Selamat Siang!
Gracia Lestari Tindige 29 Mei 2012
Siang ini saya pulang dari sekolah. Perasaan saya campur aduk seperti permen nano-nano. Wajah saya berada pada modus datar, musik yang berdentum di telinga juga tak kuasa merubah ekspresi wajah saya.
Motor saya melompat-lompat kecil melewati lubang jalan, matahari terik di atas kepala. Dari jauh saya melihat beberapa anak kecil bermain di jalan. Melihat kehadiran motor saya, mereka menghentikan permainan, berbaris rapi dipinggiran dan semakin dekat saya melihat dengan jelas senyum sumringah mereka mekar, secerah matahari siang ini. Semakin dekat, tangan mereka terangkat girang dan suara cempreng yang menggemaskan ditembakkan dari mulut kecil mereka “Selamat siang!”
Seketika wajah saya berpindah modus: parabola sempurna, senyum lebar sekarang menggantung di sana. Betapa dahsyatnya virus senyum itu menular. Tidak sempat menjawab, saya membunyikan klakson dan memberi lambaian kecil pada pasukan yang berbaris rapi itu.
Beberapa puluh meter berikutnya adalah tempat kebanyakan murid-murid saya berasal. Senyum lebar saya sekarang berubah menjadi senyum dikulum. Dari jauh saya sudah melihat anak-anak dengan beberapa orang tuanya sedang duduk santai di bawah pohon. Mendengar suara motor saya dari jauh mereka waspada. Anak-anak berdiri di pinggir jalan, mengulurkan tangan menunggu sambutan tangan saya dalam bentuk tos dari atas motor. Kali ini saya menyapa terlebih dahulu, “Selamat siang!” anak-anak tersenyum dan membalas salam dengan girang. Tangan saya panas, karena kena tos dengan tangan kecil yang biasa mengangkut air. Orang tua mereka memberikan anggukan kepala khas rote sambil tersenyum dengan bibir yang berwarna merah terang (karena sirih pinang, bukan pake lipstick)
Kali ini perasaan nano-nano saya jauh lebih ringan. Dan begitu terus di sepanjang jalan, anak-anak SMP, gadis-gadis pengangkut air, bai’i yang sedang menuju ladang, murid-murid dusun tetangga, orang-orang yang bahkan tidak saya ketahui namanya, hari ini mereka memasang senyum di wajah dan mengucapkan salam sederhana “Selamat siang”. Meski begitu ketika saya sampai di rumah, wajah saya tidak berada lagi dalam modus datar, hati saya menjadi girang.
Bagi saya, senyum dan sapa mereka adalah secangkir Milo 3 in 1 di pagi hari ketika separuh nyawa saya masih berada di tempat tidur dan segelas es jeruk di siang hari yang melelahkan. Ketika keluarga berada jauh dari rumah, pertemuan dengan teman-teman sepenempatan masih jauh di kalender, dan hidup sedang tidak baik-baik saja hal yang paling saya syukuri adalah ketika saya berada di atas motor, menyapa dan disapa dan saling menularkan senyum.
Semoga ketika kembali ke Jakarta, saya masih dapat menemukan senyum dan sapa yang manis itu.
Bandu, 19 April 2012, hari terakhir ujian sekolah.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda