GuRu

Wildan Mahendra 24 November 2010
Suatu sore di tengah istirahat setelah penat melakukan perjalanan dari Bengkalis menuju Ketam Putih, salah seorang sahabat pengajar muda nun jauh di seberang pulau sana menelpon saya. Saya kaget karena beberapa hari belakangan ini saya sering membicarakan kondisinya, apalagi setelah perasaan salah tempat yang saya alami. Seperti biasa mengobrol dengannya adalah hal yang menyenangkan. Kami saling bertukar cerita tentang sekolah dan lingkungan masyarakat tempat kami mengajar. Mendengar ceritanya, hanya kekaguman yang saya rasakan. Dia ditempatkan di sebuah kampung yang berada di atas laut. Bisa dibayangkan bahwa daerah itu hanya bisa diakses oleh perahu yang tidak selalu hadir setiap hari. Singkat cerita, ia mengajar di sebuah sekolah dengan jumlah siswa yang menyerupai piramida. Saya lupa berapa angka pastinya, yang jelas semakin tinggi kelasnya semakin sedikit pula jumlah siswanya. Di tengah saya membayangkan, dia menambahkan bahwa jumlah gurunya pun juga terbatas. Dari 6 rombongan belajar gurunya hanya 6 orang. Kebanyakan dari mereka bertempat tinggal di kota dan menurut sahabat saya mereka jarang mengajar di sekolah. Kalaupun mengajar hanya seminggu dalam beberapa bulan. Otomatis, di sekolah itu sangat amat kekurangan guru bahkan bisa jadi tidak ada guru. Sambil bercanda, saya mengatakan padanya bahwa kehadiran dia ternyata tidak hanya sebagai pengajar muda saja, tapi juga kepala sekolah, tata usaha, dan sekaligus penjaga sekolah. Dengan gelak tawa yang khas dia setuju dengan pendapat itu. Selain kondisi yang sangat ekstrem tersebut, bagian yang masih saya ingat sampai sekarang adalah di sekolah itu tidak pernah ada upacara bendera resmi di lapangan. Upacara selalu dilakukan di kelas dengan hanya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pembacaan Pancasila. Jauh berbeda dengan upacara di sekolah saya yang tidak hanya lengkap tapi juga menggunakan drum band sebagai pengiringnya. Pernyataan terakhirnya yang juga menginspirasi dari telpon sore itu adalah “...saya sudah nyaman, di sini ladang amal terbuka lebar...”. Hebat dan salut yang hanya saya utarakan padanya. Setelah puas bercerita panjang lebar, saya akhiri telpon itu dengan doa, semangat, dan kekaguman yang amat mendalam untuknya sambil membayangkan tentang kondisi sekolah baru saya yang akan diputuskan minggu depan. Berharap tidak salah tempat lagi. Obrolan sore itu masih terbayang-bayang di kepala hingga menggoda saya untuk berpikir lebih dalam dan nakal. Jika tidak ada program Indonesia Mengajar, apakah saya atau sahabat saya tadi bahkan pengajar muda lain mau merelakan dirinya menjadi guru di daerah terpencil seperti kondisi di atas? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab secara emosional atau terburu-buru tentunya. Terlepas jawabannya ya atau tidak, saya baru menyadari bahwa menjadi guru itu bukanlah hal yang mudah. Tantangan yang dihadapi tidak hanya dari dalam tapi juga dari luar. Dari dalam, tuntutan untuk menjadi guru berkualitas datang dari berbagai arah termasuk pemerintah. Berbagai program dicanangkan untuk mewujudkan ambisi itu (guru berkualitas) mulai dari program sertifikasi guru dengan syarat yang cukup rumit hingga penerapan sistem pembelajaran canggih yang menganjurkan guru untuk menggunakan bahasa Inggris dalam mengajar mata pelajaran. Tuntutan guru seakan tidak ada habisnya. Jujur, saya sangat mendukung program ini tapi saya tidak setuju ketika berbagai prosedur untuk memenuhi berbagai program ini pada akhirnya malah mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas dan dilakukan sebatas hanya formalitas belaka. Sepengamatan saya, tidak sedikit guru yang mulai absen meninggalkan kelas hanya untuk mengurus sertifikasi misalnya. Berbagai prosedur yang rumit membuat mereka (guru) lebih terkonsentrasi pada program sertifikasi yang sepengetahuan saya jika lolos guru akan menerima gaji hingga 3 kali lipat. Permasalahan semakin jelas apalagi ketika salah satu syarat sertifikasi tersebut seperti karya ilmiah seringkali dipenuhi dengan cara jual beli atau memanfaatkan karya dari siswa. Ironis. Terlepas dari hal tersebut, guru juga harus menghadapi tantangan dari luar. Menurut penuturan salah satu guru di sekolah saya, ketika seorang guru sudah diangkat menjadi PNS berarti secara otomatis siap ditempatkan dimana saja termasuk daerah terpencil seperti tempat sahabat saya di atas mengajar. Dari penuturan itu dapat disimpulkan bahwa guru juga harus siap menghadapi kondisi sosial yang berubah-ubah. Interaksi yang sangat intens dengan murid memaksa guru untuk selalu paham akan adat dan budaya tempat ia mengajar. Termasuk di dalamnya karakter murid, latar belakang ekonomi sosial murid, hingga tingkat kecerdasan murid yang rata-rata bervariasi. Kondisi itu pula yang saya dan 50 pengajar muda lain rasakan saat ini. Mengajar sekaligus belajar. Bagi saya, guru tetap profesi yang paling mulia. Terlepas dari berbagai karakter guru yang bermacam-macam, saya salut pada orang-orang yang telah memilih profesi guru sebagai jalan hidupnya. Saya dan 50 pengajar muda yang sedang berjuang di sudut-sudut Indonesia sana kiranya perlu banyak bersyukur karena diberi kesempatan untuk ‘mencicipi’ panis getirnya menjadi guru selama setahun kedepan. Meski nantinya tidak semua dari kami pengajar muda akan menjadi menjadi guru, namun pengalaman menjadi guru selama setahun tentu akan membekas di tiap sanubari kami. Menjadi bekal bermanfaat bagi kami untuk mengambil keputusan kelak demi sebuah kebermanfaatan khalayak. Menjadi pengalaman terindah untuk dijadikan pijakan dalam melihat sebuah masa depan. Mengingat bangsa ini juga dirintis oleh para guru, sebut saja Soekarno dan Hatta, kami memiliki harapan yang sama. Salut untuk semua guru dimanapun kalian berada. Doa yang tulus dan mendalam senantiasa terlimpahkan untukmu guruku. Semoga Tuhan melimpahkan kemuliaan bagimu di dunia dan akhirat. Selamat hari guru... Ditulis di malam persiapan upacara hari guru di Kabupaten Bengkalis (24/11/2010, 20:54)

Cerita Lainnya

Lihat Semua