Cita-Cita Saya Jadi Supir Bis Bu!!

Aidell Fitri Rachmawati 8 Oktober 2014

Pagi hari di dusun Tambora selalu menjadi pagi yang damai. Ayam-ayam peliharaan Ama dan Ina, orang tua angkatku, sudah mulai berkokok sebelum Shubuh. Biasanya aku terbangun dengan kondisi menggigil kedinginan. Dengan udara dingin seperti itu, rasanya lebih nikmat untuk berlama-lama di balik selimut. Namun jika mengingat pasukan kecilku yang luar biasa rajinnya, aku tidak bisa melanjutkan ritual suci menghangatkan diri setelah shalat Shubuh. Ya, pasukan kecil kampung Timur ini, kampung yang dihuni oleh 21 kepala keluarga dari Lombok dan Nusa Tenggara Timur, biasanya sudah berkumpul sebelum pukul 06:30. Mereka dengan setia menunggu Ibu gurunya mandi dan bersiap-siap sambil mindu atau menghangatkan diri di depan tungku masak Ina.

Sapaan anak-anak dan laporan mereka tentang PR yang sudah dikerjakan adalah sumber energi yang paling ampuh untuk mengawali hari. Sebelum berangkat biasanya aku mengabsen anak-anak kampung Timur, memastikan tidak ada anak yang tertinggal rombongan. Untuk sampai ke sekolah, kami biasa menghabiskan 30-40 menit perjalanan  melewati jalan setapak yang membelah kebun kopi dan hutan gunung Tambora. Sebenarnya waktu tempuh perjalanan hanya sekitar 20 menit jika berjalan sendiri, tetapi jika berjalan bersama anak-anak, entah mengapa waktu perjalanan selalu jadi lebih lama. Sering kali karena ada hal- hal menarik yang membuat kami berhenti di tengah jalan.

Anak-anak gampang sekali menjadikan hal-hal sederhana di sekitarnya menjadi menarik. Kicauan burung, buah berry hutan, dan pohon yang tumbang dapat mereka sulap menjadi hiburan yang asyik di pagi hari. Bahkan awan yang membentuk hewan atau benda lainnya bisa jadi topik seru yang mereka perbincangkan di sepanjang perjalanan. Menikmati celoteh polos mereka, sambil sesekali mengamati gerakan monyet liar yang jumlahnya sangat banyak di kanopi pohon menjadi aktivitas pagi yang selalu aku cintai.

Sambil berjalan biasanya mereka bertanya tentang berbagai macam hal. Terkadang Ibu gurunya yang bertanya, sekedar ingin mengetahui jawaban mereka. Seperti pagi itu, mereka mendapat pertanyaan tentang cita-cita.

“Apa ni cita-cita kalian kalau sudah besar nanti?”.

Semua menjawab dengan semangat.

Ajar, adik angkatku, seperti biasa, dengan wajah cool, berkata ingin jadi dokter

Fransiska, anak Timor yang biasa dipanggil Kribo, ingin jadi polisi sekaligus guru

Sudirman ingin jadi astronot

Nining, ingin menjadi polwan atau polisi perempuwan (mendengar ini aku terkikik)  

Suki dengan tingkah pecicilannya, juga menjawab ingin menjadi guru.

Puas sekali hati ini mendengar semua jawaban itu. Semuanya memiliki mimpi dan cita-cita yang baik. Namun, diantara keriuhan obrolan cita-cita ini, ada satu anak yang diam, nampak kebingungan, Rodi namanya. Dia siswa baru di kelas 4 pindahan dari Lombok. Saat aku tanya untuk yang kedua kalinya, dia menjawab asal sambil nyengir. Matanya yang sipit menghilang.

“Jadi supir pilot sudah”.

Aku tersenyum mendengar jawaban Rodi, lalu membenarkan istilahnya.

“Maksudnya tu orang yang bawa pesawat terbang? Pilot tu namanya”

Dia hanya diam dan senyum mendengar koreksian dariku, kemudian berlari ke arah Suki dan Sudirman yang bermain kejar-kejaran. Aku akhirnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Mereka berlari, saling lempar biji kopi, tertawa jika biji kopi mengenai lawannya, memanjat pohon lalu bergelantungan seperti monyet. Benar-benar pagi yang aktif dan meriah oleh tawa! Beberapa lama kemudian, masih sambil berkejaran, Rodi berteriak.

“Bu guru.. Bu guru.. Saya jadi sopir bus saja ni bu. Bus yang ke Bima tu ni, biar nanti kalo Bu guru ke Bima bisa naik bis saya”.

Lagi-lagi aku tersenyum mendengarnya. Daerah Tambora itu sebenarnya masuk kawasan Kabupaten Bima, tapi kami di sini terbiasa menyebut “Bima” untuk pusat Kabupaten. Perlu waktu 8 jam menggunakan bus yang hanya ada dua kali sehari untuk sampai di sana.

Perkataan Rodi tentang cita-citanya sukses membuat aku merenung di sisa perjalanan menuju sekolah. Selama ini, selalu ada rasa senang di hati jika bertemu dengan anak-anak yang memiliki cita-cita yang tinggi, jadi dokter, tentara, profesor, dll. Sering juga aku lihat anak-anak diperkenalkan pada berbagai macam profesi agar mereka kelak terinspirasi dan mengikuti jejak salah satu profesi itu. Memang bagus, tujuannya agar anak giat belajar untuk mencapai cita-citanya. Tetapi salahkah jika anak seperti Rodi memiliki cita-cita sederhana menjadi supir bus?

Tadinya aku ingin berkata “Cari cita-cita lain yang lebih tinggi Rod”. Tetapi jika  berkata seperti itu seakan-akan menjadi supir bus adalah pekerjaan yang remeh. Padahal tanpa supir bus aku tidak mungkin sampai di Tambora dan bertemu anak-anak juara ini. Perenungan di sepanjang perjalanan mengenai cita-cita ini membawaku pada suatu kesimpulan. Kesimpulan yang didapat ketika hampir memasuki gerbang sekolah. Aku kemudian berbisik pelan.

“Jadi apapun kamu di masa depan, jadilah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Tebarlah kebaikan dan jangan berhenti belajar. Itu sudah, nak”


Cerita Lainnya

Lihat Semua