Benar-benar sibuk

Wildan Mahendra 21 April 2011
Beberapa minggu terakhir ini, saya merasakan dari ujung hingga pangkal desa, masyarakat benar-benar terlihat sibuk. Mulai dari membersihkan semak-semak dipinggir jalan hingga menambal jalanan yang berlubang-lubang dengan tanah liat dalam jumlah banyak. Benar-benar sibuk. Tak biasanya memang. Entah apa yang membuat mereka sibuk, jika benar hanya karena bupati akan datang membuka MTQ yang akan dilaksanakan besok, jujur saya katakan ini benar-benar menyebalkan. O ya, sekedar informasi saja tahun ini desa kami berkesempatan menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke IX tingkat kecamatan. Dan kegiatan itu akan dipusatkan di sekolah kami, SDN 8 Titi Akar tercinta. Saya bingung, harus gembira atau kecewa. Dilema. Di satu sisi ini merupakan kali pertama SD kami menjadi tuan rumah bahkan mungkin desa kami. Di sisi lain, kegiatan belajar mengajar menjadi sangat terganggu sejak ada persiapan acara ini. Apalagi anak-anak kelas VI yang tidak lama lagi akan melaksanakan UAS dan UAS-BN. Semenjak menyandang status tuan rumah, SD kami benar-benar sibuk. Jam belajar menjadi tidak normal. Anak-anak sering dipulangkan lebih cepat hanya karena salah satu kelas (lokal) digunakan rapat para “pejabat”. Belum lagi sekarang sebagian halaman sekolah kami telah disulap menjadi panggung (astaka) yang megah. Menurut penuturan pak camat, model panggung ini mirip dengan model panggung ketika acara MTQ di Thailand. Saya tidak peduli, mau model Thailand, Amerika, atau Mars sekalipun. Keberadaan panggung ini mengganggu istirahat anak-anak yang biasanya diisi dengan berlarian dan jungkir balik kesana-kemari. Belum lagi saat pengerjaannya, suara bising mesin pemotong kayu harus memaksa kami para guru harus berhenti sejenak dalam menjelaskan materi di kelasd. Jujur, saya tidak kuat jika harus berlomba teriak dengan suara mesin itu. Paku-paku yang berserakan pun juga sangat mengganggu keamanan anak-anak saat bermain. Oke, acara membuat hidup sekolah ini tidak normal. Tidak dapat dipungkiri, sekolah kami mungkin kini menjadi cukup terkenal. Hampir 3 kali dalam seminggu banyak orang mengunjungi sekolah kami. Tidak hanya para murid SMP yang akan gladi resik, atau masyarakat yang akan gotong royong membangun astaka (panggung), tapi para “pejabat” juga menjadi sangat sering ke “rumah” kami. Saya tidak tahu apa efeknya kelak buat sekolah kami kedepan, yang jelas untuk saat ini rasanya hanya MTQ yang menjadi pusat perhatian kami (kecuali saya). Bahkan saking benar-benar sibuknya, foto anak-anak kelas VI untuk ijazah belum tertangani hingga sekarang. Itu memang sepele, tapi tidak dapat disepelekan. Bukan begitu? Saya selalu yakin bahwa di setiap tantangan pasti ada peluang kebaikan. Begitu juga dalam konteks MTQ ini, hubungan saya dengan anak-anak terutama kelas VI menjadi semakin dekat. Hal itu dikarenakan mau tidak mau kami terpaksa harus bekerjasama menyelesaikan pengecatan perpustakaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Intensitas pertemuan menjadi cukup sering, dari pertemuan itu saya bisa lebih mengenal karakter masing-masing anak. Meski ada hikmahnya, saya merasa acara tahunan ini benar-benar merugikan sekolah kami. Sebenarnya masih banyak tempat di desa kami yang dapat digunakan, seperti lapangan, balai adat, atau kantor desa yang jujur jauh lebih lapang dari sekolah kami. Tidak harus di sekolah kan? Tidak harus mengganggu kegiatan belajar-mengajar kan? Tidak harus mengganggu persiapan UAS dan UAS-BN kan? Secara tegas saya nyatakan saya berkeberatan dengan lokasi acara bukan pada acaranya. Berita terakhir yang saya dapat, MTQ akan diundur jadwalnya dan terpaksa harus berbenturan dengan jadwal UAS. Mau tidak mau, kami yang harus mengalah untuk tetap bertahan di ruang kelas paling ujung. Saya tidak tahu dalam kondisi yang tenang atau bising. Berharap penuh agar anak-anak kelas VI tetap berkonsentrasi pada ujiannya. Biarlah ini menjadi tantangan bagi kita semua dalam perjalanan menuju pintu keberhasilan: LULUS. Terkait dengan kedatangan bupati seperti yang saya bicarakan di awal tulisan, saya benar-benar kecewa. Inikah model orang Indonesia yang sebenarnya? Berbuat jika ada orang yang mengawasi, bertindak jika ada orang yang lebih tinggi, dan melakukan jika baru ada perintah. Ya, semoga anggapan itu salah, saya berharap kesibukan mereka berbenah kampung memang dilandasi atas dasar kesadaran diri untuk menjadi lebih baik. Bukan karena bupati atau MTQ.

Cerita Lainnya

Lihat Semua