info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Para Dini yang Perdana

Wilibrodus B 7 September 2012

“..bagian kita hanyalah terus menabur. kita tidak selalu harus menuai..” (Ibu Weilin Han)

UJUNG KISAH :

Berbulan-bulan lalu ini hanya rencana. Menginisiasi PAUD di sebuah dusun dengan tingkat natalitas tinggi, yang hanya punya satu-satunya SD. Kemudian saya mulai dengan mengumpulkan anak-anak pra-SD, bermain bersama setiap Kamis sore. 'Aksi' ini tidak berjalan lama, kesibukan lain membuatnya terhenti. Saya hampir lupa, mungkin belum saatnya. Tiga bulan sebelum pelayanan saya di sini siap diestafetkan, kabar bahagia datang. Kepala dusun memberitahu PAUD siap dibangun. Sekarang, dua bulan sebelum saya pergi, di laut, di tepi dermaga, material bangunan telah terkumpul. Selamat datang Rumah PAUD Hutan Samak. Mungkin saya tak sempat mengajar di 'rumah' itu, ada yang akan memberi warna lebih setelah saya. Atau saya tahu anak Hutan Samak kelak dapat mengajari adik-adik mungilnya bermain di ‘rumah’ itu.. Terima kasih TUHAN.

***

Setiap Kamis siang adalah jadwal saya mengajar di kelas dua. Saya mengajar Bahasa Inggris. Biasanya jika anak-anak mulai riuh saya akan menutup pintu. Kelas saya memang selalu ramai. Bukan hanya karena anak-anak yang begitu nyaring suaranya memanggil-manggil nama saya di dalam kelas, tetapi juga karena kelas yang saya ampu selalu didatangi “tamu” lain. Kadang-kadang, di jendela berdiri dua atau tiga anak kampung yang drop out saat SD, atau hadir juga beberapa anak yang tidak melanjutkan ke SMP. Tidak ketinggalan anak-anak usia TK yang belum bersekolah.

Biasanya “tamu” yang sudah besar akan melongok lewat jendela, dan berdiri lama di situ sambil sesekali mengganggu adik-adiknya yang sedang belajar di dalam kelas. Sementara bocah-bocah usia TK akan berdiri berjejer di muka pintu. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tentu ada yang lebih yang mereka maui dari sekedar menonton saya atau guru lain mengajar. Jika kelas menjadi tak kondusif saya akan berinisiatif mengajak mereka menjauh dari kelas, bermain di lapangan sekolah kami, kemudian menutup pintu. Anak-anak yang lebih besar sudah cukup mengerti jika saya meminta mereka pergi, sehingga tidak mengganggu murid-murid saya di dalam kelas.

Namun hari itu, ada yang berbeda. Saya sedang mengenalkan anak-anak sebuah lagu dalam Bahasa Inggris, dan hendak menutup pintu karena mereka mulai ribut. Di depan pintu, saya seketika menjadi tak tega melihat lima bocah mungil berdiri berjejer di situ. Pakaian mereka kumal, menghitam, mungkin karena terkena debu saat bermain. Semuanya tak berkasut. Dua diantaranya berdiri polos dengan cairan ingus mengalir dari sela hidung. Saya tertegun, membungkukkan badan lalu bertanya nama-nama mereka. Mereka diam. Satu saja yang menjawab, sudah cukup besar, lima tahun kira-kira umurnya. Namanya Ayu.

Kemudian, karena tak tega, saya mengajak mereka masuk dan duduk bersandar di tepi dinding di depan kelas. Saya meminta mereka ‘menonton’ tenang di situ. Seketika, saya ingat sejak awal kedatangan saya ke Dusun Hutan Samak, selain mengajar di SD, saya juga ingin membuat PAUD.

Siang itu, sebelum kelas usai, saya kemudian mengumumkan pada anak-anak kelas dua : bagi siapa saja yang memiliki adik usia TK di rumah silahkan membawanya petang nanti. Petang hari itu, saya berniat menjalankan PAUD.

Sekolah kami adalah satu-satunya tempat belajar formal di dusun ini. Tidak ada TK apalagi SMP. Siswa kami banyak dengan sebaran tempat tinggal hingga tujuh kilometer dari sekolah. Tahun 2011 saja, siswa kelas satu nyaris 50 orang, tahun ini meningkat menjadi 55 orang, sehingga kami harus membagi mereka ke dalam dua kelas, kelas pagi dan kelas siang. Sebagian besar di antara anak-anak yang seharusnya sudah masuk kelas satu pada tahun 2011 terpaksa menunda masa belajarnya hingga tahun 2012, sebab daya tampung sekolah sudah tak mencukupi. Alhasil, terjadilah pengalaman seperti yang saya alami hampir setiap hari. Kelas saya selalu didatangi “tamu” cilik.

***

Jam dua siang saat saya baru saja bersantap, tiga calon siswa PAUD saya telah berdiri di depan rumah. Dua diantaranya adalah adik dari Lisa, murid saya di kelas dua. Seorang lain adalah adik dari Mery, juga siswa saya di kelas dua. Rupanya pengumuman saya siang tadi mendapatkan respon.

Usai makan siang, saya segera menggelar tikar pandan di depan rumah, mengambil sejumlah pensil warna dan beberapa lembar kertas mewarnai yang sengaja saya fotokopi sejak jauh hari. Kemudian anak-anak itu saya dudukkan di situ. Kami berkenalan. Saya menanyai mereka satu persatu. Hanya Dewi, siswa PAUD saya yang paling besar yang mampu menjawab. Dua yang lain, Cen Cen dan Dedi, tak menjawab sepatah kata pun. Mereka diam. Tak ada yang tahu umur masing-masing termasuk Dewi. Ekspresi Cen Cen seperti orang bingung saat berhadapan dengan orang baru, sedangkan Dedi hanya menjulurkan lidahnya. Sesekali ia berceloteh, tapi tak jelas, saya tak dapat menangkap kata-kata yang ia ucap. Ingus meleleh dari sela hidung mereka. Kemudian sejenak saya masuk ke dalam rumah, mengambil tissue yang baru saya beli kemarin di Dumai. Masing-masing hidung dua anak itu saya lap dengan tissue hingga ingus mereka tak berbekas. Kemudian saya mengajak mereka bernyanyi, tetapi Dedi dan Cen Cen diam seribu bahasa. Dewi pun tak tahu, namun ekspresi mukanya menunjukkan keingintahuan.

Saya coba dengan cara lain. Mengajak mereka bertepuk tangan atau membuat toast. Tetapi lagi-lagi hanya Dewi yang merespon. Saya cukup kewalahan. Akhirnya saya mengeluarkan kertas bergambar, dengan pinsil warna dan crayon. Kemudian meminta mereka menggambar, seketika mereka menjawab tawaran saya. Di atas tikar koyak itu, mereka asyik mewarnai. Cen Cen belum dapat membedakan warna dan garis, dia hanya mengambil sebatang crayon berwarna kuning dan mencoret-coret di atas kertas. Sementara Dedi sudah lumayan, walau belum mampu mewarnai dengan rapi pun belum mengenal warna, Dedi sudah mampu meletakkan warna sesuai garis-garis yang ada pada gambar. Dia sudah mampu mengikuti pola yang ada. Dewi sudah cukup paham, sudah mampu mewarnai dengan cukup baik. Ini adalah pengalaman pertama bagi mereka bertiga memegang crayon dan mewarnai.

Setelah hampir satu jam berselang, saya kedatangan seorang siswa baru bernama Ayu. Sama seperti tiga temannya yang lain, saya mengajaknya berkenalan, menanyai umurnya, tetapi Ayu tak mampu menjawab berapa tahun usianya. Saya memberikan pada Ayu kertas bergambar dan crayon sehingga dia dapat ikut menggambar.

Satu setengah jam berselang, Cen Cen dan Dedi sudah mulai uring-uringan. Akhirnya saya memulangkan mereka pada kaka-kakak mereka yang sedang mengikuti ekskul pramuka dibimbing rekan guru lain. Begitu pula Dedi dan Ayu. Saya merapikan kembali tikar, dan mengembalikan crayon serta kertas bergambar ke kantor sekolah.

Ketika kembali dari kantor ke rumah, murid-murid SD saya yang telah selesai mengikuti ekskul pramuka sedang ramai bermain bola. Kebetulan persis di depan rumah saya adalah lapangan bola. Di teras rumah, saya melihat ada enam bocah sedang duduk bersama Ayu. Lima diantaranya, itulah anak-anak yang saya temui siang tadi saat mengajar Bahasa Inggris. Saya masih menghapal wajah mereka. Sebagian besar tampil kumal, dengan kulit menghitam karena debu, dan tentu saja ingus yang mengalir dari sela hidung.

Rencananya saya akan ikut bermain bola dengan anak-anak murid SD saya. Tetapi melihat mereka saya mengurungkan niat itu. Saya segera mengumpulkan mereka, mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Kebetulan rumah saya baru saja dipasangi tikar getah (karpet), jadi mereka dapat duduk tenang di situ. Saya kembali ke kantor mengambil crayon dan kertas bergambar. Di rumah saya mengajak mereka duduk melingkar, Ayu dan enam siswa baru saya. Kemudian kami berkenalan, ada yang bernama Ajun, Agus, Iching, Beduh, Udip serta Andi. Nama-nama mereka sebagian besar saya tahu dari murid-murid SD yang menonton dan mengerumuni saya, sejak awal saya mendampingi anak-anak itu. Hanya Ayu dan Agus yang mampu menjawab nama mereka. Tetapi jangan sekali-kali menanyakan umur, mereka tak pernah tahu. Dari lima siswa PAUD pada gelombang kedua sore itu, saya trenyuh ketika menatap Iching dan Beduh. Mereka tampak sangat kumal (maaf saya tidak dapat menemukan kata yang pas), menghitam seperti habis bermain arang, dari kaki hingga wajah.

Sama seperti Dedi, Dewi dan Cen Cen pada gelombang satu tadi, Ayu dan enam siswa PAUD, saya ajak untuk mewarnai. Mereka asyik mewarnai. Sesekali saya juga ke pojok rumah mengecek Azein, siswa saya di kelas satu yang masih belajar menulis.

Akhirnya tepat jam lima sore saya memulangkan mereka. Sejak saat itu, setiap Kamis sore saya memprogramkan jadwal khusus untuk mengajar PAUD. Sudah lama saya mengimpikan ini terjadi di dusun. Sepuluh orang para dini saya yang perdana : Dewi, Cen Cen, Dedi, Ayu, Ajun, Agus, Iching, Beduh, Udip dan Andi. PAUD kami belum memiliki gedung khusus, di rumah tinggal saya pun tak apa-apa. Juga belum bernama, tunggu saja waktu akan membisikkan pada saya nama yang pas. Mungkin juga belum layak dikatakan PAUD. Saya hanya berniat mengumpulkan anak-anak pra-sekolah yang tidak mendapatkan kesempatan belajar sebelum masuk SD karena di dusun saya tidak ada TK. Saya tahu ini belum apa-apa, baru dimulai..

 

Hutan Samak, tiga bulan pertama dan dua bulan terakhir..


Cerita Lainnya

Lihat Semua