Belajar dari Pak Coti

Wildan Mahendra 21 April 2011
Siang itu tiba-tiba handphone saya berdering, setelah dicek ternyata nomer asing yang diawali dengan kode 021. Siapa ya? Wah ternyata mas Susilo dari Indonesia Mengajar. Singkat cerita, mas Susilo meminta saya untuk mewawancarai salah satu orang tua dari siswa yang lolos babak penyisihan pada Olimpiade Sains Kuark  (OSK) 2011 untuk dijadikan testimoni. Hal itu sehubungan dengan informasi bahwa sekolah saya merupakan satu dari sekian sekolah yang siswanya banyak lolos pada babak penyisihan OSK (baca tulisan saya sebelumnya yang berjudul The Miracle of 17 #1 dan #2). Saat itu saya bingung, semua siswa yang lolos benar-benar dari latar belakang suku yang beragam. Ada melayu, batak, jawa, akit, hingga cina. Dan semua menarik di mata saya. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan salah satunya tentang diaspora suku di Indonesia, saya memilih untuk mewawancarai salah satu orang tua dari siswa yang berasal dari suku akit. Nama yang tiba-tiba langsung muncul di pikiran saya  adalah Kur. Ya, Kurniawan siswa dari kelas V yang rajin dan rendah hati. Sebelum berangkat ke rumahnya, salah satu abang hostfam saya mengatakan bahwa orang tua Kur itu merupakan salah satu orang yang cukup ideologis. Saya tidak tahu apa maksudnya hingga saya tiba di rumah Kur yang sangat amat sederhana dan membuktikannya. Ya kedatangan saya memang cukup mengangetkan keluarga itu, apalagi Kur yang sedang asyik mengerjakan soal-soal latihan Matematika dengan ditemani bapaknya yang asyik mencukur jenggot sambil telanjang dada. Saya amati di rumah itu tidak ada teras apalagi kursi tamu, yang ada hanya pemandangan jala ikan yang sedang dijemur tepat di depan pintu rumah. Setelah memperkenalkan diri dan duduk lesehan disamping pintu masuk, saya baru tahu bahwa nama bapak Kur ini adalah pak Coti. Lengkapnya, Coti Gisanto. Nama yang unik khususnya untuk ukuran suku akit yang sangat gemar memilih 1 kata saja untuk nama anaknya, seperti ajun, apin, ayun, aan, dan sebagainya. Cara bicara sangat tenang, bersahaja, apa adanya, dan yang paling membuat saya kagum adalah kerendah hatiannya. Benar-benar jauh dari stigma cara bicara orang akit yang terkesan keras seperti sedang memarahi orang, cepat, dan cenderung tidak jelas apalagi untuk orang awam seperti saya. Beliau begitu berbeda, bahasa Indonesianya jelas, rapi, dan mudah dimengerti. Pertanyaan demi pertanyaan, beliau jawab dengan lugas tanpa basa-basi, membuat bulu kuduk saya makin berdiri. Satu jawaban yang saya ingat hingga sekarang dan akhirnya menjadi inti dari testimoni yang saya kirimkan ke Indonesia Mengajar adalah: “bagi saya lolosnya anak saya ke semifinal OSK ini merupakan sebuah bukti bahwa ada harapan yang lebih cerah untuk pendidikannya, apalagi sebagai orang tua saya ingin anak saya kelak bisa hidup lebih baik dari orang tuanya, semoga prestasi ini menjadi semangat bagi adik-adiknya untuk semakin rajin menuntut ilmu, jika melihat kondisi keluarga kami sekarang, rasanya hanya ilmu pengetahuan, pendidikan, pergaulan, dan kejujuran harta yang bisa kami wariskan.”  Saya bingung harus berkata apalagi. Diam. Saat itu saya benar-benar bisa membuktikkan komentar abang hostfam saya tentang pak Coti saat keberangkatan saya tadi. Dia benar-benar ideologis. Usianya 51 tahun, bekerja sehari-hari sebagai buruh serabutan, asli dari suku akit. Mungkin dia adalah orang pertama yang akhirnya memecahkan stigma saya tentang suku akit yang oleh banyak guru sering kali mendapat stempel “tidak pernah peduli pada pendidikan anaknya”. Memang ada beberapa dari suku akit yang tidak peduli (masih ingat cerita saya tentang “sepatu lubang buaya”), tapi sore ini saya katakan tidak berlaku untuk semuanya. Setelah saya menyampaikan salam abang hostfam saya kepada Pak Coti, saya pamit pulang. Dalam perjalanan selain semakin penasaran siapa pak Coti sebenarnya dan kenapa orang secerdas itu tak pernah nampak, saya juga semakin semangat untuk mencarikan Kurniawan beasiswa untuk bisa terus sekolah. Saya tidak mau nasib Kurniawan akan berakhir seperti Pak Coti. Dia harus bisa lebih baik. Sore itu, saya ceritakan kepada abang saya tentang pengalaman pertemuan saya dengan Pak Coti. Ada fakta baru yang saya dapat dari abang saya bahwa Pak Coti dulunya adalah seorang guru agama Budha, entah apa yang terjadi padanya sekarang ia kehilangan pekerjaan dan dikucilkan oleh masyarakat suku akit. Saya menebak itu pasti karena pemikirannya yang di luar mindstream. Di tengah rasa syukur saya pada Tuhan yang telah mempertemukan saya dengan Pak Coti, saya segera mengirim sms kepada kak Anies Baswedan untuk dicarikan beasiswa bagi anak-anak di pedalaman yang kurang mampu tapi cerdas dan masih bersemangat untuk bersekolah seperti Kurniawan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua