Maju atau Mundur

Wildan Mahendra 8 Januari 2011
Setelah menunggu cukup lama dengan perasaan yang bercampur aduk, akhirnya keputusan relokasi keluar. Seperti yang telah direncanakan semula kami berenam akan dipindahkan ke Pulau Rupat dan Rupat Utara. Sebuah pulau kecil-kecil yang terletak di luar pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Malaysia. Bahkan ada yang bilang beberapa daerah di pulau ini masih menggunakan ringgit sebagai alat tukar. Jadi sangat pantas jika pulau ini bisa disebut pulau terdepan nusantara. Kadang-kadang saya membayangkan jika suatu saat antara Indonesia dan Malaysia terjadi perang, mungkin pulau ini akan menjadi sasaran utama. Semoga jangan terjadi. Bagi saya mendengar nama pulau Rupat apalagi Rupat Utara adalah hal yang baru. Sesuatu yang baru pasti menimbulkan banyak rasa penasaran. Begitu juga dengan daerah baru ini. Dengan bergaya ala detektif saya mencoba mengunmpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang pulau ini dari rekan-rekan di sekolah lama, hostfam, dan tentunya internet. Jujur, informasi yang saya dapat rata-rata malah membuat saya semakin stres. Meskipun ada yang membahagiakan juga seperti keindahan pantai pulau ini yang diselimuti pasir putih, ombak dan laut biru jernih. Tapi kebahagiaan itu ternyata hanya tentang kondisi alamnya asaja tidak untuk desa tempat saya akan tinggal dan mengajar selama lebih kurang 11 bulan kedepan. Nama desanya Titi Akar. Mendengar namanya saja sudah berasa merinding. Menurut informasi yang masuk, desa ini merupakan desa yang paling luas di Pulau Rupat Utara. Dihuni oleh kebanyakan suku asli yang bernama Akit. Suku ini sangat terkenal dengan kekuatan magisnya. Agama yang dianut yaitu semacam animisme dan dinamisme. Selain suku Akit di pulau ini juga terdapat suku jawa, batak, melayu, dan cina, namun jumlahnya minoritas. Sebenarnya yang membuat saya semakin tertekan adalah komentar orang-orang ketika mendengar saya akan mengajar di Rupat Utara, apalagi di desa Titi Akar ini. Hampir semuanya mempunyai pesan yang sama “hati-hati jangan makan dan minum sembarangan, waspada racun”. Kata mereka suku Akit memang terkenal dengan “santo”nya. Dalam istilah Jawa sering dikenal dengan santet. Jika di jawa santet menggunakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca (beling), dan lain-lain yang biasanya dikirim secara gaib ke perut manusia. Di sini santo (santet) biasanya dilewatkan makanan dan minuman melalui racun dengan berbagai bentuk. Alasan mereka melakukan itu--yang semakin membuat saya tidak terima--hanya untuk sekedar uji coba kekuatan magis. Coba anda bayangkan? Uji coba yang menurut saya gila karena mengancam nyawa seseorang. Sebenarnya saya sudah sering mendapat petuah semacam itu ketika saya masih tinggal di Ketam Putih. Di sana, mereka menyebutnya dengan istilah “benda kotor”. Namun nasehat ini datang hanya dari segelintir orang, jadi cenderung saya anggap itu hanya tahayul belaka dan saya abaikan. Tapi kali ini berbeda, hampir semua orang mengatakan hal yang sama, bahkan untuk orang yang saya tidak kenal sebelumnya, mereka mempunyai pesan yang sama. Tidak sedikit dari mereka yang juga memberikan tips. Salah satunya dari seorang nenek keturunan Cina pemilik toko bangunan tempat saya membeli sepatu boot, “...jika mau minum lihat dulu apakah wajah kita nampak di air atau tidak, jika nampak berarti itu boleh diminum dan jika tidak itu ada racunnya.” Salah satu sahabat pengajar muda  juga berpesan “...sebelum minum biasakan mengucapkan bismillah, jika memang minuman itu ada racunnya maka gelas itu akan pecah dengan sendirinya.” Terus terang ketika berada di Dumai—tempat transit sebelum menuju Rupat utara--saya berada dalam keadaan yang sangat tertekan apalagi dengan menunggu keberangkatan ke pulau rupat yang semakin diundur-undur dari jadwal semula karena menunggu angin dan hujan lebat reda. Saat itu cuaca memang sangat buruk, jadi supir pompong (sebutan untuk kapal kayu bermotor) yang akan kami tumpangi tidak berani mengambil resiko. Mengingat air laut yang pasang dan gelombang yang cukup tinggi. Ketika mengantar Roy dan Rangga—pengajar muda yang ditugaskan di pulau Rupat di desa Pangkalan Nyirih dan Sungai Cingam--dengan cuaca yang cenderung lebih baik saja, air sempat masuk ke badan pompong karena kerasnya gelombang. Apalagi saat seperti ini, kata supirnya terlalu beresiko karena yang dibawa anak manusia (dalam hati ingin bicara dengan lantang “yaiyalah...”). Bahkan kapal yang mengangkut barang-barang kami saja tidak tiba pada waktunya, mereka harus berhenti di sebuah pelabuhan. Dalam fase tertekan itu saya hampir tidak bisa istirahat semalaman. Perasaan bercampur aduk seringkali disertai keringat dingin mendominasi kondisi saya saat itu. Bahkan sempat terlintas di pikiran saya untuk mundur dari program ini dan kembali ke Jakarta secepat mungkin. Saat itu saya tidak berpikir panjang, di pikiran saya hanya ada dua pilihan menelpon pihak Indonesia Mengajar untuk mengundurkan diri atau tetap bertahan dengan resiko kematian yang tinggi. Saya terus berusaha mensugesti diri untuk tetap tenang dan berpikiran positif, tetapi saya tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa informasi-informasi tentang Akit, terisolir, dan Titi Akar masih terngiang-ngiang bahkan semakin lekat mendalam. Ketakutan itu terus menghantui. Saya hanya bisa pasrah dan tak henti-hentinya berdoa memohon perlindungan kepada Allah. Air mata pun tak bisa saya bendung lagi. Selain pasrah yang membuat saya masih bertahan dan memutuskan untuk memilih bertahan menghadapi semua ini adalah kata-kata dari ibu saya “hidup dan mati itu di tangan Allah, niatkanlah jihad di jalanNya, insyaAllah sahid”. Saya juga semakin kuat ketika saya kembali mengingat wajah lima puluh pengajar muda lain yang sama-sama berjuang menghadapi tantangan yang mungkin jauh lebih berat dari saya. Wiwin, Patria, Mansyur, dan semuanya teima kasih banyak. I Love You All So Much. Apalagi ketika mengingat kembali dukungan dari berbagai pihak yang menaruh harapan besar pada kami para pengajar muda. Saya tentu saja tidak bisa mematikan itu semua hanya karena ketakutan yang belum terbukti ini. Ungkapan kak Anies juga senantiasa terngiang “we are not alone”. Akhirnya, Bismillahirahmanirrahim saya semakin mantap untuk maju, bertahan, dan melawan rasa takut ini. Setelah empat hari menunggu di Dumai, akhirnya kami menyebrang juga. Tapi tidak jadi naik pompong melainkan naik speed yang menurut fasilitator kami cenderung lebih aman. Cuaca saat itu memang belum reda, angin dan mendung masih sesekali hadir. Perjalanan menuju Titi Akar bisa dibilang cukup membosankan, karena selama kurang lebih dua jam kami harus duduk, diam, dan mendengarkan satu album lagu dangdut dari Meggy Z yang diputar berulang-ulang dan sangat keras. Hiburan kami mungkin hanya melihat pulau-pulau kecil yang cantik lengkap dengan pasir putih, hutan bakau, dan air biru jernih namun sayang tak berpenghuni. Saya membayangkan mungkin pulau-pulau seperti ini yang sering diperjual belikan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Di tengah perjalanan kami juga sempat mendengar cerita tentang pulau hantu dimana banyak nelayan ataupun speed selalu berusaha keras untuk menghindari lewat pulau itu. Ada juga cerita tentang manusia lumpur yang suka memperkosa wanita. Cerita-cerita itu jujur membuat saya semakin merasa merinding, padahal Titi Akar sudah hampir di depan mata. Sesampai di desa ini, ketakutan langsung pecah berkeping-keping apalagi ketika bertemu dan melihat keluarga baru yang sangat hangat dan bersahaja. Entah kenapa saya langsung merasa akan nyaman (krasan) hidup 11 bulan dengan keluarga baru ini. Sebelum masuk dusun Suka Damai tempat saya tinggal, saya memang harus melewati Dusun Mak Dewa tempat suku Akit tinggal. Perasaan curiga dan takut sempat menghinggapi saya lagi, tapi ketika masuk dusun Suka Damai apalagi rumah baru saya, perasaan itu pecah seketika. Mengapa perasaan nyaman langsung menghampiri saya ketika pandangan pertama dengan keluarga baru ini? Bagaimana ketakutan yang sempat membuat saya sangat tertekan tadi langsung pecah begitu saja? Apa istimewanya keluarga ini? Bagaimana sekolah baru saya, salah tempat lagi atau tidak? Ikuti cerita saya selanjutnya... Suka Damai, Titi Akar, Rupat Utara, 21 Desember 2010 Ditulis di sore hari ditemani suara kicau burung dan gerombolan angsa, tentunya dalam rasa syukur yang masih bertubi-tubi...


Cerita Lainnya

Lihat Semua