Kesedihan di Tikungan Terakhir
Rian Ernest Tanudjaja 1 Juni 2012
Sekarang adalah H-30 sebelum saya pulang ke Jakarta. Kembali ke keluarga dan pekerjaan yang sudah menanti. Rasanya campur aduk. Sangat senang namun lebih banyak sedihnya. Sedih karena akan meninggalkan anak-anak.
Lucunya, segala kesedihan itu semakin bertambah setelah beberapa hari ini perilaku anak-anak menurun. Semangat belajar mereka menurun (semangat mengerjakan tugas lebih tepatnya). Kecewa, itu yang saya rasakan.
Dan kekecewaan itu memang terasa. Kecewa campur dongkol. Kecewa karena hanya 5 anak dari 28 siswa yang mengerjakan tugas PR yang saya perintahkan. Saking kecewanya, saya sampai mengambil satu hari libur tidak mengajar. Alhasil, tulisan yang sedang anda baca ini.
Ada permasalahan yang selalu menyertai saya di dalam kelas. Ada masanya anak-anak tidak semangat belajar dan melakukan kesalahan mendasar dalam pelajaran. Misalnya, mengisi jawaban asal-asalan, atau ya, tidak mengerjakan PR yang kita perintahkan. Padahal, tingkat kesulitan soal sudah saya banting habis-habisan. Kapasitas dari PR juga demikian. Namun entahlah. Yah, namanya juga anak-anak. Guru yang satu ini malah berspekulasi bahwa mereka tidak mengambil pusing atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan, toh mereka tahu bahwa guru bantu yang satu ini tidak akan menghajar mereka, seperti yang kadang dilakukan oleh guru-guru lain.
Diluar dari ‘kegalauan’ akut yang saya alami diatas, ada satu hal yang pasti, saya sebentar lagi melepaskan jabatan sebagai guru. Hilang sudah perasaan terangkat ketika sukses menyampaikan pembelajaran kepada siswa saya, dimana satu dekade lalu rasanya saya yang memakai seragam putih-merah gagal dalam menangkap pelajaran yang sama. Saya baru mengerti konsep 3 jenis pengungkit setelah saya mengajar di kelas. Ya, saya akan sangat merindukan masa-masa merinding ketika ada orang yang mengatakan: “Yang namanya guru, ya diguguh dan ditiru”. Itu termasuk salah satu kata-kata luar biasa bagi saya.
Apakah mungkin setelah kembali ke Jakarta, saya tetap memberikan pembelajaran? Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, mengajar memang adiktif. Mengajar sepenuhnya dapat memberikan trance. Anda menjadi molor waktu, lupa makan, dan seterusnya.
Tak terasa, perjalanan kami di pulau ini mendekati penghujungnya. Tujuan sudah nampak di horizon sana. Sebagian barang pribadi sudah kami kirim pulang. Sering kali kami ‘curcol’ saat mengajar dengan menginformasikan kepada siswa bahwa sedikit lagi kami pulang. Kami sudah di tikungan terakhir. Sebentar lagi finish, dan kami tidak tahu kapan lagi kami akan memiliki kesempatan berpacu di sirkuit ini lagi..
Oele, 31 Mei 2012, 23:06
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda