info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Reog di Perbatasan

Wildan Mahendra 2 April 2011
  Bagi kawan-kawan yang sudah membaca tulisan saya yang berjudul Menenun Indonesia, cerita ini merupakan bentuk pemenuhan janji saya. Oke, euforia pernikahan kak Mawar ternyata belum selesai. Pagi-pagi serombongan orang datang. Sepertinya dari jauh, kebanyakan dari mereka memakai kaos yang didominasi warna merah dan putih. Ya, ternyata mereka rombongan Reog Ponorogo yang datang dari desa sebelah yang bernama Parit Kebumen. Mereka sengaja diundang secara khusus oleh keluarga kami untuk menghibur para undangan di pernikahan ini. Saat itu saya makin bersemangat, mengingat selama kurang lebih 5 kali menghadiri pesta pernikahan pasti hiburannya selalu sama: keyboard (orkes tunggal) atau qasidahan. Ini benar-benar beda! Tapi saya semangat saya kemudian meredup, ketika timbul keraguan. Jangan-jangan Reog Ponorogo versi rupat berbeda dengan reog ponorogo yang saya pernah lihat di Jawa? Jangan-jangan ini versi Malaysia? Begitu banyak “jangan-jangan” di pikiran saya. Saya benar-benar teringat langsung pada konflik budaya yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia. Intensitas yang tinggi dalam mengkonsumsi produk Malaysia membuat saya menjadi diskriminatif terhadap sesuatu, termasuk Reog ini. Jarak geografis yang begitu dekat, memang menjadi tantangan nasionalisme tersendiri bagi kami yang tinggal di pulau ini. Oke, saya yakin anda pasti bisa merasakan apa yang kami rasakan. Keraguan saya akhirnya berhasil saya tanggalkan dengan memberanikan diri langsung bertanya pada salah satu personilnya. Menurut pengakuan mereka Reog ini—yang diundang pada pernikahan Kak Mawar—memang asli Ponorogo. Namun, dikembangkan oleh orang-orang keturunan Ponorogo di Rupat sebagai budaya lokal setempat. O ya, jika menemui orang Jawa di Bengkalis, insyaAllah 98% bisa dipastikan dia berasal dari keturunan Ponorogo atau Pacitan. Jika tidak percaya silahkan dicek sendiri. Bahkan saking banyaknya populasinya mereka punya organisasi sendiri, entah apa namanya yang jelas organisasi itu merupakan kumpulan para JABENG (Jawa Bengkalis). Meskipun sedikit lebai, tapi semangat nasionalisme saya saat itu makin bergejolak. Apalagi ketika melihat ternyata ada bendera merah putih kecil pada kepala Reog dan gong utama. Mungkin saya akan biasa saja dan tidak seheboh ini jika menyaksikan atraksi Reog itu di Jawa apalagi di Ponorogo yang memang sudah menjadi basis kesenian ini. Namun benar-benar jauh berbeda ketika Reog ini hadir di Rupat, di perbatasan Malaysia dengan Indonesia, di depan anak-anak murid saya dan para penduduk desa yang tiap hari mengkonsumsi produk-produk Malaysia dan ternyata baru pertama kali melihat Reog. Ini benar-benar momen yang mengharukan. Dari kejauhan saya melihat bagaimana ekspresi anak-anak murid saya yang masih menggunakan seragam sekolah merah putih takjub sekaligus takut melihat atraksi reog itu. Saat itu saya hanya bisa  berkata dalam hati: lihatlah lebih dekat anak-anak, nikmatilah, dan berbanggalah inilah budayamu, budayaku, dan budaya kita semua bangsa Indonesia J

Cerita Lainnya

Lihat Semua