Pseudo Tolerance
Wildan Mahendra 2 April 2011
Bagi anda yang sering mengikuti tulisan saya sebelumnya, anda pasti paham kondisi tempat tinggal saya sekarang (jika belum sangat dianjurkan untuk membaca tulisan saya yang berjudul “maju atau mundur”). Ya, saya tinggal di lingkungan masyarakat yang multi suku. Akit, Melayu, Jawa, Talang mamak, Cina, Minang, Batak, Banjar, bahkan Papua. Kali ini saya ingin mengajak anda untuk berdiskusi tentang tantangan toleransi yang saya amati setelah bergaul di masyarakat selama kurang lebih 3 bulan paska relokasi.
Oke, temuan di lapangan menunjukkan bahwa dalam keseharian mereka hidup rukun dan damai. Saya bisa merasakan itu hingga sekarang. Tapi kepekaan sosial saya menyatakan lain, kedamaian itu ternyata hanya terlihat di permukaan saja. Ada beberapa fakta yang saya temui di lapangan yang bagi saya sangat mendukung hipotesa sementara. Saya memiliki hipotesa bahwa masyarakat desa Titi Akar ini sedang terjebak apa yang seringkali saya sebut dengan istilah “pseudo tolerance”. Toleransi yang banal dan terkesan abal-abal.
Kegelisahan tersebut sebenarnya timbul dari interaksi saya setiap hari di sekolah maupun bersama hostfam. Saya seringkali mendengar kalimat-kalimat negatif yang sifatnya cukup rasis. Sangat diskriminatif dan intimidatif secara verbal. Salah satu contohnya, “rumah kotor kayak rumahnya orang Akit” atau ketika ada kerabat mereka (non akit) melakukan perilaku yang negatif mereka langsung berkata “kayak orang Akit”. Oke, dalam hati saya berkata, “memang orang Akit kenapa?”. Saya heran, benar-benar tidak ada ruang perumpaan positif untuk orang Akit. Tidak sedikitpun.
Saya tinggal bersama orang keturunan Jawa yang belum pernah ke Jawa. Dalam tulisan saya “Reog di Perbatasan” saya menyebut mereka sebagai Jabeng (Jawa Bengkalis). Salah satu contah lain yang cukup mengakar (sesuai namanya Titi Akar) bagi saya adalah kenyataan bahwa meski bertahun-tahun mereka (jabeng) tinggal bersama orang-orang dari suku akit, bertahun-tahun pula mereka dengan setia mengatakan “jangan makan dan minum di tempat orang Akit, banyak santo (santet)”. Wasiat turun temurun itu tentu ditujukan untuk anak cucu mereka dan orang baru seperti saya hingga sekarang. Saya tidak tahu apakah ini bentuk kewaspadaan, kecurigaan yang didasari pengalaman empiris, atau stereotipe tanpa bukti? Yang jelas tanpa sadar dalam pikiran saya sudah terpatri untuk selalu “hati-hati” tiap kali bertamu di rumah orang Akit.
Salah satu rekan guru saya yang berasal dari suku Akit pun juga pernah bertanya pada saya, “apakah ketika orang non muslim masuk muslim lalu menjadi fanatik, hingga tidak mau makan dan minum di tempat kami?”. Dia bertanya atas dasar fakta yang ia juga amati. Salah satunya, pernah ketika imlek ada serombongan guru bertamu di rumah salah satu guru lain yang berasal dari suku Akit. Tiba-tiba saja seorang guru yang bertamu tersebut menengok dapur dan berkata “kak kuenya buat sendiri atau tidak? Kalau buat sendiri saya tidak mau”. Bagi saya apapun konteksnya, ini serius. Bukan becandaan yang lucu.
Lain cerita dengan orang melayu. Bagi mereka (Jabeng) orang Melayu itu terlalu banyak bicara, banyak gaya, dan malas bekerja. Hal ini sering saya amati ketika masyarakat melaksanakan “kejobos” (dalam bahasa Jawa sering disebut “rewang”) dalam sebuah pernikahan. Terutama lewat sindiran-sindiran di tengah kerja. Untuk suku lain, saya belum melakukan pengamatan lebih lanjut termasuk bagaimana pengamatan mereka ketika melihat suku Jawa yang dalam tulisan dari awal hingga akhir sepertinya saya posisikan sebagai “tersangka”. Tapi pernah saat itu, ketika saya mau mengunjungi vihara tempat banyak orang cina dan akit sembahyang banyak yang bertanya dengan nada interogatif terutama dari masyarakat Jawa tak terkecuali hostfam saya tetang keperluan mengunjungi vihara.
Oke, berdasarkan fakta tersebut saya ingin mengundang anda untuk berdiskusi lebih lanjut terkait isu yang cukup serius di desa tempat saya tinggal sekarang. Saya khawatir kondisi “pseudo tolerance” ini semacam bom waktu yang tidak satu pun orang tahu kapan akan meledak. Terkait dengan anak-anak di sekolah, saya masih terus berusaha untuk memutus warisan berpikir rasis ini dengan mendoktrin mereka tentang bagaimana hidup bertoleransi. Tentunya dengan bahasa yang mereka pahami dan contoh-contoh yang di sekitar hidup mereka sehari-hari. Saya tidak ingin mereka mendapatkan visualisasi “toleransi” yang timpang dari kearifan lokal yang mereka punya. Saya pikir doktrin (warisan) harus dilawan dengan doktrin. Tepatnya doktrin yang implementatif.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda