info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menenun Indonesia

Wildan Mahendra 2 April 2011
Selama bertugas di Bengkalis mungkin sudah 5 kali saya menghadiri pesta pernikahan. Di setiap pesta ada saja yang membuat saya berdecak kagum, kalau tidak dari dekorasinya, hiburannya, dan tentu saja makanannya. O ya, rata-rata di setiap pernikahan saya hanya berlaku sebagai undangan. Datang, duduk, makan, senyum-senyum, salaman, nyumbang, dan pulang.  Sebuah prosesi wajib. Kali ini sangat jauh berbeda, saya benar-benar terlibat langsung dalam sebuah acara pernikahan dari awal hingga akhir. Mulai dari rapat hingga pelaksanaan. Mulai dari urusan dapur hingga hingga dokumentasi. Jangan berpikir macam-macam dulu, bukan saya yang menikah melainkan kakak hostfam saya yang bernama kak Mawar. Pertengahan Maret yang lalu tepatnya tanggal 13, dia resmi menjadi milik orang lain. Sama seperti sebelumnya, pernikahan juga membuat saya berdecak kagum. Salah satunya adalah tentang latar belakang calon pengantinnya. Pernikahan lintas budaya memang bukan hal yang aneh lagi di dusun tempat saya tinggal. Sudah banyak yang melakukannya, baik antara akit dengan jawa, cina dengan akit yang akhirnya melahirkan sub suku baru yaitu cina akit, melayu dengan jawa, batak dengan akit, dan sebagainya. Pernikahan kak Mawar ini terbilang unik karena merupakan pernikahan lintas budaya pertama yang mungkin sebagian orang di dusun kami tak akan pernah membayangkan terjadi. Ya, kak Mawar yang notabene jawa melayu menikah dengan pria asli betawi. Pertama kali saya bertemu dengan calon pengantin laki-laki—apalagi bapaknya—saya langsung langsung teringat film si Doel. Pasalnya, mereka benar-benar masih sangat betawi. Bahkan saking betawinya, banyak dari anggota keluarga kami yang kadang tidak mengerti apa yang dibicarakan (informasi ini baru saya tahu dari obrolan bapak dengan tetangga). Terlepas dari itu, ini merupakan pengalaman yang sangat menarik, saya hampir tak pernah membayangkan seorang anak metropolitan datang ke pedalaman bukan untuk KKN atau mengikuti program seperti saya, melainkan untuk meminang seorang gadis. Oke, empat jempol untuk pria ini. Jujur, sampai pada saat acara berlangsung saya masih bingung mereka menikah menggunakan adat apa? Betawi, Jawa, Melayu, atau gado-gado? Ya, ternyata jawaban atas pertanyaan itu pun sampai sekarang belum saya temukan. Disebut Jawa, tidak ada pernikahan adat Jawanya sama sekali (seperti midodareni, menginjak telur, lempar-lemparan pinang, dan sebagainya) tapi ada sesi dimana mereka—pengantin—menggunakan baju Jawa. Disebut Betawi juga bukan tapi ada kembang api dari kertas yang biasanya sering saya lihat untuk menemani ondel-ondel “ngibing” dan juga silat khas betawi. Disebut Melayu juga bukan karena dari dekorasi pengantinnya saja sangat tidak Melayu, karena hanya terdiri satu warna yaitu nuansa ungu (sedangkan yang saya tahu Melayu itu berwarna-warni) tapi anehnya ada prosesi tepung tawar. Tepung tawar itu adalah sebuah acara bagi para orang tua untuk memberikan doa restu kepada anaknya (sang pengantin) dengan mengibas-ngibaskan daun pandan yang sebelumnya dicelupkan dalam tepung tawar. Prosesi ini kemudian diikuti dengan menaburkan beras kuning dan bunga-bunga ke sekujur tubuh pengantin terlebih telapak tangan yang sudah diberi inai. Sayang, untuk makna tiap taburannya saya belum mengkonfirmasi lebih lanjut. Maaf. Terlepas dari itu semua, ketika melihat pernikahan itu saya merasa bangga dan bahagia bisa menjadi bangsa Indonesia. Bangsa yang kaya suku, adat, dan budaya. Menakjubkan. Saya membayangkan mungkin inilah visualisasi lain dari apa yang dikatakan kak Anies Baswedan tentang menenun Indonesia. Seketika itu saya benar-benar merasakan bahwa Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau begitu sangat dekat satu sama lain. Layaknya kain tenun, semua bergumul dalam sebuah ikatan kuat yang terbentang indah memesona. Dan itulah Indonesia. Lamunan saya tersadarkan ketika rombongan Reog Ponorogo dari desa sebelah telah siap menghibur para undangan yang mulai berdatangan. Terkait Reog ini saya akan bercerita lebih lanjut pada tulisan khusus berjudul Reog di Perbatasan. Selamat buat kak Mawar dan Bang Basori, sebuah lompatan sejarah telah kalian torehkan dari dusun ini, Titi Akar, Rupat Utara.

Cerita Lainnya

Lihat Semua