pernah suatu ketika listrik baru kembali menyala lebih dari jam 10 malam. Listrik memang sering tidak lancar jika malam hari. Sambungan listrik dari PLN belum masuk ke dusun dan masih menyambung dari dusun tetangga. Masing-masing rumah penduduk dibatasi dalam menggunakan listrik, misalnya saja satu rumah hanya diperbolehkan menggunakan 3 buah lampu dengan watt yang tidak terlalu besar dan 1 televisi.

Aku keluar menuju teras rumah, bergabung bersama Ibu, Emak, dan dengan anggota keluarga Ibu lainnya yang sedang mengobrol. Tidak lama kemudian terdengar suara motor, ternyata itu Shofi yang dijemput pulang mengaji. Kemudian aku mendengar suara anak kecil “Ibu, engko’ terro ajher ben Ibu”. (Ibu saya mau belajar sama Ibu) Ungkap Shofi sambil membawa tas kemudian mengeluarkan buku tulis dan pensilnya. “Ayo, sini belajar sama Ibu. Tadi siang belajar apa saja di sekolah ?” Setidaknya percakapan seperti itulah yang sering kami lakukan setiap Shofi pulang mengaji dari langgar (mushola) lepas waktu Isya. Shofi saat ini duduk di kelas 1 SD dan merupakan anak ketiga dari Ibu angkatku di mana aku tinggal. Jadi selain menjadi muridku di sekolah dia juga sudah aku anggap seperti adikku sendiri.

Dalam kondisi gelap, hanya ada satu buah lampu senter yang membantu kami memberikan cahaya penerangan. “Ayo coba mana ibu mau lihat Shofi sudah belajar apa saja?” Tanya ku. Kemudian Shofi membuka lembar demi lembar buku tulisnya, menunjukkan dengan antusias apa-apa saja yang sudah ditulis dan ia kerjakan selama belajar di sekolah. Aku melihat tulisannya sudah cukup rapi. Aku mencoba menyanyakan huruf demi huruf apa yang sudah ia tulis di bukunya dan menyanyakan angka-angka hasil tulisannya. Dari beberapa pertanyaanku hampir semua benar, dalam hati aku memastikan bahwa Shofi termasuk anak yang mudah memahami apa yang disampaikan gurunya. Shofi juga sering memperhatikan ketika aku sedang membuat media pembelajaran seperti huruf-huruf dan angka berwarna, kartu bilangan, gambar dan media lainnya, tidak jarang ia juga aktif bertanya “Ibu aghebey apa bu?”(Ibu membuat apa bu?) dan selalu ingin mencoba seperti melakukan apa yang aku lakukan. Selesai mengulang membaca, aku meminta Shofi untuk menuliskan angka, “bagaimana menulis angka 1-20?”. Dengan hati-hati Shofi menuliskan secara urut angka 1-20 menggunakan pensil di buku tulisnya. Ternyata benar, tulisannya sudah cukup rapi untuk anak seusianya. “Yeay, keren!!! Benar semua, gege’ ongguh tulisan na (bagus sekali tulisannya) “ Kata ku sambil bertepuk tangan. Shofi tersenyum, di wajah mungilnya seperti tersirat bahagianya telah berhasil dan mendapat pujian. Aku sedikit menyimpulkan bahwa gelapnya malam karena listrik yang mati tidak menjadi halangan untuk belajar. Hal mendasarnya berada pada pendampingan orang-orang di sekitar anak-anak pada saat belajar yang dinantikan perannya untuk menjaga semangat anak-anak agar terus menghasilkan hal positif. Bersyukurnya, Ibu angkatku cukup sering mendampingi Shofi jadi ada kelegaan tersendiri, jika suatu saat nanti aku selesai penugasan Ibu masih bisa berlanjut untuk menampingi Shofi dalam belajar. Karena sayang sekali jika anak-anak seperti ini tidak didampingi dalam masa perkembangannya. Menjaga semangat itu seperti menanam pohon yang kelak dinanti-nanti buahnya. Semangat perlu ditanam, jika bibit semangatnya unggul maka buah yang akan dipetik pun tidak jauh dari bibitnya. Semangat perlu disiram dan dipupuk secara rutin sehingga pertumbuhannya sesuai dengan yang diharapkan, semangat juga perlu dijaga, dirawat agar hal-hal yang dapat merusak semangat dapat antisipasi sehingga tidak menjadi hama bagi pohon semangat sehingga pada akhirnya semangat itu akan berbuah manis.

Terlepas dari persoalan itu semua, sepertinya kita perlu memberikan apresiasi pada anak-anak yang tetap menyalakan api semangat untuk terus belajar dalam kondisi yang tidak ideal, terbatas fasilitas dan arus informasi. Jika kita ingin melihat optimisme yang sesungguhnya, jelajahilah penjuru negeri, maka di sana akan kita jumpai anak-anak yang berusaha menembus batas mimpi. Karena di tempat-tempat yang tidak biasa seperti inilah belajar bisa dimaknai secara lebih hikmat. Bukan lagi sekadar belajar bagaimana agar lancar membaca, berhitung, tapi memaknai belajar sebagai proses untuk berani menembus batas diri. Percayalah, jika semangat juang mereka saat ini adalah energi bagi Indonesia yang akan datang. Seberapa pun perbedaan antara anak-anak kota dengan anak-anak Pulau dan berada di dusun kecil setidaknya di tempat ini aku bisa merasakan optimisme, bahwa Indonesia masih layak untuk tersenyum karena di tempat ini pula harapan tertanam dan suatu saat kita semua siap menuai hasilnya. Lalu apa tugas kita? apa yang bisa kita lakukan saat ini? Bergeraklah, ambil bagian dengan apa saja yang kamu miliki. Dengan waktumu, pikiranmu atau bahkan dengan rezeki hasil jerih payahmu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua