Melawan Mitos

Senza Arsendy 23 November 2014

Suasana kemarin malam di Bandu agak berbeda dengan biasanya. Orang ramai keluar dari rumah, membawa senter sambil berteriak. Bertambah ramai suaranya karena banyak anjing sahut menyahut saling menggonggong. Meskipun sebenarnya di dusun penempatan saya letak rumah saling berjauhan, suara-suara itu tetap terdengar dan menggerakan saya—yang sedang membuat soal ujian untuk juga keluar.

“Mama ada apa ko?” Saya ikut melihat-lihat keluar rumah. Mama menjelaskan katanya baru saja, Roy (murid kelas V) dikejar orang tidak dikenal. “Ah, dong itu hanya takut sa kali lihat orang baru.” Saya tidak percaya.

“Sonde Pak Senja, itu Roy pung Mama keluar nah dong langsung kabur.” Mama mencoba meyakinkan saya. Saya melihat arah rumah Roy, memang tidak terlalu jelas terlihat karena banyak terhalang Pohon Lontar, namun di arah situ banyak cahaya senter dan sumber-sumber suara. Tetangga-tetangga terus berteriak, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun tidak terlalu memahami perbincangan mereka karena mereka menggunakan bahasa Rote, ada satu kata terdengar yang terus diulang yang kemudian membuat saya memahami apa yang membuat malam itu jadi lebih ramai dari biasanya. OPK, orang potong kepala.

Belakangan di Rote memang sedang sangat ramai mitos tentang OPK, terutama di kalangan anak-anak. Ceritanya beragam, ada yang bilang OPK mencari anak-anak Rote untuk dipotong kepalanya sebagai tumbal untuk membangun jembatan baru. Ada juga yang bilang OPK adalah orang Jawa yang datang ke Rote untuk menculik anak-anak Rote lalu dijual. Oleh karena latar belakang ceritanya yang konyol, maka sejak awal mendengar mitos ini saya memutuskan untuk tidak percaya. Saya menganggap mitos ini sama saja dengan mitos-mitos serupa yang saya tahu ketika saya kecil, seperti kurungbatang terbang, mister gepeng, dan kolor ijo.

 “Ah Pak Senja son percaya itu sama OPK. Itu hanya takut-takuti sa.” Sombong saya jika anak-anak di kelas menakut-nakuti saya tentang OPK.

Seperti suasana kemarin malam di Bandu yang agak berbeda, keyakinan saya bahwa OPK hanya mitos semata juga jadi ikut berbeda. Maunya sih memang nggak percaya karena cerita OPK ini sama persis dengan cerita-cerita saat saya kecil dahulu. Cerita yang dibuat untuk menakuti anak-anak agar tidak terlalu banyak bermain. Sayangnya, kejadian malam ini membuat mitos tersebut seolah jadi benar-benar ada.

Jadi masih mau nggak percaya, Nja?

Tentang OPK sebagai mitos, memang sepertinya sudah habis kemarin malam. Semesta mendukung seolah itu bukan sekedar mitos. Pagi hari di sekolah, anak-anak ramai memperbincangkan kejadian kemarin malam. Biasanya jika anak-anak ramai memperbincangkan itu, saya ikut gabung sambil mengatakan bahwa itu hanya sengaja--bohong. Pagi ini berbeda. Saya hanya menyimak perbincangan mereka, sambil berusaha menerima kekalahan saya melawan mitos bahwa OPK sekedar cerita buatan.

***

Biarkan status mitos pada fenomena OPK tidak lagi ada. Setidaknya jika memang itu diyakini benar, anak-anak tidak lagi banyak bermain di luar rumah. Ada mitos lain—yang barangkali lebih penting untuk dilawan, mitos yang mengatakan bahwa anak Rote adalah anak yang bodok dan harus dididik dengan menggunakan kekerasan. Mitos yang sejak pertama kali ada di Rote sudah saya dengar dan masih saya dengar hingga sekarang, bahkan dari orang tua dan guru. Mitos yang saya yakin juga sudah banyak berdampak negatif pada anak-anak Rote.

Bukan hal mudah melawan mitos ini. Apalagi ini memang sudah berlangsung sejak lama. Jika awalnya saya pikir bahwa tantangan geografis akan menjadi tantangan terberat selama penempatan. Lima bulan ada di penempatan, justru saya merasa bahwa melawan mitos “anak Rote bodok dan harus dididik keras” merupakan salah satu tantangan terberat. Sejak awal berada di sekolah, saya sudah diingatkan bahwa anak Rote harus dididik dengan keras. Jika mereka tidak diperlakukan keras, maka akan sangat sulit mendidik mereka. Wajar di kemudian hari, praktik-praktik kekerasan baik verbal maupun fisik saya saksikan di sekolah. Di rumah pun tidak jauh berbeda. Beberapa kali anak datang ke sekolah melaporkan kekerasan yang dildapatkannya di rumah. Bahkan ketika saya melakukan kunjungan ke rumah mereka, tidak sedikit orang tua mereka yang memberikan saya keleluasaan untuk mendidik mereka dengan keras.

Saya memang bukan guru ideal di sekolah. Beberapa kali saat saya tidak bisa menguasai emosi saya, saya juga suka bersuara nyaring—membentak. Namun menganggap mereka hanya bisa dididik dengan keras, menurut saya adalah kesalahpahaman. Begitu halnya dengan anggapan bahwa anak Rote adalah anak yang bodok. Saya dengar ini juga langsung dari orang tua murid. Alih-alih membanggakan anaknya, beberapa orang tua murid malah mengganggap anaknya bodok. Buruknya, mereka mengatakan itu di depan anak-anaknya. Lebih buruknya lagi, ini tidak saja terjadi pada anak-anak didik saya melainkan anak-anak didik pengajar lainnya.

Saya teringat satu konsep Psikologi yang pernah saya pelajari selama kuliah, self fulfilling prophecy. Mudahnya, konsep itu menjelaskan bahwa seseorang akan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan orang lain pada dirinya melalui label yang diberikan. Contohnya, jika orang tua menganggap anaknya bodoh maka anak tersebut akan berperilaku seperti anak bodoh: tidak mau belajar (buat apa saya belajar? Saya kan anak bodoh?). Jadi, jika selama ini di Rote ada anak yang dianggap bodok, bisa jadi penyebabnya justru orang tua mereka sendiri yang menggangap mereka bodok. Bisa jadi.

Namun, benarkah memang anak Rote itu bodok?

Saya sih tidak percaya. Dua minggu lalu, saya melihat bahwa anak-anak Rote tidak sekedar pintar melainkan juga antusias untuk memajukan Rote. Sekumpulan pemuda/i Rote dikumpulkan di acara Kemah Pemuda Rote. Mereka memberikan sumbangan ide melalui rencana kerja untuk memajukan Rote. Ada yang membuat gerakan membaca, kebersihan, pramuka, dan lainnya. Bukankah jika seperti ini artinya anak Rote pintar?

Jumat lalu saat sedang menuju kota, saya diberhentikan oleh polisi di tengah jalan. Ternyata akan ada seorang menteri yang melewati jalanan tersebut. Menteri tersebut adalah Pak Saleh Husein, Menteri Perindustrian. Beliau adalah putra asli Rote yang berhasil berkiprah di ibukota. Selain beliau ada beberapa tokoh Rote lainnya juga yang telah berhasil di luar Rote seperti Adrianus Moi (mantan Gubernur BI) dan RJ Lino (Dirut Pelindo II). Mungkinkah jika mereka bodok, mereka bisa sesukses itu?

Lagi, saya juga tidak percaya. Beberapa hari lalu saya mendampingi Ratmi dan Putri untuk siaran di radio lokal Rote. Mereka membagi pengalaman mereka ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta. Ratmi terpilih sebagai 100 ketua OSIS terbaik se-Indonesia, sementara Putri terpilih untuk ikut IDStudentUnite. Saya yakin mereka bukan anak bodok.

Jika kemarin malam semesta tidak mendukung saya untuk melawan mitos OPK, saya baru menyadari bahwa beberapa hari belakangan justru semesta mendukung saya untuk melawan mitos yang lebih besar. Mitos yang mengatakan bahwa anak Rote bodok dan harus dikeraskan. Benarkah memang seperti itu?

Menurut saya sih tidak.

nb: foto Kemah Pemuda Rote oleh Sherwin Ufi


Cerita Lainnya

Lihat Semua