info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perjuangan Kedua

Wildan Mahendra 15 Mei 2011
Semifinal Olimpiade Sains Kuark (OSK) 2011 yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ini menjadi momen spesial bagi kami kontingen SDN 8 Titi Akar. Ada beberapa alasan. Pertama, semifinal merupakan tahap perjuangan The Miracle of 17 untuk bisa mendapatkan tiket final ke Jakarta. Kedua, semifinal ini akan diadakan di SDN 4 Titi Akar yang belokasi di dusun Hutan Samak. Sebuah dusun yang berada di pulau sebelah yang masyarakatnya didominasi suku akit (mungking hingga 95 %). Artinya kami harus menyebrang menggunakan pompong atau sejenis perahu motor sederhana yang terbuat dari kayu. Ketiga, ini adalah kali pertama saya mengajak mereka bertemu dengan teman-teman seusia mereka dari SD desa lain. Sesuai rencana awal, anak-anak akan dijadwalkan berkumpul di sekolah pukul 8 pagi. Kurniawan, siswa kelas 5 yang sebelumnya kami tunjuk sebagai ketua rombongan, bertugas mengkoordinir teman-temannya. Sebelumnya kami beri ultimatum kepadanya, jika pada hari sabtu jam 8 pagi, ada anak-anak yang tidak kumpul atau terlambat, orang yang paling bertanggung jawab adalah Kur nama panggilan sehari-hari Kurniawan. Dan Kur wajib untuk menjemput mereka satu per satu di rumahnya masing-masing. Ultimatum ini sebenarnya tidak berniat mengintimidasi Kur, tapi melatih dia untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Hanya itu. Entah karena ultimatum atau apa, anak-anak datang jauh sebelum jadwal yang sudah disepakati. Bahkan mereka tidak datang ke sekolah melainkan ke rumah saya dan parahnya mereka tahu saya belum mandi. Terpaksa, karena mereka over tepat waktu maka mereka harus menunggu saya mandi sembari menunggu guru-guru yang lain datang. Setelah semua siap dan berkumpul, maka kami menyempatkan untuk berdoa bersama sebelum berangkat menuju pelabuhan. Di pelabuhan pompong pak Kedut sudah menunggu. Di sana juga tampak beberapa orang tua sibuk mengantar kepergian anaknya ke hutan samak. Bahkan ada beberapa orang tua yang berniat untuk ikut. Saya sebenarnya memahami kecemasan mereka. Rata-rata semua siswa yang lolos bbak penyisihan ini memang mengaku belum pernah ke Hutan Samak. Jadi ini adalah pengalaman pertama bagi mereka. Oke, mengingat guru dari SD kami yang ikut juga cukup banyak sekitar 6 orang, maka kami melarang mereka untuk ikut serta. Percayakan anak anda kepada kami. Pompong pun mulai dihidupkan. Lambaian tangan dari anak-anak untuk orang tuanya semakin kuat. Dan perlahan kapal kayu itu meninggalkan pelabuhan Titi Akar menuju Hutan Samak. Berbagai ekspresi tersirat dari wajah anak-anak. Ada yang tegang, ada yang senang, ada yang bingung, dan ada yang tidur. Bagi saya, apapun ekspresi kalian yang penting bersemengatlah karena jalan untuk menuju kota impian ( Jakarta) tinggal selangkah lagi. Setelah sekitar 20 menit mengarungi sungai maka tibalah kami di pelabuhan Hutan Samak yang sangat sederhana dan cenderung reot (banyak kayu yang mulai bolong-bolong). Satu demi satu mereka naik melalui jembatan papan darurat dan berjalan menuju SDN 4. Mungkin diantara kontingen yang lain, SD kami yang paling heboh. Bagaimana tidak? Selain karena hampir di setiap baju kami tersemat pin kebanggaan dari KPK “jujur itu hebat” jumlah kami juga cukup menjadi perhatian warga kampung: 16 siswa ditambah 6 guru termasuk saya. Sebelum mengerjakan soal semifinal, para peserta dikumpulkan di dalam satu ruangan. Layaknya training mereka akan dibuat santai terlebih dahulu melalui ice breaking yang dilanjutkan dengan perkenalan mendalam antara satu sama lain. Kami (para pengajar muda) tidak ingin melihat semifinal ini hanya dari sudut kompetisi, jauh lebih dari itu semifinal ini adalah ajang untuk menambah kawan dan memperluas pergaulan. Tampak jam sudah menunjukkan waktu yang sudah direncanakan. Sekarang para peserta digiring masuk ruangan dan bersiap menghadapi perjuangan kedua. Kurang lebih selama 2 jam mereka bergelut dengan soal-soal tersebut. Hening, tenang, tanpa suara. Sembari menunggu para siswa, para guru berkumpul dan beramah tamah. Waktu habis! Itulah himbauan dari penjaga ruangan. Satu persatu lembar jawab dikumpulkan. Semuanya tenang dan lega kecuali 1 siswa saya yang tiba-tiba menangis. Saya hampiri dia dan ternyata dia menangis karena belum selesai. Tidak lebih dari setengah nomor yang ia jawab. tangis makin menjadi ketika teman-teman sebelahnya mulai mengejeknya. Saya tidak pernah mengira dia bakal nangis, mengingat diantara yang lain dia terlihat cukup tangguh dan percaya diri. Namanya Adi, siswa kelas 2 di SD saya yang juga merupakan cucu keponakan mamak. Kelegaan para peserta semakin terlihat ketika satu persatu mereka menerima lontong pecel sebagai hidangan makan siang. Setelah acara foto bersama, kami pun bertolak dari Hutan Samak menuju Titi Akar. Kembali pompong pak Kedut sudah bersiap mengantar kami mengarungi sungai. Saat pulang ini, adalah saat yang paling menegangkan dan tidak pernah saya prediksi. Penumpang pak Kedut ternyata tidak hanya rombongan SD kami, tapi juga kontingen dari SD lain, dan beberapa warga yang juga ingin menyeberang, bahkan salah satu dari mereka membawa turut serta hondanya (motor). Alhasil, pompong menjadi penuh dan saya duduk paling ujung dengan kaki terlipat erat. Selama perjalanan bisa ditebak, pompong melaju dengan goyang-goyang miring ke kiri dan kekanan. Saat itu yang saya pikirkan hanya keselamatan para siswa dan respon orang tua mereka jika tahu pompong ini karam. Saya juga membayangkan siapa yang akan direlakan dan siapa yang akan diprioritaskan. Dan parahnya ini perahu kayu, tidak ada fasilitas pelampung atau sejenisnya. Meski saya tahu Pak Kedut sudah mengelola angkutan laut tradisional ini bertahun-tahun (meski saya belum tahu sertifikasinya) tapi segalanya itu bisa sangat mungkin terjadi. Oke, saya harus berkosentrasi untuk berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan Allah mewujudkannya. Pompong pun mulai merapat menuju pelabuhan. Tampak beberapa orang tua murid melambaikan tangan menyambut anaknya. Mereka tersenyum lebar. Saya pun lega. Kini saatnya pembayaran transportasi ke Pak Kedut, 80 ribu saya serahkan dan dikembalikan 30 ribu. Pak Kedut hanya tersenyum. Saya memang mengenalnya lebih dekat. Tapi saat itu juga saya membuktikan apa yang orang sering bilang tentangnya: Jujur dan Baik Hati. Perjalanan mengantar anak-anak untuk melaksanakan perjuangan selesai sudah. Sekarang saya dan mereka tinggal berdoa meminta kemurahan yang kuasa untuk senantiasa memudahkan langkah menuju final di ibu kota: Jakarta. Semoga. Aamiin Semangat anak-anak, apapun hasilnya kalian adalah yang terbaik!

Cerita Lainnya

Lihat Semua