Kejutan dan Pelajaran

Wildan Mahendra 10 Januari 2011
Mohon maaf jika membuat cerita ini jadi seperti serial, tidak ada maksud apa-apa melainkan hanya ingin mempertahankan rasa syukur atas segala apa yang dianugerahkan Allah pada saya, agar tetap terjaga sepanjang nafas ini berhembus. Agar anda semakin tidak penasaran, saya lanjutkan saja ya ceritanya. Tibalah saya di Dusun Suka Damai, Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara. Dengan ditemani Nesia, Pipit, Agus, dan tentunya fasilitator terbaik kami Mas Dasuki, saya menuju rumah baru untuk menemui keluarga baru yang akan menemani hidup saya 11 bulan kedepan. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi pekarangannya bisa dibilang bisa untuk main sekitar 11 pertandingan bola. Anda bisa membayangkan? Lengkap dengan pepohonan dan ternak beraneka ragam. Mulai dari angsa, bebek, ayam, kucing yang gemuk dan beraneka warna, kambing, sapi, hingga burung. Oke, dalam hati, saya berucap bahwa ini adalah tantangan baru bagi saya yang sebenarnya merupakan tipe orang yang kurang nyaman satu atap dengan binatang. Itulah kejutan pertama yang saya temui setiba di rumah ini. Kejutan berikutnya hadir sore harinya ketika saya mulai bertanya dimana letak kamar mandi di rumah ini. Bagi saya kamar mandi adalah hal yang tak kalah penting. Kamar mandi secara tidak langsung akan menentukan kesehatan kita terutama terkait sistem metabolisme. Jika kamar mandinya bersih tentu kita akan merasa nyaman untuk melakukan kegiatan buang air besar secara teratur. Tapi jika kamar mandinya kurang bersih, menurut saya bisa dipastikan rasa ingin buang air besar itu hilang dengan seketika. Entah dalam psikologi apa nama gejala ini, tapi yang jelas hal ini terkait langsung dengan sugesti. Dan yang saya pahami sugesti terbentuk dari apersepsi (mohon jika salah harap dibetulkan). Kembali ke masalah kamar mandi, pertanyaan saya tersebut dijawab dengan entengnya oleh abang baru saya sambil menunjuk ke arah pekarangan samping rumah. Ow,ow. Jadi saya harus mandi dan buang air di luar. Dengan hanya ditutupi papan kayu berukuran kurang lebih 2x2 m, atap yang terbuka dikelilingi pohon-pohon kelapa dan sumur tanah yang tidak saya ketahui kedalamannya. Mau tidak mau saya memberanikan diri untuk mencobanya. Satu kali, dua kali, sampai tulisan ini dibuat, saya pun mulai membiasakan diri dengan kondisi ini. Awalnya memang sangat sulit. Perasaan takut dan khawatir selalu menyelimuti setiap saya mandi, mengingat tempat itu cukup terlihat dari jalan. Buang air besar pun jarang saya lakukan. Jika saya memang benar-benar sudah tidak tahan, saya akan mencari masjid. Alternatif lain adalah mensugesti diri untuk melakukan “kegiatan” itu waktu di sekolah yang kamar mandinya cukup mendingan. Terakhir saya terus mensugesti diri untuk menikmati kondisi ini, tentunya sambil terus waspada dan membayangkan bahwa ini bagian dari “natural spa”, meski nyamuk tak henti-hentinya mengerubungi tubuh saya. Anda tentu bisa membayangkan bagaiman gigitan nyamuk kebun, bukan? Sakit dan gatalnya hingga berhari-hari. Sebenarnya alasan yang membuat saya bertahan adalah cerita wiwin tentang kondisi kamar mandinya yang tidak jauh beda dan mungkin jauh lebih parah daripada saya. Jika wiwin menggunakan jadwal waktu mandi dan sarung untuk solusinya, saya pun juga begitu tapi sarungnya diganti celana pendek. Sebenarnya di rumah ini juga tersedia kamar mandi dalam (yang juga dilengkapi sumur), tapi tempat itu lebih sering digunakan untuk mamak dan saudara-saudara perempuan saya. Tapi ketika saya merasa tidak aman dan tidak tahan, saya langsung gunakan saja kamar mandi dalam. Meski kejutan-kejutan di awal saya tinggal di rumah ini cukup menjadi shock therapy tersendiri, tapi hari demi hari saya lewati dengan penuh rasa syukur. Apalagi saya sudah mulai berinteraksi dan mengenal keluarga ini lebih dalam. Saya tinggal di rumah papan panggung seperti kebanyakan rumah di desa ini. Sama dengan tempat tinggal saya sebelumnya di Desa Ketam Putih. Bapak baru saya bernama Pak Syarif, seorang petani berusia cukup tua yang sangat ramah, hangat, dan bersahaja. Dan baru saya tahu bahwa ternyata dia adalah satu dari tiga tuan tanah di desa yang hampir ditinggali seluruh sanak saudaranya ini. Memang jika dilihat dari penampilannya, dia bukan orang yang berkecukupan (kaya). Dengan baju khas petani yang penuh lumpur, sepeda onthel tua, dan sepatu kebun, setiap hari beliau masih semangat pergi ke ladang mencari rumput untuk makan ternak-ternaknya. Tapi jika lihat pekarangannya, mungkin kita hanya bisa bilang Subhanallah. Mulai dari sawit, kelapa, karet, hingga padi lengkap tersedia. Untuk ukuran hektar pun mereka bingung menyebutnya. Bahkan MDA (Madrasah Diniyah Aliyah) dan SD tempat saya akan mengajar berdiri atas wakaf tanah dari beliau. Ini memberi pelajaran baru bagi saya untuk kembali mengatakan dengan lantang “Dont judge the book from the cover”. Tidak jauh beda dengan bapak, mamakpun juga seperti itu. Meski sudah cukup tua, tapi tetap enerjik dan rajin pergi ke ladang untuk mengurus padi-padinya. Sampai tulisan ini dibuat saya baru satu kali membantu mamak memanen padi yang sudah matang di ladang. Ladang mamak jaraknya memang cukup jauh dari rumah. Jika diantar memakai honda (disini mereka seringkali menyebut motor dengan honda--apapun merk motornya--atau kereta) pun hanya bisa berhenti di mulut hutan. Sebelum ke ladang kami memang harus melewati hutan dan kebun karet dimana kerajaan nyamuk bersarang. Apalagi saat itu sedang musim hujan, jangan pernah berani-berani melewati area itu tanpa memakai pakaian tertutup rapat jika tidak ingin jadi santapan empuk para nyamuk dan juga sepatu boot panjang agar aman berjalan di jalan berlumpur. Tapi aturan saya sepertinya tidak berlaku untuk mamak. Dengan hanya menggunakan daster dan sarung panjang plus sandal jepit mamak melangkah dengan santai dan lincahnya. Oke, ini semua hanya soal jam terbang. Maju terus Wild. Tapi perjuangan selama kurang lebih 10 menit menyusuri hutan itu segera terbayar dengan hamparan padi yang sudah menguning. Selain padi, di ladang juga terdapat gubug kayu tempat bapak dan mamak istirahat, makan siang, dan sholat dzuhur ashar (ishoma). Wah, selain suka bekerja keras mereka juga tidak lupa untuk beribadah. Pelajaran kesekian kalinya yang bapak dan mamak ajarkan secara tidak langsung kepada saya. Di samping gubug ada sebuah parit jernih dan dangkal yang sering digunakan Bagus (cucu mamak) untuk berenang. Meski menarik, saat itu saya memilih untuk tidak berenang karena melihat keamanan dan kenyamanan air parit itu yang membuat saya cukup ragu apalagi melihat ada endapan lumpur dibawahnya. Di sisi lain, saya membayangkan betapa bersyukurnya saya selama ini masih bisa berenang di kolam renang luas tanpa endapan lumpur. Sambil merenungi parit itu saya mulai berimajinasi jika suatu saat saya lagi kangen berat ingin berenang, setidaknya saya tahu dimana tempat melampiaskannya. Saatnya panen padi. Ketika mamak mulai mengajak beraksi, saya hanya bisa tersenyum. Jujur, saya belum tahu bagaimana cara memotong padi. Untung mamak sadar bahwa yang ada di depannya adalah seorang amatiran. Dengan sabar, mamak mengenalkan saya dengan alat yang mengagumkan, namanya “ani-ani”. Bentuknya seperti ‘cutter’ tapi terbuat dari paduan kayu, bambu, dan pisau yang cukup tajam. Mungkin sebagian anda bisa membayangkan? Maaf jika saya kurang pandai mengartikulasikannya. Dengan alat itu kita dapat memotong padi yang sudah matang dengan mudah layaknya memetik daun teh. O ya, sebelumnya mamak juga menjelaskan mana padi siap dipetik dan tak boleh dipetik. Padi yang siap dipetik biasanya yang sudah matang dan berwarna kuning, sedangkan padi yang tidak boleh dipetik warnanya hijau. Selain menggunakan ani-ani, petani juga sering memotong padi dengan menggunakan clurit, biasanya hasilnya lebih banyak meski menyisakan sampah batang yang juga tak kalah banyak. Intinya, kedua cara tersebuat ada kelebihan dan kekurangannya. Jujur, pekerjaan itu melelahkan dan membosankan. Sudah pasti bisa ditebak? Ya, saya akhirnya memutuskan untuk menyudahi pekerjaan itu. Dan mamak hanya bisa tersenyum melihat saya istirahat. Saya malu, belum penuh sekeranjang yang saya kumpulkan saya sudah pamit undur diri. Tapi saya berjanji dalam hati suatu saat saya akan kembali dengan ketrampilan lebih teruji tentunya membantu mamak memotong padi di ladang. Di perjalanan pulang saya mulai berpikir tentang perjuangan melelahkan seorang petani untuk menghasilkan sebiji nasi yang kadang sering tidak kita sadari. Subhanallah. O, ya padi-padi yang dipanen dari ladang mamak tadi pada akhirnya sebagian ada yang dijual dan ada juga yang disimpan di lumbung padi yang letaknya tepat di belakang rumah kami. Padi yang disimpan tadi untuk persediaan makan kami sehari-hari. Jadi bisa dikatakan keluarga ini hampir tidak pernah membeli beras. Hal itu juga berlaku untuk lauk makan sehari-hari. Mereka tinggal mengambil dari pekarangan di samping rumah. Pernah suatu ketika saya sahur—dan hujan turun dengan lebatnya—mamak berniat untuk mengambil telur dari kandang ayam hanya untuk tambahan lauk sahur saya. Padahal saat itu, menurut saya lauknya sudah cukup dan sangat enak. Rutinitas mamak tak hanya berhenti disitu. Sepulang dari ladang, mamak masih menyempatkan diri untuk ikut menyiapkan makan malam  kami dan mengajar mengaji Qur’an anak-anak sekitar selepas sholat maghrib. Jika ada diantara muridnya yang cara mengajinya salah atau kurang, mamak langsung marah. Metode pengajaran mamak memang masih konservatif dan sedikit otoriter, tapi dengan begitu murid-murid mamak dapat melafazkan kalam Ilahi ini dengan indah dan baik. Bahkan salah satu muridnya ada yang berhasil menjuarai MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) semacam lomba mengaji menggunakan tartil yang diadakan di tingkat desa. Ketika saya mencoba mendekati untuk mendengarkan mamak mengajar ngaji atau mengaji, mamak malah malu dan meminta saya untuk membetulkannya. Sikap rendah hati dan terbuka itu yang membuat saya semakin kagum dengan mamak. O ya, mamak saya bernama Asmiatun. Mamak dan bapak memiliki 7 anak, yang terdiri dari 4 putra dan 3 putri yang umurnya jauh di atas saya. Dari 7 anak tersebut yang tinggal di rumah ada 3 yakni kak Yun guru kelas 2 SD induk yang bersuami seorang Cina Akit mualaf, bang Misbah yang masih bujang dan guru olahraga di SD 8 tempat saya bertugas, dan kak Mawar sarjana bahasa Inggris yang insyaAllah bulan April tahun ini akan menikah dengan orang Jakarta dari suku betawi. Hampir semua anak mamak adalah sarjana, bahkan salah satunya ada yang S2 di salah universitas negeri di Riau. Tentu saja, ini adalah kejutan sekaligus kekaguman saya yang kesekian kali pada keluarga ini, meskipun mamak dan bapak tinggal di daerah pedalaman seperti di Titi Akar ini, tapi mereka berhasil mengantar anak-anaknya hingga jadi sarjana. Terlepas dari itu semua sambutan hangat dan bersahaja dari keluarga baru yang berlatar belakang jawa ini membuat saya jauh lebih nyaman dan aman dari berbagai ketakutan ataupun kejutan yang saya hadapi seperti di awal. Alhamdulillah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua