Namanya Azein

Wilibrodus B 28 Mei 2012

“Aku ingin menjadi sekacip kertas putih dalam buku tulis. Tempat kau mematri pelajaran di kelas. Yang berulang kau buka saat kau butuh pengingat.”

Pertama kali aku mengenalnya ketika mengisi jam kosong karena wali kelas mereka, Ibu Sarifah, berhalangan hadir. Ia siswa kelas satu. Sebelum aku masuk, ia dan 44 murid di kelas ini telah diberi tugas oleh seorang guru lain untuk berlatih menulis. Anak-anak lain tampak asyik meliuk-liukkan pensil di atas buku tulis, tetapi ia hanya diam, tak bergeming. Dia duduk dengan kedua tangan menjadi alas dagunya di tepi meja. Tatapan matanya tak berkedip. Ketika menyadari kehadiranku di dekatnya, ia menunduk, masih tanpa suara. Sepuluh detik kemudian ia menangis tak tertahan. Membekas linangan air matanya pada putih kertas dari buku tulisnya. Baju putihnya basah.

Pagi itu seketika emosiku berkecamuk. Entah bagaimana, tangisannya meninju relung batinku.

Aku memeluk bahunya, membujuknya pelan, mengelus kepalanya supaya dia tenang dan kembali diam. Ku ambil buku tulisnya yang setengah basah. Di dalam buku itu tak ada catatan yang dapat kubaca. Cuma sedikit coretan angka. Angka tujuh seperti huruf L, angka 4 yang terbalik, angka 3 miring seperti burung terbang, dan beberapa angka tak sempurna. Itu saja.

Sejak hari itu dia menjadi anak pertama yang menantang sisi romantismeku, bagaimana aku dapat membawa dia mencintai menulis seperti halnya anak-anak doyan meneguk es lilin di kedai dekat sekolah? Tentang dia, aku mendengar cerita yang sama dari dari guru lain, lambannya ia menulis, tentang kebiasaannya menangis, tentang begitu rapuhnya ia meneteskan air mata karena diminta menulis.

Namanya AZEIN.

***

Siang itu, aku usai mengajar Pendidikan Kewarganegaraan di kelas satu. Setelah mengajak anak-anak bersama-sama menyanyikan lagu “Tunjukkan Semangatmu” yang kubawa ke dusun dari pelatihan di Kopassus dulu, aku lalu meminta anak-anak membersihkan kelas. Bocah-bocah lain berhamburan keluar, tapi Azein berjalan pelan, tetap dalam ruangan kelasnya, mengambil sapu ijuk yang gagangnya sudah setengah patah, lalu menyapu kelas bersama kawan-kawannya yang mendapat tugas piket setiap hari Rabu.

Jika Azein masuk sekolah, tidak peduli jadwal piket kebersihan yang telah dibagi wali kelas mereka, setiap hari ia akan membantu menyapu kelas. Tiada hari piket khusus bagi Azein. Setiap pelajaran bersamaku usai, Azein akan maju dan bertanya padaku “Pak, piket Pak? Pak, Azein piket Pak?”

Kalau tak ikut menyapu, ia dengan sukarela  mengambil kotak sampah lalu membuang isinya ke tempat pembuangan sampah tak jauh dari toilet sekolah. Begitulah yang Azein perlihatkan padaku dengan penuh semangat.

Pagi hari bila aku datang lebih awal, Azein selalu dengan spontan mengambil tempat sampah dan mengikutiku berkeliling sekolah untuk memungut sampah-sampah yang bertebaran. Pun, beberapa kali ketika aku butuh bantuan untuk mengangkat buku-buku, Azein bergegas lari ke sampingku dan berkata “Pak, bantu Pak, Azein bawa tas bapak..!”

Aku tahu, ada kekuatan terpendam yang Azein punya. Semoga terus ia jaga. Jika dalam pelajaran calistung Azein tak lebih cepat bisa dari kawan-kawannya, Azein sudah menunjukkan padaku, bakatnya yang lain: kemurahan hatinya dan kesukaanya pada aktivitas bersih-bersih.

Aku pernah mendengar tentang disleksia, dan sesekali membuka google untuk mencari apa itu disleksia. Penjelasan di wikipedia hanya sedikit memberikan gambaran yang tak gamblang padaku tentang apa itu disleksia. Dan jika kecendrungan susahnya menulis pada Azein untuk diberi nama, aku lebih memilih untuk tidak bernama disleksia. Bagiku dia hanya perlu seorang yang dengan tulus mau mengajarinya menulis.

***

Sekarang, untuk membuat dia tak takut menulis, aku sengaja duduk disampingnya saat latihan menulis di kelas. Ketika melihat dia bingung, aku akan menuliskan susunan kata di atas buku tulisnya dan meminta dia menirukan tulisanku. Cara ini selalu berhasil. Tulisannya jelas, walau dengan beberapa koreksi, namun perkembangannya sudah jauh lebih baik daripada pertama kali aku mengenalnya. Azein bahkan sudah dapat menuliskan namanya sendiri dengan benar.

Untuk mengurangi ketergantungan Azein pada cara yang pertama, kadang-kadang aku meminta Azein maju ke depan kelas, lalu duduk di dekat mejaku, menghadap papan tulis, dan menulis di situ. Melihat kekerapan itu, biasanya teman semejanya, Lipeng, akan ikut maju. Di meja itu, Lipeng secara alami menjadi “guru” bagi Azein. Sekalipun membutuhkan waktu yang lama sampai Azein selesai menulis, aku selalu terharu melihat “keakraban” itu.

Pernah pada suatu hari yang terik, Azein berlari kecil ke sumur  di belakang sekolah tempat aku biasa mandi. Dia tampak kehausan. Aku tak tega. Perigi itu keruh sekali. Kuberi Azein selembar uang 1000 rupiah untuk membeli air minum dalam kemasan di kedai terdekat. Begitulah Azein menjadi gambaran kebiasaan anak-anakku. Mungkin karena begitu dekat dengan alam, mereka tak pernah merasa jijik meminum air sumur yang keruh tanpa dimasak. 

Dan, seiring waktu yang berlari pesat, ia menjadi kawan karibku. Karib sekali. Rumahnya kebetulan dekat sekolah. Jika aku kembali menyebrang dari desa Titi Akar, lalu berjalan kaki, kira-kira 600 meter dari dermaga, aku pasti melintasi rumahnya. Di tepi jalan yang kulalui itu, namaku seketika menggema karena panggilan nyaringnya “Pak Willy, pak oeee, dari mana Pak?” Pak Willy, pak oeeee nak ke mana Pak?” Atau sesekali dia datang ke rumah, dan mengajakku main bola. Bila ia datang ke rumah dan mendapatiku sedang membersihkan halaman rumah, bersama adik lelakinya, Azein selalu dengan rela hati membantuku mengangkut sampah.

Waktu cap go meh dulu, ia dengan suka hati menemaniku jalan kaki keliling kampung, melintasi jejak tanah berlumpur menuju Sungai Kedah, menghampiri rumah-rumah orangtua muridku untuk mengucapkan selamat hari raya pada mereka, hingga gelap malam merayap di dusun kami.

Dari Azein, anak kelas pertama yang kukenal karena menangis saat belajar menulis, dari kemurahan hatinya, dari pengalaman bersamanya dan kisah anak-anak Hutan Samak, kuretas jelajah kerinduanku, kembara hidup dan hal-hal yang tak selesai..  

Hutan Samak, akhir 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua