Sepatu Lubang Buaya
Wildan Mahendra 2 April 2011
Jika dibandingkan dengan yang lain, ada yang berbeda dengan Ayun dan Meilin. Keduanya merupakan murid saya di kelas 5. Berhari-hari saya mencoba menerka setiap melihat mereka berdua. Tapi apa ya? Bajunya? Rambutnya? Atau wajahnya? O, ya, cara jalannya. Mereka selalu jalan pelan, sedikit menyeret, dan setahu saya tidak pernah berlari seperti kawan-kawannya yang lain. Mengapa ya? Setelah beberapa hari saya amati dari ujung rambut hingga ujung kaki akhirnya saya temukan jawabannya.
Ya, ternyata sepatu mereka sudah koyak dan pada bagian telapaknya sudah berlubang besar mirip lubang buaya. Oke. Saat itu pula saya hanya diam, termenung sambil membayangkan sepatu-sepatu saya yang berderet rapi di rumah. Sepatu-sepatu hasil ego dan nafsu saya untuk melengkapi warna favorit, kenyamanan, dan juga model terbaru. Sepatu-sepatu yang kadang masih layak pakai tapi karena tidak memenuhi ketiga kriteria di atas, langsung cepat-cepat saya pensiunkan. Sepatu-sepatu yang saya beli dari mal ke mal dengan beraneka ragam merk, bahan, dan juga diskon. Sepatu-sepatu yang selalu saya cocokkan dengan pakaian yang akan saya kenakan. Sepatu-sepatu yang...sepatu-sepatu yang...sepatu-sepatu yang....Detail dan tidak penting, bukan? Sementara, saya yakin bagi Ayun dan Meilin, sepatu yang masih dapat dipakai saja sudah cukup.
Jujur, saat itu saya benar-benar malu. Rasa bersalah sekaligus penasaran, memberanikan diri saya untuk bertanya kepada Ayun, apakah ia memang hanya memiliki satu sepatu? Dengan malu-malu ia menjawab ya. Saya sempat bertanya pada guru-guru, tentang latar belakang keluarga mereka. Dan salah satu guru menjawab bahwa sebenarnya mereka berasal dari keluarga yang cukup mampu, tapi memang kebanyakan orang tua di sini (di desa saya) terutama dari suku akit memang tidak mau peduli dengan urusan sekolah anaknya, termasuk sepatunya. Yang paling penting bagi mereka adalah anaknya sekolah. Titik.
Terus terang saya bingung, ingin rasanya membelikan mereka sepasang sepatu baru untuk sekolah tapi ada beberapa pertimbangan yang saya khawatirkan. Pertama, saya khawatir ketika saya membelikan sepatu buat mereka, nanti temannya yang lain akan iri. Kedua, ketidak pedulian orang tua terhadap sarana prasarana sekolah anak-anaknya akan semakin besar. Mereka akan menganggap bahwa sekolah adalah kotak ajaib yang mampu memenuhi segala kebutuhan para siswanya. Ketiga, kebalikannya saya khawatir orang tua mereka akan sangat tersinggung. Keempat dan terakhir sekaligus sedikit ekstrem, saya khawatir masyarakat akan menganggap saya orang kaya yang mampu memenuhi kebutuhan setiap siswa yang kekurangan atau atas ketersinggungan orang tua mereka saya kemudian disanto (disantet). Adakah yang mampu memberikan solusi strategis atas sepatu lubang buaya ini?
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda