info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Keputusan Bersama

Wildan Mahendra 2 April 2011
  Hari ini merupakan pertemuan pertama paska mid semester untuk mata pelajaran PKn kelas 5. Materi kali ini membahas tentang Keputusan Bersama. Sejak membuat RPP di awal, saya memprediksi bahwa seperti yang sudah lalu materi ini hanya akan berakhir sebagai sebuah teori ataupun wacana bagi para murid. Tapi kenyataan di lapangan hari ini benar-benar jauh dari apa yang saya prediksi. Semua berawal dari ketidaksengajaan. Ditengah saya proses kegiatan belajar mengajar, Wulan salah satu murid yang terkenal kritis tiba-tiba mengadu. Dia mengadukan Muslih yang pindah tempat duduk. Dari yang semula dengan Tyo kemudian pindah dengan Rayhan. Singkat cerita, wulan berkeberatan dengan perpindahan itu. Awalnya saya menangkap itu hanya aduan belaka. Entah kenapa tiba-tiba datang “aha think” untuk mengorek lebih lanjut keberatan Wulan. Selidik punya selidik ternyata Wulan iri. Ketika dia pindah tempat duduk, tidak sedikit dari temannya yang protes. Tetapi ketika Muslih yang pindah dan saat itu tidak ada satu teman pun yang protes, dia mengajukan banding atas pendiskriminasian tersebut. (Ini bahasa saya sendiri untuk menggambarkan kondisi saat itu). Ok, saya berpikir ini adalah peluang. Bagai menemukan butiran emas di tengah jerami, saya menangkap inside lain dari kasus ini yang berkaitan dengan materi PKn yang sedang saya sampaikan. Tanpa menunggu lama saya langsung minta Sadid sebagai ketua kelas untuk memimpin musyawarah yang kebetulan saat itu kita sedang membahas tentang bentuk-bentuk pengambilan keputusan bersama. Dengan malu-malu Sadid maju. Di depan kelas dia hanya diam dan kebingungan sendiri bagaimana harus memimpin sebuah musyawarah. Akhirnya terpaksa saya kembali turun tangan untuk menuntun Sadid memimpin jalannya musyawarah. Dengan terpatah-patah, Sadid memulai musyawarah. Namun fokus masalah tiba-tiba menjadi berubah. Anak-anak lain malah mengejek cara Sadid memimpin muswarah. Satu demi satu meneteslah air mata Sadid. Ok, saya tidak akan memaksa Sadid dan cara terbaik adalah menyegerakannya untuk kembali duduk. Kurniawan sang wakil ketua kelas yang akhirnya saya minta maju untuk melanjutkan musyawarah. Sebenarnya kondisinya tak jauh beda seperti yang di alami Sadid, dia juga mendapat ejekan dari kawan-kawannya. Bedanya Kurniawan jauh lebih kuat, dia menghadapi ejekan tersebut dengan senyumannya yang bagi saya khas dan lucu. Kembali ke inti masalah tadi, musyawarah ternyata berakhir gagal. Kegagalan tersebut dikarenakan mereka takut untuk mengutarakan pendapat. Ketika diberikan pilihan apakah dalam kelas ini sistem pindah tempat duduk diperbolehkan atau tidak, mereka semangat untuk tunjuk tangan. Namun ketika di tanya alasan, mengapa boleh dan mengapa tidak? Mereka hanya bisa diam. Ketika ada satu yang mau berpendapat, langsung diejek oleh yang lain. Saya sebenarnya sedikit kecewa, mengingat baru beberapa menit saja saya menjelaskan kepada mereka tentang nilai-nilai yang harus dipegang dalam sebuah keputusan bersama, seperti kebersamaan, kebebasan berpendapat, persamaan hak, dan juga penghargaan terhadap pendapat orang lain ternyata hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Entah kenapa kondisi kelas saat itu langsung mengingatkan saya pada kondisi para elite politik negeri ini yang menurut saya selalu terlalu angkuh, arogan, dan selalu merasa benar. Saya berdoa semoga ketika kelak saya atau mereka (murid-murid) menjadi para pengambil keputusan di negeri ini, mereka jauh dari tabiat seperti itu. Saat itu juga saya tegaskan kepada mereka, bahwa materi yang dipelajari bersama jangan hanya ditulis, dibaca, dan dihafal saja, tapi jauh daripada itu harus mampu benar-benar dipahami, diresapi, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu, yang jelas saya berharap mereka benar-benar paham. Musyawarah yang berakhir gagal pun, pada akhirnya diganti dengan voting. Saya bersyukur anak-anak saat itu masuk semua, jadi memenuhi kuorum. Dengan dipimpin oleh Kurniawan dan dibantu oleh beberapa perangkat kelas, semua anak menuliskan pilihannya atas kasus perpindahan tempat duduk. Boleh atau tidak boleh. Metode penghitungan menggunakan turuspun dilakukan. Hasilnya 12 dari 15 orang menyatakan TIDAK BOLEH PINDAH TEMPAT DUDUK! Sekilas saya melihat wajah Wulan nampak sedih, tak apalah saya yakin ini merupakan salah satu fase dari Tuhan untuk mendewasakan mereka. Belajar menerima keputusan bersama, rela berkorban, dan berusaha ikhlas menjalankannya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua