info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bukan Tentang Saya

Rian Ernest Tanudjaja 1 Juni 2012

 

Masih teringat malam itu. Saat itu malam terakhir kami sebelum besok berangkat ke daerah penempatan. Abah Iwan, dedengkot dari Wanadri saat itu sedang menyampaikan cerita pengabdiannya kepada kami. Jujur, sulit bagi kami untuk mendengarkan ceritanya. Badan ini lelah karena berhari-hari diajak bersafari dari pagi sampai malam. Belum lagi ruangan yang pengap dan sempit. Jam menunjukkan pukul 10. Mata berat luar biasa. Abah Iwan bercerita sambil memetik gitar (lantunan melodi semakin memuluskan kantuk). Jam semakin bergeser, dan beberapa dari kami mulai lancang dan ‘tewas’ di kursi. Beberapa yang masih sadar mencoba untuk sedikit ngobrol. Ia pun marah. Terlihat emosinya tak tertahan lagi.

“Saya disini bukan untuk saya. Saya disini untuk kalian. This is not about me. THIS IS ABOUT YOU!”

Rasa kantukku langsung hilang. Statement yang lugas keluar dari seorang senior pecinta alam dengan badan kekar di usia uzur. Saya merasa di konflik cicak dan buaya. Kami ini Pengajar Muda yang belum tahu apa (cicak) berhadapan dengan Abah Iwan (pernah ikut pelatihan tentara bayaran, tugas di Lester, dan mendaki berbagai gunung). Pada 12 bulan lalu, kata itu susah dicerna maknanya. Lucunya seiring perjalan bulan kesekian di Rote, aku baru mulai merasakan makna kata itu.

Banyak dari kita yang sehari-hari berangkat dari rumah menuju tempat aktivitas dengan membawa ke-AKU-an masing-masing:

 “(Ini jalan gw. Jangan asal potong dong. Gw ga mau terlambat ke kampus. Sekolah ga sih lo?)”

“(Saya tidak peduli dengan presentasi yang kamu bawakan. Tunggu saja sampai sesi tanya jawab, I will give  you a bloody tough question, and I will get the spotlight. Just like usual.)

“(Saya adalah lulusan universitas  **** (saya menghindari penyebutan merek) dengan peringkat terbaik di angkatan. Saya masuk Indonesia Mengajar setelah bersaing dengan [] orang pendaftar.) I am the chosen one.”

Kita berangkat dengan ke-AKU-an kita. Ke-AKU-an itu tertanam di diri kita. Bukti? Seberapa sering kita bertanya hanya untuk mendapatkan spotlight? Apakah Anda bisa langsung menyebutkan kembali nama orang yang 5 menit lalu Anda jabat tangannya?

Staf Galuh melepas kita dengan doa dan harapan, disaat ke-AKU-an kita masih subur ada di hati kita masing-masing. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Sangat manusiawi. Kita terbiasa ada di forum yang menjunjung pencapaian dan background kita. Forum yang egaliter, intelektual, elite. Kita terbiasa disanjung. Kepala kita menjadi besar. Ke-AKU-an kita terpelihara oleh sistem.

Persiapkan diri kalian, karena sebentar lagi kalian akan ada di sistem yang bertolak belakang. Tidak akan ada yang peduli dengan segala atribut yang kalian punya. Nanti, semua orang sibuk dengan urusannya (atau mungkin ketiadaan urusannya) masing-masing. Sistem yang mereka punya sudah berdekade lamanya menguntungkan mereka. Mungkin juga tidak ada penyambutan resmi dan senyuman, seperti yang selama ini kita dapatkan selama karantina. Mungkin saja butuh waktu 6 bulan untuk bisa bertemu dengan bupati (seperti yang saya alami). Sebentar lagi kalian akan berpindah perahu, dari perahu besar, gemerlap dan megah ke perahu sampan kecil yang bocor disana-sini dan terombang-ambing gelombang. Gelombangnya memang memabukkan tapi percayalah, ada pemAndangan dan cerita luar biasa yang akan kalian dapatkan disana.

Saya percaya kita berani mengisi isian online ke Galuh karena kita punya mimpi. Kita punya niat (yang pastinya sarat dengan ketulusan; atau Anda berpikir lain?). Mimpi dan niat tulus. Itulah modal kita, dan kesemuanya itu bukan semata-mata untuk kita. This is not about me (kita pribadi). This is about us (Gerakan Indonesia Mengajar, ribuan pekerja sosial dan sukarelawan di luar sana). This is about them (anak-anak di pelosok Nusantara).  This about something greater than all of us together. Adalah keniscayaan bahwa Anda akan mengalami seribu satu hal (baik dan buruk). Saat yang buruk itu datang, ingatlah kawan bahwa ‘segala hal tentang saya’ sudah kita tinggalkan di laci rumah kita. Ingatlah itu saat difitnah, dicemooh, dicibir; saat mendapatkan sekolah amburadul, kepsek dan guru yang tidak pernah datang. Ingatlah itu dan semuanya akan terasa lebih ringan. Selamat meneruskan tongkat estafet kami. Selamat berpindah perahu, para pemberani.

Oele, 31 Mei 2012 23:32


Cerita Lainnya

Lihat Semua