Lebaran IMLEK
Wildan Mahendra 21 April 2011
Bagi saya IMLEK tahun ini begitu berbeda. Jika sebelumnya saya tidak begitu perhatian dengan perayaan ini, kini mau tidak mau saya harus ikut merayakannya. Ya, di desa tempat saya tinggal sekarang, mayoritas masyarakatnya berasal dari etnis tiong hoa dan akit, dimana keduanya merayakan IMLEK. Libur nasional yang pada umumnya hanya 1 hari, khusus di desa kami diperpanjang hingga 3 hari. Mendengar hal tersebut, tentu yang bergembira tidak hanya para murid tapi juga para guru tak terkecuali saya.
IMLEK di desa ini benar-benar mirip hari raya Idul Fitri. Banyak para perantau yang mulai berdatangan di desa kami. Mudik. Pelabuhan hampir tak pernah sepi, apalagi mendekati hari H. Bahkan untuk mengatasi padatnya pemudik, speed boat yang pada hari biasa hanya beroperasi 2 kali, karena IMLEK mereka beroperasi 4 kali dalam sehari. Barang-barang pun datang silih berganti, mulai dari makanan seperti jeruk mandarin (di desa kami jeruk mandarin sering disebut jeruk limau) berdus-dus, kue-kue kering, minuman-minuman berkemasan yang rata-rata didominasi merk Malaysia hingga sembako yang stoknya besar-besaran. Hal itu terjadi karena masyarakat yakin pada saat IMLEK nanti tidak akan ada warung yang buka.
Tiga hal yang selalu saya ingat dari perayaan IMLEK adalah petasan, kue keranjang (di desa ini kue keranjang sering disebut kue bakul), dan ang pao. Hampir tiap malam saya mendengar bunyi petasan. Dari beragam jenisnya, yang paling saya suka hanya kembang api. Apalagi ketika malam IMLEK itu (mungkin di agama Islam sering dikenal dengan malam takbiran) saya benar-benar bisa menikmati spektakulernya kembang api besar yang dihidupkan dari vihara pinggir pelabuhan. Ya, di atas pompong di tengah laut bersama teman-teman. Saat itu kami memang sedang dalam perjalanan pulang dari tanjung medang ke titi akar. Suasana yang sempurna. Taburan bintang, kembang api, pompong, laut, dan teman-teman.
Bagi kami masyarakat muslim, IMLEK juga merupakan momen yang tepat untuk menunjukkan sikap toleransi hidup beragama. Keluarga (hostfam) saya menyempatkan diri untuk membuat kue kering yang nantinya akan dikirimkan untuk tetangga yang merayakan IMLEK. Begitu juga sebaliknya, para tetangga juga sibuk mengantar kue-kue dan jeruk limau buat kami. O ya untuk kue bakul yang saya ceritakan tadi. Sayang sekali pada IMLEK kali ini, masyarakat desa kami sepakat untuk tidak membuatnya. Hal tersebut dikarenakan ada salah satu anggota keluarga mereka dari etnis yang sama meninggal dunia. Saya belum tahu apa rasionalisasi dari hubungan keduanya, yang jelas ketika tetap dipaksakan membuat kue bakul hasilnya tidak akan maksimal. Istilah kasarnya, akan selalu gagal. Oke, ini adalah kepercayaan mereka yang harus dihormati.
Masih mirip dengan hari raya Idul Fitri, ketika IMLEK kami pun juga saling kunjung mengunjungi. Karena yang dikunjungi banyak, saya ada tips sederhana. Ketika disuguhi kue-kue kering, jangan makan terlalu banyak. Cukup satu hingga dua saja. Mengingat akan ada banyak kue-kue kering di rumah berikutnya (yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit). Sayang, tips itu baru saya dapat setelah saya kekenyangan karena makan kue yang terlalu banyak. Tips ini juga berlaku untuk minuman. Ketika IMLEK berbagai minuman berkarbonase akan siap menyambut kedatangan anda. Mulai dari rasa jeruk, strawberry, rasa coca cola (tapi agak sedikit lebih pahit) hingga rasa yang bening seperti sprite lengkap tersedia. Dan semua asli buatan tetangga sebelah: Malaysia.
Untuk masalah ang pao, bagi anda yang sudah menginjak remaja jangan pernah berharap mendapatkannya. Berdasarkan pengalaman saya berkeliling rumah, saya menyimpulkan ang pao hanya untuk anak-anak. Sedih memang. Tapi tidak masalah, kembalikan niat bahwa semua ini untuk silaturahim. Ya, setidaknya itu yang bisa menghibur diri anda (terutama saya) untuk terus melanjutkan “safari IMLEK”. Terlepas dari itu semua, perayaan IMLEK tahun ini memang benar-benar membawa pengalaman baru bagi saya. Meski tidak dapat ang pao, setidaknya melalui IMLEK saya bisa berkenalan lebih akrab dengan masyarakat mayoritas di desa ini. Mengakhiri perjalanan ini, dalam benak saya berharap ketika Idul Fitri besok semoga mereka juga akan melakukan hal yang sama. Gong Xi Fa Choi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda