info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Festival Anak Sangihe

Widhi Wulandari 21 Februari 2014

"Apa nama Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe?", tanya seorang guru kepada murid-muridnya di sebuah Pulau Kecil yang masih merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe. Beberapa dari murid antusias mengacungkan tangannya. Lebih dari tiga orang murid menjawab bersamaan, berebutan, tapi tidak ada satupun yang jawabannya benar. Mereka pikir, pulau sebelah tempat para nelayan menjual ikan adalah ibukota kabupaten di mana ia tinggal selama ini.

Cerita di atas adalah sebuah potret nyata di mana anak-anak didik yang hidup di pulau kecil dalam wilayah seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak mendapatkan tempat yang sama dengan anak-anak didik yang hidup di pulau besar. Kondisi ini membuat anak-anak yang tinggal di pulau kecil kurang percaya diri, miskin informasi dan sering kali berkarya tanpa apresiasi.

Karena kondisi inilah, lahir sebuah ide untuk mengadakan ajang tahunan yang ke depannya diharapkan dapat menjadi wadah khusus bagi anak-anak yang tinggal di pulau kecil untuk memamerkan hasil karya, memertontonkan pertunjukan, bakat dan potensinya agar dapat diapresiasi lebih baik dan lebih luas. Selain itu ajang tahunan ini dirancang agar kelak dapat memberikan gambaran yang lebih luas bagi anak-anak bahwa hidup mereka tidak sekedar di pulau yang berbatas lautan, tetapi juga harapan masa depan yang terbentang di depan mata.

Ajang tahunan ini diberi tajuk Festival Anak Sangihe atau biasa disingkat FAS. Tahun ini FAS akan diadakan untuk ketiga kalinya. Gegap gempita FAS dua tahun sebelumnya terbukti dapat tersebar dan terasa oleh keseluruh entitas yang berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Dan kemeriahan FAS juga turut dirasakan oleh aku dan murid-muridku di Pulau Matutuang. Kepala Sekolah ditempatku mengajar, kembali memutuskan untuk ikut serta menjadi peserta FAS untuk yang ketiga kalinya. Kami memilih 16 orang murid yang terdiri dari siswa-siswi kelas 4,5 dan 6 yang akan menjadi perwakilan SDN.Matutuang di FAS 2014.

Pagi,siang dan malam murid-muridku dikala beberapa minggu menjelang FAS menjadi waktu-waktu yang sangat sibuk. Dari pagi sampai siang mereka latihan menari, menyanyi dan membaca puisi untuk pagelaran seni. Saat sore menjelang malam secara berkelompok mereka membuat kerajinan tangan berupa sapu lidi, hiasan dari kerang-kerang di pantai dan properti pawai budaya untuk ditampilkan pada pameran karya.

Disela-sela kesibukan kami, ada hal mengganjal yang sering kali terbersit. FAS 2014 diadakan pada bulan Januari akhir. Dan pada kenyataannya di bulan-bulan Januari sampai Februari cuaca serta kondisi laut di Kabupaten Kepulauan Sangihe sangat amat berombak dan berarus kencang, hal ini dipengaruhi akibat bertiupnya angin barat yang menyebabkan tidak adanya armada laut yang beroperasi. Tentu saja kami risau dengan kondisi ini, secara otomatis kami pun akan kesulitan menyebrangi lautan untuk menuju Ibu Kota Kabupaten (Kota Tahuna), guna mengikuti kegiatan FAS 2014. Jarak antara Pulau Matutuang dan Kota Tahuna dapat kami tempuh dalam waktu 15 jam perjalanan laut dengan menggunakan Kapal Perintis atau sekitar 7-8 jam perjalanan laut dengan menggunakan perahu bermesin.

Bukan hal yang mudah membawa 16 orang anak dengan 3 orang guru serta kepala sekolah menuju Tahuna. Ada jarak begitu jauh yang harus ditempuh, ada kondisi alam yang harus jadi perhatian dan tentu saja akan ada kerisauan dari para orang tua serta masyarakat di Pulau Matutuang yang akan menjadi tantangan.

Sadar bahwa tidak akan ada Kapal Perintis yang dapat dijadikan tumpuan harapan dan jika aku seorang diri tak akan mampu menghadapi tantangan tersebut, akhirnya satu minggu sebelum keberangkatan, kami menggelar rapat akbar. Pihak sekolah menggundang seluruh stake holder serta masyarakat di Kampung tanpa terkecuali. Dalam rapat itu aku menjabarkan A-Z mengenai FAS. Diakhir penjelasan, kami pun memohon perhatian dan bantuan seluruh peserta rapat guna memecahkan tantangan-tantangan yang akan hadapi sebelum FAS berlangsung di Tahuna.

Secara tak terduga, dari rapat yang berlangsung dalam waktu 2 jam dapat memunculkan berbagai solusi sebagai penyelesaian masalah keberangkatan anak-anak murid SDN.Matutuang untuk mengikuti FAS di Tahuna. Solusi tersebut diantaranya, ada 4 perahu bermesin milik warga yang siap mengantar anak-anak dan guru.Untuk menutupi biaya bahan bakar dan konsumsi anak-anak serta guru sebelum dan sesudah FAS,seluruh peserta rapat per KK menyumbang Rp.20.000,00, dana PNPM desa pun ikut disumbangkan, Komite Sekolah juga ikut menyumbang, dan yang paling menggembirakan adalah kepala sekolah yang awalnya sangat sulit mengeluarkan dana BOS, akhirnya mau memberikan dana BOS untuk keperluan peserta FAS serta mau menyumbang secara personal pula. Secara keseluruhan terkumpul dana sebesar Rp.4.670.000,00.

Akhirnya, rombongan pun berangkat 4 hari sebelum hari H acara FAS. Dengan penuh ceria dan suka cita kami berlayar dan konvoi di lautan, perahu satu dengan perahu lainya bergantian timbul dan tenggelam mengikuti arus ombak di lautan, langit yang biru cerah memarken kemegahannya turut menjadi teman selama perjalan. Jujur saja aku sempat menangis haru melihat pemandangan tersebut dari dalam perahuku. Dan tanpa terasa 8 jam pun berlalu, aku dan rombongan tiba dengan selamat sentausa di Tahuna.

Hingga tibalah waktunya berFAS ria. Dengan semangat yang tak kunjung padam sejak di pulau, ke-16 muridku mulai melakukan pendaftaran ulang di asrama tempat mereka menginap selama FAS. Mereka langsung disambut oleh undangan makan siang di Rumah Dinas Wakil Bupati, lucu sekali mereka saat itu, ada yang tanpa malu melahap seluruh menu makanan yang disajikan namun ada juga gugup setengah mati mencicipi kudapan yang sebelumnya belum pernah mereka makan. Sekembalinya dari undangan, mereka berkenalan dengan teman-teman dari berbagai pulau lain yang baru datang. Aku cukup dibuat takjub, murid-muridku dapat dengan mudah berinterakasi dengan teman-teman barunya tanpa canggung sedikit pun, tak jarak dan perbedaan yang aku lihat ketika mereka duduk bersampingan.

Setelah berbagai proses registrasi ulang, akhirnya seluruh peserta FAS pun disiapkan untuk menjalani serangkaian acara FAS 2014. Pada hari pertama para peserta FAS yang terdiri dari siswa dan siswi dari 8 pulau dimana para Pengajar Muda ditempatkan diajak berkeliling keberbagai instansi di Kota Tahuna. Mereka mengunjungi RRI, LANAL, KODIM, RSUD Liun Kendage, BNI dan PLN, disana mereka diajak untuk berimajinasi perihal cita-citanya di masa depan secara lebih luas lagi. Hari kedua para peserta melakukan pagelaran seni, begitu indah dan luar biasa ketika satu per satu peserta dari berbagai pulau menampilkan kebudayaan khas daerahnya. Murid-muridku sempat bingung mau menampilkan pertunjukan seni budaya apa, karena kondisi di Pulau Matutuang kebanyakan para penduduknya adalah orang-orang Sangir yang lahir dan besar di Filipina sehingga kebudayaannya pun tak sebanyak dan sekhas daerah lain. Akhirnya tim guru memilihkan anak-anak tema budaya nasionalis. Di awal ada pembacaan puisi yang berisi ikrar anak-anak di wilayah perbatasan untuk tetap membela tanah airnya, Indonesia, kemudian mereka menari tarian dengan lagu latar Indonesia Pusaka, dan diakhir mereka bernyanyi Lagu Daerah Sangihe.

Murid-muridku berhasil mengatasi demam panggunggnya, apa yang telah susah payah dilatih selama di Pulau telah mereka suguhkan dengan apik di panggung pagelaran seni, Kepala sekolah dan para guru dibuat bangga jadinya.

Tibalah kita pada rangkaian acara FAS yang terakhir, para peserta FAS akan turut serta dalam pawai budaya dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Sangihe. Murid-muridku memilih dandanan ala nelayan, mereka mengenakan baju compang camping dan celana pendek seadanya, beberapa properti memancing ikan tiruan mereka sematkan guna menunjang penampilan, wajah mereka cemong-cemong hitam, entah referensi dari mana, yang pasti menambah kelucuan dan keunikan yang ditampilkan. Momen yang paling tak terlupakan adalah saat mereka unjuk kebolehan di depan Bupati dan para pejabat lain, muridku si lincah Adrian, secara spontan kembali membacakan puisi pada pagelaran seni di depan khalayak masyarakat Kota Tahuna. Tingkahnya ini tak ayal mengundang gelak tawa dan haru dari seluruh penonton pawai budaya, karena badan Adrian yang kecil ditambah kostum nelayan dan wajah cemongnya ternyata dapat mengeluarkan suara menggelar yang menggempar Kota Tahuna.

FAS pun berakhir, ada tangis perpisahan dan tawa bahagia yang mewarnai sepanjang acara. Aku sangat bersyukur atas segala izin Tuhan dan berkat bantuan berbagai pihak, akhirnya begitu banyak pengalaman dan nilai-nilai baik yang dapat dipetik oleh seluruh panitia dan peserta FAS. Ada nilai persahabatan yang anak-anak tunjukan secara tulus dan natural selama bersama-sama melakukan kegiatan, ada nilai perjuangan dan kegigihan yang ditunjukan saat susah payah mencapai Ibu Kota dari Pulau masing-masing, ada kerja sama dan kekeluargaan yang semakin erat seiring dengan hambatan dan rintangan yang dihadapi, dan ada nilai kesabaran serta keimanan ketika harus berhadapan dengan perubahan keadaan alam dan kekerasan hati manusia lainnya.

Terima Kasih, Festival Anak Sangihe.


Cerita Lainnya

Lihat Semua