info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kecepit Jengkol

Wildan Mahendra 15 Mei 2011
Saat berangkat sekolah ada yang berbeda dengan salah satu guru di SD kami. Jika biasanya beliau selalu berangkat menggunakan sepeda mini, hari ini beliau berganti menggunakan honda (nama yang sering digunakan masyarakat desa kami untuk menyebut sepeda motor dengan merk apapun). Saya yang pada dasarnya selalu penasaran, langsung bertanya ”wah hondanya baru ya bu?” dan beliau menjawab, “ndak pak wil, ini honda suami saya”. Saya semakin bingung, pertanyaan berikutnya saya lanjutkan “lah emang suami ibu ga ke sekolah?” beliau kembali menjawab “ga, hari ini dia ga ke sekolah, lagi sakit”. Makin penasaran, “sakit apa?” Beliau menjawab “kecepit jengkol”. Kecepit Jengkol ??? Menurut penjelasan ibu guru yang tadi telah saya interogasi, kecepit  jengkol adalah sebuah efek dari orang yang bekerja berat setelah banyak makan jengkol. Jadi begini, aturannya orang yang mengkonsumsi jengkol dalam jumlah besar tidak boleh langsung bekerja berat seperti mengangkat batu, mendorong gerobak, atau menimba air dari sumur. Harusnya ada jeda beberapa jam setelah makan jengkol. Reaksi dari kecepi jengkol ini kata beliau hampi mirim dengan “anyang-anyangan”. Jika ada berasal dari Jawa pasti tahu, bahkan mungkin pernah merasakannya. Jadi si penderita akan sering bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil (BAK). Sekali keluar air kencing sakitnya luar biasa. Nah, untuk kasus kecepit jengkol ini, tidak jarang rasa sakit itu disertai dengan keluarnya pasir. Saya tidak bisa membayangkan. Apakah mungkin mirip seperti jam pasir yang ada di kasir Mc’D ya? Penjelasan itu langsung membuat saya membayangkan ribuan jengkol yang ada di desa kami. Di desa tempat saya tinggal jengkol memang sangat melimpah ruah (jangan-jangan jengkol sudah menjadi bahan pokok). Apalagi di kebun mamak di belakang rumah kami, sepertinya jengkol tidak ada habis-habisnya dipetik setiap hari. Menurut informasi jengkol-jengkol ini selain dikonsumsi pribadi juga ada yang dijual ke Dumai. Hasilnya cukup lumayan, saya belum tahu berapa keuntungan pastinya tapi yang jelas cukup bisa diandalkan seperti karet dan sawit. Olahannya pun juga bermacam-macam, mulai dari digulai, digoreng, dioseng-oseng pedas, dibuat keripik, dicampur dengan sayuran lain, hingga dimakan mentah-mentah. Dan yang terakhir ini, sering dilakukan hostfam saya ketika makan pagi, siang, dan malam. Dari dulu saya tidak suka jengkol, meskipun diolah dalam bentuk apapun. Tapi melihat jengkol dengan berbagai macam olahan hampir setiap hari membuat saya tergoda juga untuk mencicipinya. Dan ternyata saya tetap tidak suka. Apalagi jika harus membayangkan baunya yang mendominasi di kamar mandi. Cukup menjadi alasan kuat saya tidak suka jengkol. Penggemar jengkol pun ternyata juga beragam mulai dari anak-anak hingga orang tua. Tapi anak-anak sekolah tidak sepercaya diri orang  tua dalam mengkonsumsi jengkol. Mereka biasanya malu jika mengkonsumsi jengkol pada hari-hari aktif sekolah apalagi untuk sarapan pagi. Mungkin si pemakan jengkol akan menjadi olok-olokan teman-temannya karena harum semerbak dari keluar mulutnya. Jadi beberapa anak memilih untuk mengkonsumsi jengkol pada saat short atau long weekend saja. Ya, bagaimana pun cara mereka mengkonsumsi dan dengan olahan apapun, saya mendoakan agar mereka tetap bisa terus masuk sekolah tanpa ada absen yang bolong karena alasan sakit, apalagi sakitnya karena kecepit jengkol. I wish.

Cerita Lainnya

Lihat Semua