Melepas Mawar

Wildan Mahendra 2 April 2011
Seminggu paska pernikahan kak Mawar, merupakan saat-saat yang menyedihkan. Setidaknya bagi saya dan keluarga. Dengan berat hati kami harus melepas Kak Mawar yang harus ikut suaminya tinggal dan menetap di Jakarta. Di pelabuhan sambil menunggu speed yang akan mengantar Kak Mawar ke Dumai, segala kenangan tentang Kak Mawar hadir kembali. Pertama mengenalnya saya mengira dia hanya seorang gadis desa biasa. Sama seperti yang lain, hanya setia bergumul dengan segala rutinitas dapur. Sangat ramah, sopan, dan masih memegang adat. Beberapa hari di awal saya tinggal di rumah ini, hampir bisa dihitung jari saya bisa melihat wajahnya. Jika tidak di dapur, ya di ruang belakang ketika ia memberikan les Bahasa Inggris kepada anak-anak keturunan Tiong Hoa yang tinggal di dekat pelabuhan tepat jam 2 siang. Saya penasaran, siapa sebenarnya dia. Hampir setiap hari saya tidak punya kesempatan untuk mengobrol lebih dekat dengannya. Saya berharap saya bisa mengobrol ketika makan, tapi ternyata disini adatnya berbeda. Laki-laki harus didahulukan, baru setelah itu perempuan. Oke, saya tidak mau dan tidak minat melanggar adat apalagi posisi saya saat itu sebagai pendatang baru yang sedang mengatasi “jetlek” (cek tulisan saya di awal yang berjudul maju atau mundur). Butuh sekitar dua mingguan akhirnya saya berhasil juga mengobrol dengannya lebih dekat. Saat itu kebetulan kami semua memang sedang dalam keadaan santai. Singkat cerita, obrolan itu membuat kami akrab. Dan baru saya tahu bahwa dia ternyata sangat humoris dan “bocor”. Lama kelamaan informasi tentang dia terungkap. Kak Mawar ternyata merupakan sarjana bahasa Inggris dari Universitas Islam Negri Riau angkatan 2003. Dia juga aktivis di Pemuda Islam Indonesia. Pengalamannya juga cukup luas, pernah mewakili organisasinya ke Jakarta. Oke, saya berhadapan langsung dengan seorang intelek. Dia merupakan salah satu dari sedikit gadis desa yang mampu belajar hingga perguruan tinggi di ibukota provinsi. Tidak banyak anak gadis seperti dia, rata-rata hanya berakhir di tingkat SMA ataupun jika ada yang kuliah paling jauh di bengkalis atau dumai. Jujur, banyak pelajaran hidup yang saya ambil baik dari ucapan maupun kesehariannya. Sama seperti mamak dan bapak, di memberikan hikmah melalui teladan, tidak banyak berkata-kata namun bertindak, rendah hati dan juga bijak. Keinginan terakhir yang sempat ia utarakan dan masih saya ingat sampai sekarang yaitu ia ingin melanjutkan master di Jakarta. Speed ternyata sudah di depan mata. Seketika itu saya tersadar bahwa perpisahan memang sudah diambang mata. Saya yakin pasti suatu saat saya akan pasti bertemu lagi dengannya entah kapan dan dimana. Saya bersyukur pernah mengenal kak Mawar. Saya berdoa semoga dia tetap menjadi kak Mawar yang saya kenal meski nanti mau tidak mau Jakarta akan memaksa dirinya untuk berubah. Terima Kasih kakak untuk semuanya, Selamat berjuang menaklukkan Jakarta, menembus pelita, menggapai asa...

Cerita Lainnya

Lihat Semua