Sepucuk Surat untuk

Wildan Mahendra 2 April 2011
Untuk sahabatku yang hebat dimanapun kalian berada Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Piye kabare dab? Wah sudah lama saya tidak mengatakan kalimat itu. Setidaknya semenjak kurang lebih 6 bulan lalu saya meninggalkan Jogja untuk bergabung bersama gerakan Indonesia Mengajar. Surat ini saya tulis, salah satunya memang sebagai obat rasa rindu yang mendalam pada Jogja dan segala keunikannya. Ditemani suara angsa, kicau burung, kokok ayam jantan, dan yang jelas limpahan oksigen dari pohon-pohon beraneka ragam, saya membayangkan Malioboro, Kampus, Gudeg, Kopi Jos, dan semuanya yang khas dari kota ini. Dan tentunya juga rasa sedih ketika mengingat bencana alam Merapi yang sempat meluluh lantakkan dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf ya sebelumnya jika surat ini diawali dengan curahan hati saya. Salam kenal sahabat. Anda tidak keberatan kan jika saya memanggil anda dengan sebutan sahabat? Kami—pengajar muda—seringkali memanggil satu sama lain dengan sebutan sahabat. Jadi karena anda adalah calon pengajar muda maka saya harus membiasakan diri memanggil anda sahabat. Nama saya Wildan Mahendra Ramadhani. Kebanyakan teman seringkali memanggil saya Wildan atau Wild. Saya lulusan Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada angkatan 2006. Mungkin diantara sahabat sudah ada yang mengenal bahkan akrab dengan saya sebelumnya. Salam kangen. Sekarang saya sedang bertugas menjadi pengajar muda di SDN 8 Titi Akar yang lokasinya terletak di Dusun Suka Damai, Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau. Lebih tepatnya saya mengajar di sebuah pulau kecil yang merupakan bagian dari pulau terdepan Indonesia. Jaraknya kurang lebih 2 jam dari Malaysia (dengan speed boat) dan hanya bisa ditempuh menggunakan pompong (sejenis perahu) selama 5 jam dari kota Dumai. Jarak yang teramat dekat dengan Malaysia, membuat beberapa daerah di pulau ini masih menggunakan Ringgit sebagai alat tukar.  Di sini, mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Akit (suku asli), sedangkan sisanya Cina, Jawa, Melayu, dan Jawa yang didominasi Kebumen. Jadi otomatis, murid saya pun berasal dari Suku Akit yang menggunakan bahasa Akit (dan saya tidak paham), suku Cina yang kebanyakan menggunakan bahasa Mandarin (apalagi ini, saya sama sekali belum paham), dan tentunya suku Jawa yang menggunakan bahasa “ngapak” (dan saya hanya bisa tersenyum sambil mengingat teman-teman di kampus yang sering menggunakan bahasa ini sebagai bahan tertawaan). Akhirnya, saya pun memilih jalan tengah untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam mengajar. Aman. Jujur, jika mengingat perjalanan di awal saya tidak pernah membayangkan akan melakukan hal “gila” ini. Saat mendaftar yang terlintas hanya niatan untuk menambah pengalaman. Hanya itu. Dan setelah saya evaluasi, ternyata ini adalah pilihan paling beresiko tinggi. Bayangkan membuang waktu sahabat selama setahun untuk pergi ke daerah terpencil (bahkan mungkin terisolasi) untuk menjadi guru SD, jauh dari keramaian, dan tentunya hidup dalam kesederhanaan (sekaligus kesendirian). Padahal mungkin saja gaji yang besar dari berbagai perusahaan, beasiswa-beasiswa master baik dari dalam maupun luar negeri ataupun kantor pemerintahan sudah di menunggu sahabat bahkan di depan mata. Jadi ini pilihan yang tidak masuk akal bukan? Tapi ternyata, seiring berjalannya waktu baik ketika mulai pelatihan hingga surat untuk sahabat ini saya tulis, Allah semakin membuktikkan bahwa ini adalah pilihan yang terbaik, masuk akal, dan sangat rasional. Apalagi ketika saya harus bertemu dan berinteraksi dengan 50 pengajar muda lain yang luar biasa secara kompetensi, pribadi, maupun pengorbanan yang dilakukan untuk bisa bergabung dengan Indonesia Mengajar. Saya merasa beruntung bisa mengenal dan belajar banyak dari  mereka. Para sahabat pengajar muda yang selalu saya banggakan. Selain dari mereka, saya juga berkesempatan menimba ilmu dari para inspirator negeri ini seperti Anies Baswedan, Rene Suhardono, Veronica Colondam (YCAB), Boediyono, Fasli Djalal, Iwan Abdurachman atau abah Iwan (Garda depan Nusantara), Jusuf Kalla, Iwan Fals, Muhammad Nuh, Ananda Siregar (CEO Blitzmegaplex), Janoe Ariyanto (CEO Dentsu), Efek Rumah Kaca, dan juga tokoh-tokoh lainnya. Hari demi hari sarat akan inspirasi. Rasa syukur yang juga bertubi-tubi. Meskipun tidak dapat saya pungkiri bahwa rasa marah, takut, minder, hingga kangen seringkali tak bisa dihindari. Tapi inilah pilihan hati. Sahabat, saya sangat menyadari mungkin saat ini kalian sedang bimbang untuk memilih jalan ini. Jalan di luar jalur yang cukup beresiko tinggi. Ketika pada akhirnya sahabat sekalian memilih berjuang bersama kami untuk memajukan anak negeri, pastikan itu datang dari hati. Pilihlah secara sadar dengan pertimbangan yang juga tak kalah matang. Dan yang paling penting sekaligus utama adalah pilihan ini direstui dan didukung penuh oleh orang tua. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui sahabat, saya hanya ingin meyakinkan sahabat bahwa kondisi di lapangan jauh dari apa yang kita bayangkan. Tentang sekolah, masyarakat, maupun tempat tinggal. Ternyata bertindak tak cukup mudah seperti berkata-kata. Ternyata berbuat tak segampang seperti yang dibayangkan. Ternyata mengalami tak jauh hebatnya ketika kita berdiskusi. Realita memang tak seindah kata. Tapi semuanya harus dihadapi ketika melihat ratusan mata anak-anak Indonesia yang jauh dari peradaban, haus akan pengetahuan, angan, dan masa depan, menanti sahabat di depan kelas. Sahabatku yang hebat, janganlah bimbang. Segeralah menyingsingkan lengan, mengulurkan tangan, dan mengerahkan tenaga untuk membantu mereka (para siswa di daerah terpencil). Bagilah segala ilmu, pengalaman, pengetahuan, dan inspirasi yang sahabat miliki selama ini kepada mereka sebagai inspirasi untuk meraih mimpi demi kehidupan yang lebih baik. Bangsa ini sudah cukup kenyang dengan segala perdebatan kusir yang hanya mengunggulkan arogansi tanpa menghasilkan solusi atas permasalahan negeri. Saatnya kini kita beraksi. Dengan bergabung bersama kami, InsyaAllah sahabat turut mendukung kemajuan negeri ini. Bayangkan ketika kelak, mereka menjadi pemimpin negara ini dan menebar kebermanfaatan yang semakin luas, maka di dalam setiap amal mereka ada pahala sahabat yang terus bergulir. Kita bicara tentang Snowball Effect. Saya berdoa, semoga bergabungnya sahabat menjadi pengajar muda angkatan dua ini turut menambah amunisi bagi kebangkitan Indonesia kedepan. Jangan pernah ragu dan bersemangatlah, apapun latar belakang sahabat yakinkan diri bahwa sahabat adalah anak negeri yang dapat dibanggakan dan begitu berharga. Rasakan ketika langkahmu menjadi panutan, ujarmu adalah pengetahuan, dan setiap inspirasimu merupakan doa dan mimpi bagi mereka. Kami semua sudah tidak sabar menunggu sahabat sekalian. Alami, rasakan, dan buktikan J Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh Suka Damai, Titi Akar, Rupat Utara Salam Hangat dan Semangat, Wildan  Mahendra Ramadhani E :  wildan_mahendra@yahoo.co.id        wildan.mahendra5@gmail.com        wildan.mahendra@pengajarmuda.org FB: wildan_mahendra@yahoo.co.id T  : @wildmahendra B  : blog.indonesiamengajar.org

Cerita Lainnya

Lihat Semua