G.A.R.A.N.G
Wildan Mahendra 2 April 2011
Beberapa hari ini anak-anak sangat sulit diatur. Tidak hanya saat jam pelajaran atau pramuka saja, waktu mau sholat ashar pun juga. Hampir setiap hari kami memang selalu melakukan sholat ashar berjamaah. Hal itu dikarenakan setiap senin hingga sabtu kecuali jum’at dari jam 14.00 hingga 16.30 mereka harus sekolah MDA (Masrasah Diniyah Aliyah). Jadi, mau tidak mau mereka harus sholat ashar di masjid dekat rumahku yang kebetulan berada di samping sekolah MDA. Saya tidak tahu mengapa sekarang mereka benar-benar susah diatur. Dulu mereka tidak seperti itu, benar-benar bisa dikendalikan. Kini mereka mulai berubah. Apakah ini karena hubungan kami yang terlalu dekat ya?
Pernah dalam sebuah sesi pelajaran, saya bertanya kepada mereka, sebenarnya apa yang mereka mau? Mengapa mereka sulit diatur? Mengapa mereka tidak mau menghargai orang lain? Dengan lugunya salah satu dari mereka berkata, “pak budak-budak ni minta dipukul saja” dan saat itu langsung saya balas “apa sebenarnya yang kalian mau dari bapak? apakah kalian mau bapak pukul pakai rotan?” dan kembali mereka menjawab “yaaaa pak, bapak kurang garang ga seperti pak A, kalau yang mengajar pak A semua diam”. Saya langsung diam, tak berkutik, tapi penuh emosi dan amarah. Saya benar-benar tak habis pikir, sementara di luar sana kami para pengajar muda sibuk untuk mempromosikan pendidikan tanpa kekerasan. Eh di sini (SD tempat saya bertugas) malah anak-anaknya minta yang dipukul pakai rotan.
Untung saat itu saya tidak tersulut emosi. Saya kembali menantang mereka “ apakah jika bapak pukul kalian akan berubah?” sebelum mereka jawab saya buru-buru untuk menjawabnya “bapak rasa tidak, kalian hanya akan takut sesaat kemudian kembali ramai, betul tidak?” dan mereka hanya diam. Hal ini juga terjadi ketika akan sholat ashar berjamaah. Shafnya berantakan dan anak-anak ribut sendiri. Kembali saya menantang mereka “apakah bapak perlu memanggil pak B agar kalian bisa diam?” mereka serentak menjawab “yaaaa”. Pak B ini adalah salah satu guru MDA yang memang terkenal garang. Saya kaget dan langsung bertanya kepada mereka “sebenarnya kalian ini mau sholat karena takut sama Allah atau pak B sih?” dan kembali mereka diam. Sebelum proses tantang menantang itu, sebenarnya saya sudah menerapkan teorinya pak Bobby tentang proses pembelajaran menggunakan isyarat (seperti: “halooo semua menjawab haaiii atau ayo semua pada hitungan 3 semuanya jadi patung 1..2..3...”) tapi hasilnya tidak bertahan lama.
Oke, saya harus ganti metode. Alhasil, teori empatilah yang saya terapkan. O ya terkait teori empati, saya punya cerita. Pernah dalam suatu pelajaran PKn kelas V, seperti biasa semua siswa ribut dan bising. Saya bertanya kepada mereka “ayo siapa yang mau jadi guru?”. Serentak ¾ siswa mengacungkan tangan. Kemudian saya meminta mereka untu memejamkan mata dan membayangkan bahwa diri mereka sekarang sudah berada di depan kelas untuk mengajar, tiba-tiba siswa mereka berlarian ke luar dan ribut sendiri. Saya meminta mereka untuk membuka mata dan mengutarakan apa yang dirasakan. Untuk kesekian kalinya mereka hanya diam. Entah dalam diam itu mereka sadar atau malah mengantuk. Yang jelas saya langsung ambil peran “tidak enak kan, tidak mudah kan, sulit tidak?”. Saya malah terperangkap dalam sesi curhat. Oke, teori ini belum berhasil alias gagal. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kondisi kelas berikutnya dan teori apa lagi yang akan saya gunakan. Yang jelas sampai kapanpun saya berjanji dalam diri untuk tidak akan “garang” apalagi hingga memukul anak selabil apapun kondisinya. Save our children without violent!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda