TUHAN dan Kembara Kerinduan..

Wilibrodus B 30 Mei 2012

Ini tanggal dan hari ke sekian pada setengah tahun ‘pengembaraanku’ di sini. Dulu, ketika besi beroda membawa lamunku pada pipa-pipa besar di tepi jalan menuju ke tempat ini, November tahun lalu, hanya ada rindu sesak di dada, pada sakrifisasi yang sebetulnya belum penuh kumengerti. Ada sekelebat rama-rama kecemasan.

Dan siang yang lama membangunkanku kembali malam ini. Selalu. Ketika jarum jam hendak menunjuk angka 3 pagi, tubuh alamiku akan terjaga, berteman deras hujan menggerus tanah rerumputan dan kegelapan panjang yang sebentar nanti akan sirna. Bukan lagi debar cemas, tetapi kabir syukur, yang entah tak jua penuh kupahami. Mengapa aku hampir lupa, Engkau telah membawaku sejauh ini? Aku memanggil-Mu kala malam menggabak sepi.

Aku tak pernah bermimpi di lalu silam, pun tak dapat meramal, jika pada suatu ketika di bulan pejuang, kehidupan membawaku ke suatu tempat yang jujur aku rindukan. Di sini hari-hari menggiringku pada sebagian masa kecilku dulu. Pada hening hutan, riak pasang, pada sungai, lumpur, malam gulita, handuk matahari, masa kecil anak desa sahaya apa adanya.

Masih kuingat ketika Ibu menelepon saat hari ulang tahunku ke 25, itulah senja pertama kujejakkan kaki di tempat ini. Walau jauh dari keluarga, aku bersyukur untuk kenangan ulang tahun yang tak mungkin kulupakan. Tiada yang demikian istimewa, tanpa kue ultah, tak ada nyala lilin keramaian, tak ada riuh renyah orang, tapi aku bahagia. Aku bahagia melibatkan diri di sini. Mengapa aku hampir lupa, aku telah melalui ini semua?

Begitulah, sekian petang berlalu, kuakrabi hari-hari di dusun ini. Hutan Samak. Dalam sepi kenduri, kicau walet di rumah tinggi, wangi dupa di malam hari dan air keruh perigi. Kadang kala sunyi datang menyerang, ketika aku mengingat-Mu dalam kesendirian, begitu sendu, tetapi gelak tawa dan lengkingan polos mereka selalu membuatku mesti bangkit dari situasi ini. Aku tahu aku takkan bergumul sendiri.

***

Selamat malam Kawan. Apakah kabar-Mu? Aku mengingat-Mu malam ini. Dari tanah Rupat, pulau yang bertepian langsung dengan negeri manca, Malaysia, kukirimkan untuk-Mu cerita. Mudah-mudahan ada lebih banyak kisah dapat kubagi, itupun jika Kau mau mendengarkannya. Mampirlah malam ini, walau sejenak, mari kita minum kopi!

Ini sudah sekian hari dan bulan aku ada di tempat ini. Di sini aku tak sepenuhnya sendiri. Bersama seorang rekan guru honorer, aku menetap di sebuah rumah sederhana, persis di samping sekolah tempatku mengajar.

Selalu ada hal tak biasa, yang hanya kutemukan di sini. Di Hutan Samak. Hari pertama sejak ulang tahunku, aku masih bingung membaur diri. Pagi yang remang, aku mandi dekat sebuah sumur di samping rumah. Garis tengah sumur itu kira-kira semeter. Airnya sedikit coklat. Itulah peristiwa mandi yang selalu kulewati. Jika hendak mandi dengan air yang agak bersih, aku harus ‘menimba’ air hujan. Setiap sore dengan dua buah ember bekas wadah cat tembok, bolak-balik dari rumah ke bak penampungan air hujan di ujung sekolah. Letih pasti. Namun menjadi begitu berharga untuk dijalani.

Dusun ini terpisah oleh sebuah selat dengan desa induknya, Titi Akar. Untuk menuju ke desa, kami biasa naik pompong, sebuah perahu kecil, dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Hanya ada satu pompong yang membawa warga Hutan Samak pulang pergi dari atau menuju Desa Titi Akar. Selepas maghrib hingga pukul 6 pagi, pemilik pompong beristirahat, tak ada perjalanan melintasi selat.

Jika malam tiba, dusun kami nyaris serentak terlelap. Di beberapa rumah, telah ada yang mampu membeli genset. Genset dapat dipakai bersama atau disewakan pada rumah-rumah yang berdekatan. Jadilah setiap malam, kami ditemani suara genset. Tapi genset tidak ‘bersuara’ terlalu lama. Biasanya listrik dari genset menyala mulai pukul 6 hingga 12 malam.

Banyak penduduk asli di dusun ini menjadi buruh serabutan, pemotong kayu, penoreh karet, kuli bangunan dan nelayan. Ada juga sedikit penduduk menjadi pengumpul sarang burung walet. Mereka membuat rumah-rumah tinggi dari beton, memasang rekaman kicauan burung walet untuk mengundang walet masuk ke rumah dan membuat sarang di situ. Suara walet tentunya salah satu yang unik di sini.

Di sejumlah sudut kampung dan jalan setapak, dari dermaga hingga pedalaman dusun, kujumpai  banyak bendera berwarna merah, hijau dan putih. Kata warga itulah bendera China, salah satu etnis dominan di sini. Dari pengamatanku yang belum mendalam, bendera ini menjadi titik tempat warga meletakkan makanan bagi arwah leluhur sembari membakar dupa di malam hari.

Di sekolah, para guru dan murid menyambutku dengan amat baik. Anak-anak bahkan selalu bersemangat menungguku mengajar di kelas. Mereka suka jika kuajari bernyanyi, jadilah sekarang hampir tiada hari mengajar tanpa bernyanyi. Semenjak mereka tahu aku datang dari NTT, di minggu awal aku mengajar, anak-anak selalu bertanya-tanya tentang ukuran tubuh Komodo, juga harum kayu Cendana. Aku hanya bisa menunjukkan pada mereka gambar Komodo dan menjelaskan dengan seadanya wangi kayu Cendana. Tak ada satu guru pun yang memberi tahu mereka tentang dua hal itu, kecuali ihwal bahwa aku berasal dari NTT. Mereka bilang mereka tahu dari buku. Tetapi lebih dari rasa penasaran mereka, pertanyaan-pertanyaan sederhana mereka tentang Komodo dan Cendana membuatku amat bahagia. Walau hidup jauh di pulau terluar dekat negeri tetangga, melalui Komodo dan Cendana, mereka masih mengingat NTT, provinsi kepulauan yang bermil-mil jauhnya dari mereka. Aku berharap, kelak ada di antara mereka dapat mengunjungi NTT, suatu hari nanti.

Sebagian besar anak di kampungku drop out saat SD. Yang melanjutkan ke SMP dapat dihitung dengan jari. Apalagi SMA. Suatu ketika saat mengajar di kelas 1, aku pernah meminta mereka menuliskan cita-cita, mereka hanya mengenal 2 cita-cita : menjadi guru atau polisi. Hanya itulah dua profesi yang tersimpan dalam wawasan kanak-kanak mereka. Karena terpencil secara geografis, masyarakat di dusun lebih homogen. Anak-anak didikku mayoritas adalah penduduk asli, orang Akit. Sisanya penduduk dari etnis Tionghoa, sedikit Batak dan Melayu. Sebagian besar muridku hanya mengenal agama Budha, agama yang mereka anut. Sedikit yang tahu ada agama lain misalnya Islam. Kebetulan di sekolah kami ada juga anak-anak beragama Islam, pendatang dari Melayu. Namun tak banyak, sebanyak jumlah jari tangan.

Pada suatu hari di minggu kedua bulan November aku mengajar di kelas empat. Aku mengajak siswa-siswaku belajar di luar kelas, menyusuri sebagian jalan kampung. Kuajak mereka mengunjungi Cetya, Vihara kecil, tempat sehari-hari mereka beribadah. Di depan Cetya, kukenalkan pada mereka, 6 agama di Indonesia, tempat ibadah dan hari rayanya masing-masing. Meski belum pernah melihat secara langsung seperti apa itu Gereja, apalagi Pura, namun dengan penuh antusias mereka mencatat kata-kataku.

Di sini sejujurnya aku tidak mengajar, aku justru belajar. Aku hanya mengambil satu peran kecil dari proses hidup manusia di Hutan Samak bernama belajar. Satu tahun tentu tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan dedikasi para guru yang kutemui di sini. Ada Ibu Sarifah, guru pendatang dari Pulau Bengkalis yang telah menetap di Hutan Samak selama 15 tahun. Dia mengajar ketika sekolah kami masih berdinding papan kayu (sekarang telah menjadi Cetya), dan Hutan Samak masih berwujud benar-benar hutan. Hanya sebuah jalan setapak yang membelah kampung, tanpa listrik dan rumah penduduk yang jarang. Sekarang sekolah kami telah memiliki gedung permanen, 6 ruang kelas, 1 kantor, 1 perpustakaan, dan 6 rumah dinas guru, rumah tembok sederhana yang salah satunya aku tempati.

Ada pula seorang guru, Ibu Romida, orang Batak yang tumbuh di Duri, sebuah kecamatan di Bengkalis. Sudah 7 tahun dia mengajar di sini, berpisah dengan suaminya di Duri. Juga tak ketinggalan, teman-temanku para guru honorer yang menerima gaji tiga bulan sekali. Untuk menambah penghasilan, mereka bekerja pada pemilik kebun sawit dan karet, membabat rumput, menoreh karet atau membantu memetik sawit saat panen. Ada juga Ibu Kelly, guru honorer yang rela menempuh jalanan rusak dengan sepeda motor sepanjang 100 kilometer, hanya demi mengikuti kuliah Universitas Terbuka di Batu Panjang, ibukota Kecamatan Rupat. Perjalanan mengikuti kuliah itu dia lakukan dalam keadaan hamil tua.

Jauh di Ujung Pasir, sebuah kampung yang hanya dapat ditempuh melalui perjalanan laut selama 3 jam dari Hutan Samak, berdiri juga sekolah lokal jauh kami. Di situ ada sekitar 20an murid, yang diampu oleh 3 orang guru honorer. Lokal jauh di Ujung Pasir dapat berdiri semata-mata karena swadaya warga. Sehingga, kondisi fisiknya pun sangat sederhana. Hanya ada 3 ruang untuk 6 rombongan belajar yang terbuat dari papan, lantai tanah, tanpa kantor, apalagi rumah guru. Namun kegiatan belajar tetap berjalan lancar, meski para guru itupun harus mencari pekerjaan sampingan untuk menjaga asap tetap mengepul di dapur.

Tak lupa jua, Agus, Pengajar Muda sebelumku yang telah meletakkan wadas yang baik di tempat ini. Melanjutkan mungkin tak lebih mudah daripada memulai, tetapi permulaan yang baik adalah dasar dari keberlanjutan yang baik.

Dari mereka semua aku belajar tentang pengabdian sesungguhnya. Aku belumlah apa-apa, Kawan. Masih daun hijau muda. Semoga doa-doaMu menolongku menimba hidup di tempat ini.

Kadang aku merasa lelah. Tapi jika petang hari anak-anak mulai datang untuk belajar, atau bermain, aku harus setia bangkit, mengumpulkan semangat untuk menyambut mereka. Tak ada yang lebih membahagiakan di sini selain melihat semangat mereka. Selain mengetahui bahwa anak-anak menerimaku dengan tulus.

Dan jika di masa depan, Tuhan mengijinkanku untuk terus meneguk pengalaman di oase pendidikan ini, aku mau semoga kehadiranku di sini memberiku hikmat. Walau jauh di Rupat, aku selalu mengingat rupa saudara-saudaraku di NTT yang tak dapat memperoleh pendidikan dan jalan hidup seperti yang bisa kuraih. Aku berharap perjalanan hidupku di sini dapat kubagi untuk kemajuan pendidikan di provinsi sebelah tenggara Indonesia, provinsi termiskin di Indonesia, rangkaian nusa yang saban tahun mendapat predikat juru kunci dari daftar peringkat kelulusan siswa SMA se-Indonesia.

Aku tahu sekarang, untuk apakah aku telah Kau panggil. Mengapa aku hampir lupa, Engkau telah membawaku sejauh ini?

Begitulah. Sekian malam berlalu, kuakrabi hari-hari di 'rumah' ini. Hutan Samak. Dalam sepi kenduri, kicau walet di rumah tinggi, kebyar bendera di simpang jalan, wangi dupa di malam hari dan air keruh perigi. Kadang kala sunyi datang menyerang, ketika aku mengingat-Mu dalam kesendirian, begitu sendu, tetapi renyah tawa dan lengkingan polos mereka selalu membuatku mesti bangkit dari situasi ini. Aku tahu, Kawan. Kau masih setia menemaniku bercerita..

 

Hutan Samak, suatu malam yang kepagian..


Cerita Lainnya

Lihat Semua