Mata-mata Pengintai

Wirda Aina 23 November 2014

Sudah 5 bulan keberadaanku di desa ini sungguh nikmat rasanya diberi kesempatan terhormat berada ditengah-tengah mereka. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya penuh warna melebihi warna pelangi, rasanya melebihi permen nano-nano. Aku datang ke sekolah melewati jalan setapak yang mengelilingi rumah warga, aku senang melewati gang-gang sempit rumah warga, selain lebih dekat aku bisa menyapa ibu-ibu dari setiap dapur yang biasa sedang sibuk menyiapi bekal untuk dibawa ke sawah atau ladang. Sering ibu-ibu merasa kasihan melihat sepatuku berat penuh lengketan lumpur, aku hanya bisa tersenyum, kukatakan kalau aku bawa sepatu cadangan didalam tas ke sekolah, “ini sandal cuma sampai di depan pintu kantor saja bu” ku jawab saat ibu-ibu kantin kasihan melihat sandalku penuh dengan lumpur. Ah ternyata strategiku menyiapkan sepatu cadangan saat musim hujan diikuti oleh beberapa siswa.

Awalnya mereka sering melihat kebiasaanku mengeluarkan kresek hitam berisi sepatu dari dalam tas setiap kali sampai di teras depan kantor, anak-anak kelas satu saat itu hanya melihat celingak-celinguk dengan wajah keheranan, aku hanya senyum-senyum saja melihat keluguan wajah  mereka, memang ada satu anak yang bertanya, namanya Edi bocah kecil yang sering lupa nama sendiri karena orang-orang memanggilnya Edoy. Sering sekali saat aku melakukan ritual absensi, nama Edi berulang-ulang kupanggil tak ada sahutan, dia lagi-lagi tidak menyadari kalau namanya Edi.  

iyek nawon buk?”(1)

Tanya si Edoy sambil menunjuk ke arah kresek hitam. Aku paham sebenarnya dia sudah tahu isi kresek adalah sepatu karena saban pagi ia melihat sepatu yang keluar dari kresek itu, kurasa ia ingin bertanya ibu sedang apa? Aku hanya menjawab mengikuti gaya anak-anak sembari memamerkan sepatu bersih tanpa lumpur J

Iyek sapatu ibu, biar kasep dan gelis ka sakolah kudu pakai sapatu ulah pakai sendal, kalau pakai sendal sarua jeng urang ka sawah.”(2)

Aku tidak mendengar komentar apa-apa darinya, mungkin ia bingung dengan jawabanku. Edoy malah menarik tangan Heru dan Sarit kemudian berlari-lari sambil tertawa.

Aku tak ingat persis selang berapa hari setelah Edoy berdiskusi di depan kantor denganku. Semenjak itu mereka mulai ikut-ikutan membawa sepatu, yang membuat semua orang ketawa geli adalah Edoy, Heru, Sarit dan beberapa anak kelas satu lainnya yang imut nan mungil itu menjinjing kresek hitam berisi sepatu sepanjang perjalanan menuju ke sekolah. Aku sendiri tidak melihat aksi awal-awal mereka menjinjing kresek hitam berisi sepatu, saat itu aku sedang izin tidak sekolah karena ada kegiatan site visit di kabupaten bersama teman-teman dari kantor Indonesia Mengajar. Aku juga tak tahu bagaimana mereka menjelaskannya pada orang tua mereka. Aku tahu dari guru-guru dan ibu-ibu di kantin sekolah. Benar saja rupanya, saat melihatku kembali ke sekolah setelah menghilang satu minggu, Edoy dan kawan-kawannya menghampiriku di depan kantor dengan gaya khasnya, menarik-narik lenganku sembari memperlihatkan kresek hitam berisi sepatu. Ah aku geli sekali melihat tingkah mereka. Ya Tuhan mereka sungguh lucu sekali :-)

 

(1)Ini apa bu?

(2) Ini sepatu ibu, biar ganteng dan cantik, kalau ke sekolah harus pakai sepatu gak boleh pakai sandal, kalau pakai sandal sama kayak orang ke sawah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua